Mohon tunggu...
Ken Satryowibowo
Ken Satryowibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Covid Bukan Canda

Pencari pola. Penyuka sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Money

Warisan (Manfaat) Utang bagi Anak-Cucu

28 September 2021   12:40 Diperbarui: 28 September 2021   13:09 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: M. Latief/Kompas Image

Siapa bakal diwarisi manfaat dari pembangunan yang pembiayaannya berasal dari utang? 

Pertanyaan itu saya lontarkan ke seorang kolega sesama pebisnis kecil saat kami bersama menaiki MRT (Mass Rapid Transit) dari daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu. Kami kebetulan lagi ada urusan ke Jakarta Pusat.

Di dalam gerbong yang tak berjubel karena pengetatan mobilitas warga itu, saya membatin: hebat juga Jakarta sudah punya MRT macam ini. Kendati bukan kali perdana, namun apa yang saya batin itu terus saja muncul setiap saat naik MRT.

Ihwal pertanyaan itu bisa mengemuka lantaran kami berbeda pandangan---lebih tepatnya berdebat---soal kebijakan utang yang ditempuh pemerintah saat ini. Ia bersikukuh, performa utang sudah membahayakan dan sangat berisiko untuk generasi mendatang.

Sementara pendapat saya sebaliknya. Bagi saya, utang pemerintah itu masih dalam zona wajar, bahkan mesti ditempuh untuk mengakselerasi pembangunan di sektor penting dan produktif. Sektor penting dan produktif, antara lain adalah infrastruktur fisik-digital dan kualitas sumber daya manusia. Keduanya sama-sama syarat mutlak menjadi negara maju.

Jikalau saya memandang utang sebagai salah satu alat untuk memastikan generasi penerus lebih tangguh, teman saya itu menganggap sebaliknya: utang saat ini adalah beban berat bagi anak cucu. 

Kata dia, utang yang sejak dulu hingga sekarang ditarik pemerintah tidak efisien dan minim manfaat karena lebih banyak dikorupsi. Sejumlah dalil dia sampaikan untuk memperkuat sumpah-serapahnya tersebut.

Mendengar ocehan macam itu, sejujurnya, saya menahan ketawa. Rasanya dia lupa---atau memang tidak tahu---bahwa MRT yang sedang dia tumpangi adalah hasil dari utang. Pun, dia tidak sadar: mengecam utang sambil menikmatinya.

Lewat agregasi media massa, masyarakat umum dapat mengetahui pembiayaan MRT Jakarta diselenggarakan dengan utang pemerintah RI ke pemerintah Jepang.  Nilainya pun fantastis. Untuk fase 1 saja (Lebak Bulus -- Bundaran HI), utang ke JICA (Japan Internasional Cooperation Agency) sebesar Rp25 triliun dan akan dilunasi dalam 40 tahun.

Belum lagi nilai utang untuk pembangunan fase 2 (Bundaran HI -- Kampung Bandan) sejauh 8 km dan fase 3 (Kalideres-Ujung Menteng) sepanjang 31,7 km. Jika koridor Selatan -- Utara (Lebar Bulus - Kampung Bandan) dan koridor Barat - Timur (Kalideres-Ujung Menteng) telah rampung seluruhnya, Jakarta akan lebih keren.

Bukan hanya keren, kehadiran MRT akan menjadi salah satu solusi kemacetan Jakarta. Moda transportasi super modern ini akan mampu mengangkut lebih dari 50 juta penumpang per tahun dan menciptakan, utamanya saat konstruksi, tak kurang dari 50 ribu lapangan kerja. Pula,  multiplier effect lainnya yang secara agregat bakal memperkuat perekonomian Jakarta, bukan hanya di masa sekarang, namun yang pasti di masa mendatang.

Kembali ke soal teman saya tadi. Dia lebih suka mengorkestrasikan kenaikan nominal utang. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, kata dia, kenaikan utang jor-joran. Namun untuk apa dan bagaimana mengelola utang, dia kurang singgung.

Utang negara yang kini jadi bendungan raksasa, waduk untuk irigasi, jalan tol, bandara, pelabuhan, jaringan fiber optic, pendidikan gratis, beasiswa, hingga bantuan tunai untuk warga miskin terdampak Covid-19 tidak pernah dia gubris.

Model berpikir dangkal berlumur vonis macam kolega saya tersebut lazim terbaca di media sosial. Sumbunya pendek.

Manfaat Utang

Generasi mendatang butuh bekal yang mumpuni. Agar mereka kompetitif, baik di dalam negeri maupun bersaing di level internasional. Itu sebabnya, penyiapan bekal itu tidak bisa ditunda. Kalau ditunda, kelak mereka akan minim daya saing dan karenanya bakal tersisih di pojok-pojok kehidupan.

MRT, waduk Jatigede, jaringan fiber optic, dan beasiswa antara lain merupakan bekal mereka di masa depan. Untuk efektivitas mobilitas, untuk produktivitas petani, untuk kecepatan akses internet, serta untuk meningkatkan kapasitas otak generasi mendatang. Dengan bekal itu semua pula, perekonomian Indonesia akan tangguh bahkan melaju kencang di masa mendatang.

Demi mempersiapkan bekal yang cukup itulah, negara membutuhkan anggaran begitu besar. Jauh lebih besar ketimbang pendapatan negara. Karena tidak bisa terus ditunda, kebijakan utang mesti ditempuh. Memang rada terasa 'pahit' di awal.

Bagaimana kalau negara tidak usah repot-repot berutang dan menunda pembangunan sektor prioritas? Ya bisa aja kalau mau begitu. Namun, jika pilihan itu diambil, siap-siap saja menjadi bangsa memble, berdaya saing loyo, dan terhisap keterpurukan.

Toh, kalau mau mundur ke belakang, pemerintah di masa lalu sudah melakukannya: ragu-ragu membangun infrastruktur dan SDM. Lebih memilih popularitas dengan tidak berutang banyak di tengah keterbatasan keuangan negara. Sehingga kedua pekerjaan rumah yang sangat fundamental itu tidak maksimal ditunaikan.

Hasilnya? Kita sama-sama tahu: daya saing Indonesia saat ini kedodoran. Lalu, kita mengeluh di sana-sini. Menyalahkan ini-itu. Pekerjaan rumah yang urung dikerjakan di masa lalu, akhirnya bertumpuk dan makin ruwet saat ini.

Lantas, siapa bakal membayar utang pemerintah Indonesia yang nominalnya per Agustus 2021 ini sudah mencapai angka di sekitar Rp6.600 triliun? Dan, bagaimana akan dibayar?

Balik lagi ke diskusi saya di gerbong MRT tadi. Kolega saya masih ngotot, utang akan jadi beban bagi generasi mendatang. Logika yang sama sebenarnya juga bisa dipakai: utang di masa lalu jadi beban kita saat ini. Namun kenyataannya, utang di masa lalu juga melahirkan manfaat yang begitu besar, yang kita nikmati hari ini.

Pada sisi lain, pelunasan utang pemerintah di masa lalu dilakukan oleh pemerintah sekarang ini. Melalui pendapatan perpajakan dan lainnya. Semakin baik dan besar perekonomian, semakin ringan kewajiban bayar utang. Perekonomian akan kuat jika prasyaratnya dipenuhi, utamanya terkait infrastruktur yang tangguh dan SDM yang unggul. Dan, itu kerja jangka panjang.

Betapa pun di masa lalu kita tidak dibekali dengan infrastruktur tangguh dan SDM unggul, toh hari ini kemampuan bayar utang terdeteksi sangat baik. Tidak pernah tercatat Indonesia gagal bayar utang.

Apalagi generasi mendatang. Mereka kini betul-betul tengah dipersiapkan untuk punya daya saing yang kuat, di mana pembiayaan penyiapan itu antara lain melalui instrumen utang. Generasi yang kompetitif tidak hanya akan ringan bayar utang, tapi juga kalau mau: bisa memberi utang.

Jadi, secara tidak langsung, yang membayar utang di masa nanti adalah serangkaian hasil/manfaat yang diciptakan oleh utang yang ditarik hari ini. Utang yang dipakai untuk kegiatan produktif akan melahirkan aset luar biasa besar. Manfaat dari aset itulah yang akan diwariskan untuk generasi anak-cucu.

Manfaat utang di masa lalu, kita pakai untuk membayar utang saat ini. Manfaat utang yang ditarik di masa kini, akan mereka pakai untuk melunasi utang di masa mendatang. Dan, memang begitulah cara perekonomian bekerja. Jadi, jangan sekonyol kawan saya tadi: mencaci maki utang di atas gerbong MRT hasil ngutang. Heuheuheu....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun