Mohon tunggu...
Lalu KenRaievan
Lalu KenRaievan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Beropinilah dengan bebas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Muhammadiyah dan Pemberdayaan Perempuan

8 November 2022   18:53 Diperbarui: 8 November 2022   19:06 7589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemberdayaan Perempuan Dari Berbagaimacam Bidang

Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang berkemajuan, yang ketika penggunaan bangku masih dianggap warisan Belanda yang nota bene disebut kafir oleh ulama pada masa itu, Kiai Ahmad Dahlan membuat terobosan dengan pemakaian bangku di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ketika Khutbah Jumat masih menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah berani menganjurkan penggunaan bahasa Indonesia dan tidak jarang menggunakan bahasa setempat agar isi khutbah tersebut bisa dipahami oleh masyarakat. 

KH. Ahmad Dahlan dikenal sebagai Kiai yang moderat dan cenderung melawan arus pada zamannya banyak mengkritik pemahaman masyarakat tentang Islam pada masa itu. Islam sering dituduh telah memberi legitimasi terhadap penyempitan peran perempuan hingga kekerasan terhadap perempuan. 

Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang cukup mapan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kiai Ahmad Dahlan dibantu Nyai Walidah menggerakkan perempuan untuk memperoleh ilmu, melakukan aksi sosial di luar rumah yang bisa disebut radikal dan revolusioner saat itu. Kaum perempuan didorong meningkatkan kecerdasan melalui pendidikan informal dan nonformal seperti pengajian dan kursus-kursus.

‘Aisyiyah merupakan organisasi perempuan yang didirikan sebagai jawaban atas pentingnya perempuan berkiprah di wilayah-wilayah sosial kemasyarakatan. Gerakan perempuan Muhammadiyah yaitu ‘Aisyiyah yang lahir tahun 1917 hadir pada situasi dan kondisi masyarakat dalam keterbelakangan, kemiskinan, tidak terdidik, awam dalam pemahaman keagamaan, dan berada dalam zaman penjajahan Belanda. 

Kini gerakan perempuan Indonesia menghadapi masalah dan tantangan yang kompleks baik dalam aspek keagamaan, ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Untuk menghadapi tantangan kompleks tersebut, maka gerakan ‘Aisyiyah dituntut untuk melakukan revitalisasi baik dalam pemikiran maupun orientasi praksis yang mana gerakannya mengarah pada pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan menuju kemajuan yang utama, dan ini dinyatakan secara visioner.

Sebagai sebuah organisasi pergerakan ‘Aisyiyah telah meletakkan pijakan dasar tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan sejak didirikan. Hal tersebut mencerminkan bahwa ‘Aisyiyah (Muhammadiyah) telah menempatkan perempuan dan laki-laki dalam peran kemasyarakatan yang setara. 

Oleh karena itu ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan dari Ortom Pergerakan Muhammadiyah perlu mempertegas visi dan misinya, bukan lagi sekedar organisasi perempuan yang melengkapi organisasi induknya yaitu Muhammadiyah. 

Gerakan ini perlu menyelaraskan dan menegaskan perannya terkait dengan isu-isu perempuan kontemporer seperti; perdagangan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap TKW, sampai soal kepemimpinan perempuan di sektor publik yang masih belum mendapatkan legitimasi penuh baik secara kultural maupun secara teologis, lengkapnya sebagaimana yang tercantum dalam MDGs (Millenium Development Goals), yang walaupun masa berlakunya sudah limit, akan tetapi program dunia ini masih akan dilanjutkan dalam Sustainability Development Goals (SDGs), dengan 12 program pokok gender, sebagaimana yang tertuang dalam Beijing Platform for Action.

Gerakan pemberdayaan perempuan yang telah banyak dilakukan oleh ‘Aisyiyah seyogyanya tidak dilakukan secara seporadis, tanpa melihat keterkaitan dengan program yang ada lainnya. Pergerakan ‘Aisyiyah haruslah terintegrasi dan komprehensif, dengan mengembangkan orientasi gerakannya bukan sekadar menciptakan kader-kader perempuan yang shalihah secara ritual (fiqhiyyah), namun tidak bisa menganalisa ketertinggalan perempuan ataupun hegemoni tradisi dan tafsir agama yang tekstual (skripturalis) sehingga mengungkung cara berpikir dan bertindak sebagian besar perempuan Islam. 

‘Aisyiyah perlu melakukan reorientasi organisasi yang selanjutnya dikuti dengan penguatan dan optimalisasi praksis sosial, dengan dilandasi teologi al Ma’un, sebagai inspirasi dasar gerakan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Reorientasi ini harus diikuti dengan menciptakan kader-kader yang mampu menciptakan perempuan-perempuan yang shalihah sebagai ulama perempuan yang memahami Al-Qur’an yang mampu mensinergikannya dengan kondisi kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun