Aku dan Misyel membaca buku yang Zahra serahkanke aku. Sebuah Diary. Diary seorang Rhein. Membuka lembar pertama, tertulis tanggal pernikahan.
Â
25 Juni
Hari ini, adalah pernikahanku. Sebuah keputusan yang sebenarnya berat sebenarnya. Di mana aku mempertaruhkan seluruh hidupku kepada sseorang. Sebuah fase baru yang harus aku jalani. Bukan masalah status, ataupun wajah, ataupun harta. Aku menikah karena Allah, ingin menggenapkan Dien demi kesempurnaan menjadi hamba. Berkahilah kami Ya Allah.
Â
Lembar selanjutnya berisi tentang hal hal keceriaan para pengantin. Hingga sampai bulan ke dua pernikahan. Tulisan Rhein terbaca menyesakan nafasku.
Â
“Ya, Allah, inikah ujianMU? Aku harus menghadapi suami yang sering memukulku. Selalu menyalahkanku. Dan juga anaknya yang dengan lancang menyuruhku seperti pembantu?
Aku melipat dahi.Di tulisan berikutnya, jelas terlihat semua curahan hatinya yang merasa merana dengan sikap dan perlakukan suami dan anak tirinya. Ah, Rhein..
Tidak, Aku tak akan katakana pada mas Darso dan Nely bahwa aku telah divonis kanker oleh dokter. Apalagi, aku harus membantu mas Darso, agar bisnisnya bangkit dari kebangkrutan. Seburuk buruknya suamiku, dia tetap suamiku, yang harus aku bantu. Jikapun dia tidak bisa jadi imam, aku yang harus maju untuk mengingatkan dan tetap membantu dalam kehidupan ini. Inilah hidup. Bukan hanya tentang harta dan tercukupi kebutuhan. tapi juga pengabdian akan pada sebuah komitmen hidup Biar Allah yang Tahu. Biar Allah yang semua yang terjadi pada diriku. Aku tak mau kelurga tahu, apapun  perlakuan suamiku pada ku. Aku tak mau kehormatan dirinya jatuh di mata keluargaku. Sebagai istri aku harus menjaga izzah suami. Semoga Allah member hidayah pada suamiku dan anak tiriku. Ah, jadi teringat dengan Retno juga Misyel. Maafkan aku sahabat, aku tidak bisa lagi seperti dulu. Di mana kita bercanda dan berbagi cerita. Tugas hidupku telah menyita waktuku dari kalian. Semoga kalian selalu dalam kesehatan dan kebahagiaan. Aku mencintai kalian.
Â