Mohon tunggu...
Maulida Husnia Z.
Maulida Husnia Z. Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswi

Belajar menulis kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rezeki Sudah Ada yang Ngatur, Pak

29 Januari 2018   17:23 Diperbarui: 29 Januari 2018   17:35 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari sabtu dan minggu mungkin telah ditetapkan menjadi hari yang penuh berkah bagi sebagian orang. Sopir angkot salah satunya. Ketika tiba akhir pekan, maka bisa dipastikan keadaan stasiun atau terminal menjadi sangat ramai.

Pada hakikatnya, itu dikarenakan arus balik libur masyarakat, terutama mahasiswa yang berstatus anak rantau. Keadaan itu jelas menguntungkan bagi sang sopir angkot. Belum ada 5 menit, angkot sudah terisi penuh dan siap luncur.

Lelah setelah berjam-jam di dalam kereta, naasnya saya harus berlelah-lelah lagi dengan sopir angkot yang kurang bersahabat, sebut saja Pak Kumis. Dari awal penumpang masuk, Pak Kumis ini sudah membuat para penumpang tidak nyaman karena tutur-pituturnya.

"Tase ojo diseleh ngono mbak! kudu mbayar dobel ngonowi. Dikiro numpak becak opo?! (Tasnya jangan ditaruh kayak gitu mbak! Harus bayar dobel kaya gitu. Dikira naik becak apa!?)" 

Tutur yang cukup kasar untuk ditujukan pada seorang wanita dengan tas besar ya.

Seketika saya hanya membatin, biasa aja sih pak kalau ngasih tau, kan nggak harus marah-marah juga. Ah sudahlah.

***

Angkot sesak itu pun mulai berjalan dengan sedikit tidak santai. Seperti dikejar sesuatu, Pak Kumis ini mengemudi dengan brutal sambil terus memencet klakson (Ya Allah, semoga saya dan seluruh penumpang disini selamat)

Para pengendara motor yang jadi korban lalu memandang dengan sebal. Duh, manusia mana sih yang tidak sebal menghadapi sopir angkot yang semena-mena ini.

Lalu ketidaknyamanan berlanjut ketika Pak Kumis mengintruksi penumpang yang akan turun untuk cepat-cepat. Semua penumpang juga disuruh membayar tarif angkot terlebih dahulu supaya bisa turun dengan cepat (kenapa sih pak, kok nggak bisa santai aja sebentar?)

Kemudian ada mahasiswa yang akan turun di depan kampusnya.

"Pak, turun di depan gerbang 2"

Krik Krik. Tidak ada sahutan.

Pak Kumis yang mengemudi ugal-ugalan ini hamper melewati tempat yang dimaksud penumpang tadi untuk turun. Wajar saja sih menurut saya, kalau penumpang cemas karena sopir tidak dengar, takut kebablasan.

Akhirnya mahasiswa tadi memastikan lagi.

"Kiri pak, Kiri"

Tapi Pak Kumis malah menyahut, "Iyo mbak, mobil iki enek rem e kok! (Iya mbak, mobil ini ada remnya kok!)"

Dan selanjutnya Pak Kumis ngomel nggak jelas, saya pun juga sudah lupa. Disini saya bingung, kenapa sopirnya malah marah? Salahkah mbaknya tadi? Ah sudahlah.

***

Disisa perjalanan, saya senam jantung. Bagaimana tidak? Bukan hanya ugal-ugalan mendahului pengguna jalan lain, Pak Kumis ini juga menerobos lampu merah dengan seenaknya.

Singkat cerita, hanya ada 2 orang tersisa di dalam angkot (saya salah satunya). Kebetulan kami berdua turun di kampus yang sama. Pak Kumis berharap cepat sampai di kampus kami, supaya kami segera turun dan kembali lagi ke stasiun untuk mencari penumpang lagi, mumpung ramai. Lebih cepat lebih baik agar penumpang tidak diembat angkot yang lain.

Naasnya, terlihat kemacetan didepan mata. Pak Kumis ngomel, lalu angkot banting setir memutar arah.

Yap, kami diturunkan disana. Lumayan jauh dari kampus kami. Pak Kumis pesimis tidak bisa menerobos kemacetan disana. Kami dilanda bingung sejenak, sengaja tidak turun dahulu. Siapa tau Pak Kumis berubah pikiran dan mengantar kami yang membawa tas-tas berat ini kembali ke tempat tujuan.

Pak Kumis ngomel,

"Ate mbalek ke stasiun to!? Ayo wes nggak usah mbayar, melu nek stasiun maneh! (Mau kembali lagi ke stasiun to!? Ayo nggak perlu mbayar, ikut ke stasiun lagi!)"

Cuma satu kata, eh dua kata maksudnya. SEMENA-MENA.

Padahal, kalau Pak Kumis mau sabar sebentar saja, pasti kemacetan akan segera hilang mengingat macetnya tidak terlalu parah.

Padahal lagi, kami berdua sudah membayar dengan tarif yang ditentukan.

Padahal lagi, kampus masih jauh sekali dan mau tidak mau kami harus berjalan kaki kesana.

Sehat terus ya, Pak Kumis..

NB : Hanya ingin berbagi kisah, maaf jika ada pihak yang tersinggung :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun