Performa kebijakan utang pemerintah hari demi hari terus jadi bulan-bulanan. Aktornya bukan hanya ekonom kenamaan yang kerap wara-wiri di TV itu. Namun di linimasa media sosial, mereka yang kurang pengetahuan pun turut nimbrung. Masuk berjamaah ke dalam labirin kegaduhan. Memproduksi rupa-rupa cacian, nyinyir, cemooh, dan sumpah serapah.
Tapi memang begitulah nasib kebijakan publik di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Tidak pernah bisa memuaskan semua kepala. Mereka yang tak suka, seperti bebas menghardik. Bahkan, ada kelompok denial. Mengingkari apapun kebijakan negara: semuanya salah. Lalu merundungnya sampai tulang sumsum.
Bagi mereka, nyinyir itu mengasyikkan. Saking asyiknya, seringkali menjelma jadi hobi. Bahkan ada yang bermetamorfosis sebagai profesi: tukang nyinyir. Atau juru nyinyir. Laiknya pekerjaan, ada spesialisasinya. Mulai dari ahli nyinyir ke Presiden, ke Menkeu, hingga juru nyinyir apa saja.
Tukang nyinyir utang negara biasanya akan merasa puas setelah memosting konten negatifnya. Lebih puas lagi, kalau narasinya disukai, disetujui, dan dipuja para audiensnya. Karena itu, aneka diksi provokasi dihamburkan ke linimasa. Kata, frasa, dan kalimat menghasut itu sengaja digaungkan secara bombastis untuk menyampaikan pesan kunci: negeri ini sedang tidak baik-baik saja karena dipimpin Presiden Jokowi.
Mengkritik kebijakan utang tentu sah-sah saja. Bahkan sehat sebagai bagian dari kontrol publik. Tapi melakukannya dengan nada fitnah demi menarik simpati, jelas tidak elok. Tidak elegan. Juga tidak cerdas. Lebih celaka lagi, menggelar fitnah berbasis data atau berita bohong. Itu jelas-jelas menyesatkan.
****
Utang negara memang naik tajam. Utamanya tersebab oleh kecamuk pagebluk Covid-19. Penanganannya membutuhkan anggaran negara dalam jumlah fantastis, di tengah penarikan pajak yang loyo seiring kontraksi perekonomian global.Â
Itu sebabnya, negara mana pun di belahan bumi mana saja sudah barang tentu menambal kurang dana negara dengan utang. Baik utang multilateral, bilateral, atau lewat emisi surat berharga negara.
Jadi, kenaikan utang RI, ya normal saja. Bukan aneh. Bukan ajaib. Bukan kebijakan sendirian tanpa adanya negara lain yang melakukannya. Bukan pula karena mau menumpuk utang tanpa basis argumentasi yang jelas. Semuanya dilakukan karena terdesak oleh situasi pandemi yang memaksa digelarnya kebijakan extraordinary.