Kembali ke soal teman saya tadi. Dia lebih suka mengorkestrasikan kenaikan nominal utang. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, kata dia, kenaikan utang jor-joran. Namun untuk apa dan bagaimana mengelola utang, dia kurang singgung.
Utang negara yang kini jadi bendungan raksasa, waduk untuk irigasi, jalan tol, bandara, pelabuhan, jaringan fiber optic, pendidikan gratis, beasiswa, hingga bantuan tunai untuk warga miskin terdampak Covid-19 tidak pernah dia gubris.
Model berpikir dangkal berlumur vonis macam kolega saya tersebut lazim terbaca di media sosial. Sumbunya pendek.
Manfaat Utang
Generasi mendatang butuh bekal yang mumpuni. Agar mereka kompetitif, baik di dalam negeri maupun bersaing di level internasional. Itu sebabnya, penyiapan bekal itu tidak bisa ditunda. Kalau ditunda, kelak mereka akan minim daya saing dan karenanya bakal tersisih di pojok-pojok kehidupan.
MRT, waduk Jatigede, jaringan fiber optic, dan beasiswa antara lain merupakan bekal mereka di masa depan. Untuk efektivitas mobilitas, untuk produktivitas petani, untuk kecepatan akses internet, serta untuk meningkatkan kapasitas otak generasi mendatang. Dengan bekal itu semua pula, perekonomian Indonesia akan tangguh bahkan melaju kencang di masa mendatang.
Demi mempersiapkan bekal yang cukup itulah, negara membutuhkan anggaran begitu besar. Jauh lebih besar ketimbang pendapatan negara. Karena tidak bisa terus ditunda, kebijakan utang mesti ditempuh. Memang rada terasa 'pahit' di awal.
Bagaimana kalau negara tidak usah repot-repot berutang dan menunda pembangunan sektor prioritas? Ya bisa aja kalau mau begitu. Namun, jika pilihan itu diambil, siap-siap saja menjadi bangsa memble, berdaya saing loyo, dan terhisap keterpurukan.
Toh, kalau mau mundur ke belakang, pemerintah di masa lalu sudah melakukannya: ragu-ragu membangun infrastruktur dan SDM. Lebih memilih popularitas dengan tidak berutang banyak di tengah keterbatasan keuangan negara. Sehingga kedua pekerjaan rumah yang sangat fundamental itu tidak maksimal ditunaikan.
Hasilnya? Kita sama-sama tahu: daya saing Indonesia saat ini kedodoran. Lalu, kita mengeluh di sana-sini. Menyalahkan ini-itu. Pekerjaan rumah yang urung dikerjakan di masa lalu, akhirnya bertumpuk dan makin ruwet saat ini.
Lantas, siapa bakal membayar utang pemerintah Indonesia yang nominalnya per Agustus 2021 ini sudah mencapai angka di sekitar Rp6.600 triliun? Dan, bagaimana akan dibayar?