KEN AYU RUMADI PUTRI_200402080025
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
HASIL ANALISIS
3.1Kritik Sastra pada Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
Teori postkolonialisme adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, sastra, ekonomi dan sebagainya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Objek penelitian Postkolonialisme mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonialisasi hingga sekarang. Termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Cakupan teori ini sangat luas yang berkaitan dengan ras, agama, hegemoni, budaya dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, penjajahan yang terjadi menyisakan masalahmasalah yang perlu diperhatikan karena akan sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan bangsa dan masyarakat khususnya bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami penjajahan sangat terpengaruhi oleh sistem dan mekanisme yang telah diterapkan oleh pemerintah kolonial yang berdampak pada kepribadian masyarakatnya seperti yang digambarkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis.
Novel Salah Asuhan terbit pertama kali pada tahun 1928. Novel ini merupakan novel pertama dari empat novel yang dituliskannya. Yaitu Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan Robert anak Surapati (1953). Novel Salah Asuhan ini menceritakan tentang konflik, adaptasi, dan berbagai bentuk hubungan 34 antara kebudayaan Barat dan Timur. Novel ini juga banyak membahas gejalagejala yang terjadi dalam masyarakat pada zaman penjajahan.
Berdasarkan hal tersebut, novel Salah Asuhan sangat erat kaitannya dengan teori Postkolonialisme dari beberapa aspek, yaitu dari segi judul, novel Salah Asuhan sendiri mengindikasikan suatu kekeliruan dalam mengadopsi kebudayaan Barat yang secara keseluruhan cerita berdampak negatif terhadap bangsa, khususnya generasi muda. Kemudiaan dari segi tema, dalam hal ini pengarang menyajikan keseluruhan cerita yang membahas perbedaan antara budaya Barat dan Timur. Hal ini pula digambarkan dalam sebuah kutipan:
".................................................................................." "Juga sepanjang hematku, tentu engkau sudah lebih daripada insaf, bahwa aku sangat menyalahi perkawinan campuran itu. Aku heran, bagaimana engkau sendiri tidak memikirkan sampai ke sana. Meskipun banyak orang yang sedang berusaha akan merapatkan Timur dengan Barat, tapi buat zaman ini bagi sebagian orang yang terbesar masihlah, Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, takkan dapat ditimbuni jurang yang membatasi kedua bagian itu." (Moeis, 2010: 65-66)
Kutipan tersebut menunjukan bahwa Corrie pun sangat tidak mengindahkan pernikahan campuran tersebut. Dipandangnya, bahwa itu merupakan kesalahan terbesar yang akan menimbulkan jurang perbedaan yang tinggi antara kebudayaan Barat dengan Timur.
Kemudian pada tokoh Hanafi sendiri merupakan tokoh yang hanya diasuh oleh seorang ibunya sebab ayahnya telah meninggal dunia sejak Hanafi masih kecil. Ibu Hanafi sangat berambisi agar anaknya mendapat pendidikan yang sangat tinggi sehingga ia menyekolahkan anak tunggalnya di salah satu sekolah didikan dari orang-orang Belanda di Betawi, sejak saat itulah Hanafi bersikap kebarat-baratan dan sangat merendahkan bangsanya sendiri akibat dari didikansekolah tersebut. Keadaaan Hanafi yang rupanya molek, kulitnya tidaklah hitam bagaikan Bumiputra kebanyakan. dan Hanafi sendiri benci terhadap bangsanya, Bumiputra. Pelajarannya, tingkah lakunya, perasaaanya sudah menurut cara Barat, kalau ia tidak tinggal bersama ibunya yang sangat kampung tentang tabiat dan perasaannya, tak akan adalah yang akan menyangka bahwa Hanafi orang Melayu. Ibu Hanafi telah merasa 'Salah Asuh' kepada anaknya itu, yang membuat Hanafi membenci pada bangsanya sendiri. Hal ini digambarkan dalam kutipan:
"................................................................................." "Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah, karena bagi Hanafi, segala orang yang tidak pandai berbahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal --ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan 'kuno', agama Islam 'takhyul'. Tidak heran kalau ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu. Hanya kepada ibunya ada melekat hatinya"
"Acap kali benar ia berkata, terutama kepada orang Belanda, "bahwa negeri Minangkabau sungguhlah indah, hanya sayang sekali penduduknya si Minangkabau. Tapi," katanya pula, "seindah-indahnya negeri ini, bila tak ada ibuku, niscya sudah lamakah kutinggalkan." (Moeis, 2010: 29).
Berdasarkan kutipan tersebut, mendorong tokoh Hanafi untuk membenci bangsanya yaitu bangsa Timur. Bukan hanya bangsanya saja yang ia benci melainkan masyarakat tempat tinggalnya, keluarganya, adat, dan agamanya sendiri pun ia cemohkan. Menurutnya, semua hal yang seperti itu tidaklah sesuai dengan dirinya. Hanafi menganggap rendah kaum bangsanya itu, hal ini juga digambarkan pada kutipan sebagai berikut
"................................................................................" "Ha, ha, ha! Bu! Benarkah pendengaranku? Menjadi penghulu? Saya akan menjadi penghulu dan akan belajar sembah menyembahbaik, asal mereka suka, si Buyung kujadikan penongkat!"
"Hanafi, Hanafi! Sudah ada di dalam kira-kira ibu, maka engkau akan mencemohkan pula maksud orang tua-tua yang semula itu, jadi buat mencegah jangan hati mereka tersinggung, sudahlah ibu tutup pembicaraan itu dri pangkalnya. Demikian juga dengan maksud mereka hendak memperumahkan engkau sudah ibu habisi dengan tidak boleh jadi."
"syukurlah ibu sudah menutupinyalebih dahulu, karena jika sampai mereka menuturkan hal itu kepada saya, khawatirlah saya, kalau-kalau perkataan say berpantingan pula, hingga menyakitkan hati beliau-beliau itu. Saya tidak berhubungan keperluan dengan mereka, janganlah mereka memikirmikirkan keperluanku pula..." (Moeis, 2010: 31)
Berdasarkan kutipan di atas. Secara psikologis tokoh Hanafi sangat terpengaruhi oleh pemahaman bangsa Barat, bahkan sampai keluar dari tradisinya sendiri yaitu Minangkabau. Sejak ibunya mengirim Hanafi untuk sekolah di Betawi, sejak itulah ibunya tidak mengawasi secara langsung perkembangan mental dan tingkah laku anaknya itu. Dalam novel ini juga pengarang menghadirkan Corrie, perempuan yang mendorong kepribadian Hanafi sehingga ia melakukan apa saja untuk melepaskan diri dari tradisinya dan memandang rendah bangsanya. Hal ini juga ditunjukan Hanafi dalam kutipan:
"................................................................................."
"Sekali lagi Hanafi bangkit dari berbaring, sambil gelak terbahak-bahak. Maka berkatalah ia, "itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu. Disini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berhutang, baik utang uang maupun utang budi. Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu digaduh-gaduhkan dari luar untuk menjadi suami-istri. Itulah yang menarik hatiku pada adat orang Belanda. Pada kecilnya yang menjadi keluarganya, hanyalah ayahbundanya, adik-kakaknya. Setelah ia besar, dipilihlah sendiri buat istrinya: dan ayah-bundanya, apalagi mamak bialinya atau tua-tua di dalam kampong, hars menerima saja pilihannya itu jika tidak berkenan boleh menjauh! Dan setelah beristri. Bagi orang itu yang menjadi keluarganya ialah istri dan anak-anaknya saja..."..."(Moeis, 2010: 35). " Tapi segala hal-ikhwal itu tidaklah menyusahkan hatiku, Bu. Tidak akan pula memeningkan kepalaku, karena sengaja kukeluarkan diriku dari pergaulan itu. Jika mereka menunggu piutang, apalagi Engku Sutan Batuah, haruslah mereka menerima kuangsur dengan gajiku..."(Moeis, 2010: 35).
Unsur postkolonial ada dua yaitu hegemoni (penguasaan) dan mimikri (tindakan menirukan) dilihat dari segi tokoh yang mengalami hegemoni dan mimikri. Hal ini dilihat dari bagaimana sikap, tingkah laku, keseharian, cara berfikir, gaya hidup dan pendidikan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis.
3.2Semiotika pada Novel Salah Asuhan
NoSignifier (pananda)Signified (petanda)
(1)bunyi peluit melengking. Kereta lain menjelang getarnya pada rel telah terasaPetanda bahwa kereta akan tiba di stasiun
(2)seorang lelaki tampak diambang pintu kereta.sosok itu terlalu menonjol dibanding dengan penumpang lain. Dia satu-satu orang yang berkulit pucat wajahnya menjulang diantara kepala-kepala hitam yang lebih rendah dari bahunya. Serat-serat rambut jagung masih tersisa di antara ombak putih yang mengeras oleh lembab katulistiwaPetanda dari kutipan tersebut seseorang dari luar negeri atau bule
(3)langit biru kental seolah ia baru saja mewarnainya dengan cat poster, bukan cat air. Tetapi petak-petak sawah yang mereka lewati menampakkan reretak, seperti sienna tebal yang telah tahunan kering pada palet. Ia tersadar bahwa yang indah tak selalu baik rupanya. Seperti biru langit itu. Biru yang berbahaya. Biru yang panas. Ia menjadi sedih. Seolah-olah biru yang berbahaya itu adalah tanda mengenai apa yang sedang terjadi di dalam hatinyaPenanda dari tek tersebut langit yang cerah dan panas
(4)saya tidak memakai milik sahabat sendiri, Jacques. Saya merawatnya. Saya merawat milik sahabat saya." Marja berdebar karena jawaban itu. Jacques tua mengibaskan saputangannya. "Oh la la! Berbahagialah mademoiselle! Jika mobil yang menyalahi prinsip hidup nya saja ia rawat, bagaimana pula dengan nona muda yang cantik, kekasih sahabatnya ini?Kesana makna petanda dari kalimat tersebut bahwa Parang jati tidaka akan mamakai barang temannya sendiri apa lagi mengambilnya. Tidak merampas hak milik orang lain
(5)Bukan itu saja, mademoiselle. Oh la la! Sayang betul, Anda sudah menjadi gadis kosmopolitan sepenuhnya! Orang Jawa sekarang sudah menjadi orang Indonesia yang kering!Kesan makna petanda tersebut bahwa di tanah Jawah pendapatan penghasilan sudah kurang.
(6)Sementara itu, Blok Timur menjalankan politik domino. Kamu tahu, dalam permainan domino, kartu yang jatuh akan menjatuhkan kartu berikutnya. Begitu selanjutnya, hingga semua kartu akhirnya jatuhPetanda dari kalimat tersebut ialah dalam dunia politik seseorang harus pintar menempatkan diri agar dapat memainkan peran yang baik
(7)"Saya seorang saintis," dengan nada sedikit menggurui. "Tapi saya tidak keberatan untuk menambahkan sopan-santun dalam proses penelitian. Misalnya, minta permisi pada sesuatu yang belum tentu adaKesan petanda dalim kutipan tersebut yaitu menunjukkan sopan santu pada siapapun dan di manapun. Seorang ilmuan sebaiknya mengetahui nilai-nilai dan budaya serta kebiasaan yang dianut atau dimiliki pada suatu daerah.
(1)Kereta api yang ditunggu akan sampai beberapa saat lagi. Berdasarkan Pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.
(2)Menjelaskan sosok seorang pria luar negeri yang bentuk tubuh dan tingginya sangat berbeda dengan penumpang yang lainnya. Dalam kereta penumpang bergantiang keluar dari pintu kereta api. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Sesuatuyang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda dan Bahasa.
(3)Kesan makna petanda (signified) pada kalimat "langit biru kental" sama dengan suasana hati seorang Marjan yang tak kunjung baik pada saat itu. dan kutipan tersebut menjelaskan bahwa yang indah tidak selalu baik rupanya. Sama dengan kedekatan Marjan dan Parang Jati "seperti biru langit biru yang berbahaya biru yang panas" bahwa dengan berfikir warna biru di langit adalah kecantikan biru di langit juga bisa menciptakan panas biru di langit juga bisa berbahaya dan bisa membakar seseorang.
(4)Prinsip hidup dia tidak akan mengambil barang milik sahabatnya sendiri tapi dia akan merawat milik sabahatnya itu. Walau sebenarnya Jacques tau bahwa di antara mereka berdua memiliki rasa.
(5)"Orang Jawa sekarang sudah menjadi orang Indonesia yang kering" menjelaskan bahwa masyarakat Jawa hamper seluruh masyarakatnya tidak tinggal di Jawa karena kebutuhan dan penghasilan tidak seimbang lagi. Orang Jawa lebih memilih untuk meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari kehidupan di kota lain.
(6)Pada pemerintahan masa penjajahan politik domino menggambarkan ketika kita menggunakan cara seperti bermain domino untuk mengalahkan lawan maka hanya satu negara atau musuh yang diturunkan maka negara atau musuh yang lainnya akan ikut jatuh begitulah permainan politik domino yang di mainkan oleh blok Timur.
(7)Pada kalimat "minta permisi pada sesuatu yang belum tentu ada." Kita memang perlu dan harus menghomati sesuatu apapun itu baik yang di anggap ada ataupun yang belum tentu ada dari penggalang kalimat tersebut menjelaskan bahwa di setiap tempat di mana pun kita berada kita harus selalu memiliki sopan santu karena tidak menuntut kemungkinan di suatu tempat yang menurut kita tidak ada penghuninya ternyata ada maka sangat penting untuk memiliki sopan santun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H