Mohon tunggu...
Ken Satryowibowo
Ken Satryowibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Covid Bukan Canda

Pencari pola. Penyuka sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tutup Kuping dari Segala Hasutan Juru Nyinyir

2 September 2021   13:13 Diperbarui: 2 September 2021   13:27 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Performa kebijakan utang pemerintah hari demi hari terus jadi bulan-bulanan. Aktornya bukan hanya ekonom kenamaan yang kerap wara-wiri di TV itu. Namun di linimasa media sosial, mereka yang kurang pengetahuan pun turut nimbrung. Masuk berjamaah ke dalam labirin kegaduhan. Memproduksi rupa-rupa cacian, nyinyir, cemooh, dan sumpah serapah.

Tapi memang begitulah nasib kebijakan publik di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Tidak pernah bisa memuaskan semua kepala. Mereka yang tak suka, seperti bebas menghardik. Bahkan, ada kelompok denial. Mengingkari apapun kebijakan negara: semuanya salah. Lalu merundungnya sampai tulang sumsum.

Bagi mereka, nyinyir itu mengasyikkan. Saking asyiknya, seringkali menjelma jadi hobi. Bahkan ada yang bermetamorfosis sebagai profesi: tukang nyinyir. Atau juru nyinyir. Laiknya pekerjaan, ada spesialisasinya. Mulai dari ahli nyinyir ke Presiden, ke Menkeu, hingga juru nyinyir apa saja.

Tukang nyinyir utang negara biasanya akan merasa puas setelah memosting konten negatifnya. Lebih puas lagi, kalau narasinya disukai, disetujui, dan dipuja para audiensnya. Karena itu, aneka diksi provokasi dihamburkan ke linimasa. Kata, frasa, dan kalimat menghasut itu sengaja digaungkan secara bombastis untuk menyampaikan pesan kunci: negeri ini sedang tidak baik-baik saja karena dipimpin Presiden Jokowi.

Mengkritik kebijakan utang tentu sah-sah saja. Bahkan sehat sebagai bagian dari kontrol publik. Tapi melakukannya dengan nada fitnah demi menarik simpati, jelas tidak elok. Tidak elegan. Juga tidak cerdas. Lebih celaka lagi, menggelar fitnah berbasis data atau berita bohong. Itu jelas-jelas menyesatkan.

****

Utang negara memang naik tajam. Utamanya tersebab oleh kecamuk pagebluk Covid-19. Penanganannya membutuhkan anggaran negara dalam jumlah fantastis, di tengah penarikan pajak yang loyo seiring kontraksi perekonomian global. 

Itu sebabnya, negara mana pun di belahan bumi mana saja sudah barang tentu menambal kurang dana negara dengan utang. Baik utang multilateral, bilateral, atau lewat emisi surat berharga negara.

Jadi, kenaikan utang RI, ya normal saja. Bukan aneh. Bukan ajaib. Bukan kebijakan sendirian tanpa adanya negara lain yang melakukannya. Bukan pula karena mau menumpuk utang tanpa basis argumentasi yang jelas. Semuanya dilakukan karena terdesak oleh situasi pandemi yang memaksa digelarnya kebijakan extraordinary.

Tentang rasio-rasio utang yang kata para juru nyinyir itu sudah membahayakan? Begini, Tuan. Setiap kebijakan disusun dengan mekanisme yang jelas. Utang telah dirancang di APBN. Artinya, telah disetujui oleh DPR. 

Utang bukan ujug-ujug datang dari mimpi, bukan juga kebijakan di bawah meja. Semuanya terang benderang dikalkulasi di atas meja, termasuk risiko-risikonya.

Rasio utang---entah terhadap PDB, penerimaan pajak, net export, dan lainnya---berapa pun angkanya atau berapa pun tinggi-rendahnya akan disebut bahaya bagi si juru nyinyir. 

Sebaliknya, tidak punya utang pun, akan tetap dinyinyiri. Namanya juga tukang nyinyir. Sehingga yang terpenting, berapa pun utang pemerintah saat ini, tidak ada undang-undang atau regulasi yang dilanggar. Seluruhnya telah sesuai dengan aturan yang disepakati.

Lalu, bukankah besarnya utang negara membebani rakyat? Kalau itu dipandang sebagai beban, boleh saja. Tapi mayoritas yang bayar pajak itu dunia usaha. Utamanya industri besar. 

Bukan rakyat kecil. Malahan kaum papa diberikan sejumlah insentif oleh negara. Mereka dilindungi dari kutipan pajak yang memberatkan. Toh, rakyat di semua negara ya wajib bayar pajak, termasuk untuk bayar utang. Kalau mau bebas pajak, mungkin bisa-bisa saja, asal mau pindah ke planet Mars.

Kemudian, para juru nyinyir itu kerap berucap: pemerintahan Presiden Jokowi mewariskan utang jumbo. Hey sadarlah, Bung! Semua presiden pasti mewariskan utang. Mulai dari era Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Habibie, Megawati, SBY, hingga Jokowi tidak ada yang mewariskan apartemen. Semua mewariskan utang. Hanya berbeda nominalnya. Tapi bukankah semua presiden juga punya legacy yang bernilai bagi masa depan rakyat?

***

Dalam diskusi ngalor ngidul tentang utang ini, saya sengaja tidak menampilkan angka-angka. Kita sudah sama-sama tahu datanya. Namun, di sini, saya ingin mengajak siapapun yang gampang terprovokasi para tukang nyinyir itu, mulai saat ini tutuplah telinga, agar segera move on dari suasana batin yang nestapa karena utang negara.

Sadarlah bahwa mereka yang tampaknya antipati soal utang negara itu tidak semuanya murni. Mereka sedang menambang pengaruh. 

Dengan memuja junjungannya sembari merundung pemerintah berkuasa. Lihat saja, jika kelak mereka diberi amanah mengelola negeri, narasinya akan terbalik: membela kebijakan utang sang junjungan itu. Utang tidak akan lagi mereka pandang secara nista, bahkan najis---sebagaimana saat ini.

Kepada warga negara yang cerdas, sekali lagi, mari tutup kuping dari segala provokasi si juru nyinyir. Dengan tutup kuping, nyanyian sumbang mereka tidak akan ada artinya. Kembalilah kepada kejernihan berpikir. Bahwa utang negara besar, itu betul. Bahwa karena punya utang negeri ini sedang kurang baik, itu tidak.

Agar horizon pemikiran kita luas, cermati juga argumen dari ekonom yang jernih soal kebijakan utang, jangan cuma dengerin kata praktisi berinisial R, S, atau A yang memang sudah masyhur sebagai pembenci pemerintah sehingga terus-menerus mendengungkan kaset rusak.

Kepada para spesialis nyinyir utang, teruskan aksimu. Lanjutkan pula defisit pengetahuanmu. Ingat, kini publik kian cerdas, tidak akan mudah dihasut. Narasi negara genting dan menakutkan karena utang sebagaimana kalian jual selama ini tidak akan pernah kami beli. #WeAreNotAfraid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun