"................................................................................." "Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah, karena bagi Hanafi, segala orang yang tidak pandai berbahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal --ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan 'kuno', agama Islam 'takhyul'. Tidak heran kalau ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu. Hanya kepada ibunya ada melekat hatinya"
"Acap kali benar ia berkata, terutama kepada orang Belanda, "bahwa negeri Minangkabau sungguhlah indah, hanya sayang sekali penduduknya si Minangkabau. Tapi," katanya pula, "seindah-indahnya negeri ini, bila tak ada ibuku, niscya sudah lamakah kutinggalkan." (Moeis, 2010: 29).
Berdasarkan kutipan tersebut, mendorong tokoh Hanafi untuk membenci bangsanya yaitu bangsa Timur. Bukan hanya bangsanya saja yang ia benci melainkan masyarakat tempat tinggalnya, keluarganya, adat, dan agamanya sendiri pun ia cemohkan. Menurutnya, semua hal yang seperti itu tidaklah sesuai dengan dirinya. Hanafi menganggap rendah kaum bangsanya itu, hal ini juga digambarkan pada kutipan sebagai berikut
"................................................................................" "Ha, ha, ha! Bu! Benarkah pendengaranku? Menjadi penghulu? Saya akan menjadi penghulu dan akan belajar sembah menyembahbaik, asal mereka suka, si Buyung kujadikan penongkat!"
"Hanafi, Hanafi! Sudah ada di dalam kira-kira ibu, maka engkau akan mencemohkan pula maksud orang tua-tua yang semula itu, jadi buat mencegah jangan hati mereka tersinggung, sudahlah ibu tutup pembicaraan itu dri pangkalnya. Demikian juga dengan maksud mereka hendak memperumahkan engkau sudah ibu habisi dengan tidak boleh jadi."
"syukurlah ibu sudah menutupinyalebih dahulu, karena jika sampai mereka menuturkan hal itu kepada saya, khawatirlah saya, kalau-kalau perkataan say berpantingan pula, hingga menyakitkan hati beliau-beliau itu. Saya tidak berhubungan keperluan dengan mereka, janganlah mereka memikirmikirkan keperluanku pula..." (Moeis, 2010: 31)
Berdasarkan kutipan di atas. Secara psikologis tokoh Hanafi sangat terpengaruhi oleh pemahaman bangsa Barat, bahkan sampai keluar dari tradisinya sendiri yaitu Minangkabau. Sejak ibunya mengirim Hanafi untuk sekolah di Betawi, sejak itulah ibunya tidak mengawasi secara langsung perkembangan mental dan tingkah laku anaknya itu. Dalam novel ini juga pengarang menghadirkan Corrie, perempuan yang mendorong kepribadian Hanafi sehingga ia melakukan apa saja untuk melepaskan diri dari tradisinya dan memandang rendah bangsanya. Hal ini juga ditunjukan Hanafi dalam kutipan:
"................................................................................."
"Sekali lagi Hanafi bangkit dari berbaring, sambil gelak terbahak-bahak. Maka berkatalah ia, "itulah yang kusegankan benar hidup di tanah Minangkabau ini, Bu. Disini semua orang berkuasa, kepada semua orang kita berhutang, baik utang uang maupun utang budi. Hati semua orang mesti dipelihara dan laki-laki perempuan itu digaduh-gaduhkan dari luar untuk menjadi suami-istri. Itulah yang menarik hatiku pada adat orang Belanda. Pada kecilnya yang menjadi keluarganya, hanyalah ayahbundanya, adik-kakaknya. Setelah ia besar, dipilihlah sendiri buat istrinya: dan ayah-bundanya, apalagi mamak bialinya atau tua-tua di dalam kampong, hars menerima saja pilihannya itu jika tidak berkenan boleh menjauh! Dan setelah beristri. Bagi orang itu yang menjadi keluarganya ialah istri dan anak-anaknya saja..."..."(Moeis, 2010: 35). " Tapi segala hal-ikhwal itu tidaklah menyusahkan hatiku, Bu. Tidak akan pula memeningkan kepalaku, karena sengaja kukeluarkan diriku dari pergaulan itu. Jika mereka menunggu piutang, apalagi Engku Sutan Batuah, haruslah mereka menerima kuangsur dengan gajiku..."(Moeis, 2010: 35).
Unsur postkolonial ada dua yaitu hegemoni (penguasaan) dan mimikri (tindakan menirukan) dilihat dari segi tokoh yang mengalami hegemoni dan mimikri. Hal ini dilihat dari bagaimana sikap, tingkah laku, keseharian, cara berfikir, gaya hidup dan pendidikan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis.
3.2Semiotika pada Novel Salah Asuhan
NoSignifier (pananda)Signified (petanda)
(1)bunyi peluit melengking. Kereta lain menjelang getarnya pada rel telah terasaPetanda bahwa kereta akan tiba di stasiun
(2)seorang lelaki tampak diambang pintu kereta.sosok itu terlalu menonjol dibanding dengan penumpang lain. Dia satu-satu orang yang berkulit pucat wajahnya menjulang diantara kepala-kepala hitam yang lebih rendah dari bahunya. Serat-serat rambut jagung masih tersisa di antara ombak putih yang mengeras oleh lembab katulistiwaPetanda dari kutipan tersebut seseorang dari luar negeri atau bule
(3)langit biru kental seolah ia baru saja mewarnainya dengan cat poster, bukan cat air. Tetapi petak-petak sawah yang mereka lewati menampakkan reretak, seperti sienna tebal yang telah tahunan kering pada palet. Ia tersadar bahwa yang indah tak selalu baik rupanya. Seperti biru langit itu. Biru yang berbahaya. Biru yang panas. Ia menjadi sedih. Seolah-olah biru yang berbahaya itu adalah tanda mengenai apa yang sedang terjadi di dalam hatinyaPenanda dari tek tersebut langit yang cerah dan panas
(4)saya tidak memakai milik sahabat sendiri, Jacques. Saya merawatnya. Saya merawat milik sahabat saya." Marja berdebar karena jawaban itu. Jacques tua mengibaskan saputangannya. "Oh la la! Berbahagialah mademoiselle! Jika mobil yang menyalahi prinsip hidup nya saja ia rawat, bagaimana pula dengan nona muda yang cantik, kekasih sahabatnya ini?Kesana makna petanda dari kalimat tersebut bahwa Parang jati tidaka akan mamakai barang temannya sendiri apa lagi mengambilnya. Tidak merampas hak milik orang lain
(5)Bukan itu saja, mademoiselle. Oh la la! Sayang betul, Anda sudah menjadi gadis kosmopolitan sepenuhnya! Orang Jawa sekarang sudah menjadi orang Indonesia yang kering!Kesan makna petanda tersebut bahwa di tanah Jawah pendapatan penghasilan sudah kurang.
(6)Sementara itu, Blok Timur menjalankan politik domino. Kamu tahu, dalam permainan domino, kartu yang jatuh akan menjatuhkan kartu berikutnya. Begitu selanjutnya, hingga semua kartu akhirnya jatuhPetanda dari kalimat tersebut ialah dalam dunia politik seseorang harus pintar menempatkan diri agar dapat memainkan peran yang baik
(7)"Saya seorang saintis," dengan nada sedikit menggurui. "Tapi saya tidak keberatan untuk menambahkan sopan-santun dalam proses penelitian. Misalnya, minta permisi pada sesuatu yang belum tentu adaKesan petanda dalim kutipan tersebut yaitu menunjukkan sopan santu pada siapapun dan di manapun. Seorang ilmuan sebaiknya mengetahui nilai-nilai dan budaya serta kebiasaan yang dianut atau dimiliki pada suatu daerah.