Mohon tunggu...
Kementerian KajianStrategis
Kementerian KajianStrategis Mohon Tunggu... Jurnalis - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Kementerian Kajian Strategis oleh BEM KM UMY

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peringatan Hari HAM dan Menolak Lupa Masalah yang Belum Tuntas

9 Desember 2022   21:15 Diperbarui: 9 Desember 2022   21:41 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerusuhan Mei dan Krisis Moneter (1998)

Krisis mata uang yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997 telah berlangsung selama hampir dua tahun dan berkembang menjadi krisis ekonomi, yaitu stagnasi kegiatan ekonomi akibat meningkatnya penutupan perusahaan dan meningkatnya pengangguran. Krisis ini sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh krisis moneter, karena sebagian diperparah oleh rentetan bencana nasional yang terjadi silih berganti di tengah kesulitan ekonomi.

Seperti gagal panen padi di banyak tempat akibat untuk apa dan merupakan kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir, wabah hama, kebakaran, penggundulan hutan besar-besaran di Kalimantan dan huru-hara yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 dan sesudahnya. Krisis moneter ini juga terjadi di negara-negara Asia lainnya sehingga peristiwa ini disebut sebagai Krisis Finansial Asia pada 1997.

Kerusuhan dan berbagai huru-hara terjadi di berbagai daerah di Indonesia terutama di kota-kota besar akibat naiknya harga komoditas primer dan sekunder. Di dalam kekacauan yang terjadi di masyarakat, banyak terjadi kekerasan dan penjarahan yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tindakan-tindakan ini diprakarsai oleh kecemburuan sosial kaum pribumi kepada kaum Tionghoa yang dianggap menguasai perekonomian. Stigma buruk terhadap etnis Tionghoa sudah ada sejak masa Hindia Belanda yang kemudian dilanggengkan oleh Orde Baru dengan banyak tindakan-tindakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa. 

Tindakan pemerintahan Orde Baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa diantaranya adalah memaksa mereka merubah namanya menjadi nama yang lebih 'pribumi' dan melarang perayaan Imlek yang merupakan budaya Tionghoa.

Selain itu pemerintah melalui ABRI membentuk sebuah tim dengan nama Tim Mawar pada Juli 1997 menurut laporan berita Tempo. Tim ini dibentuk oleh Mayor Inf. Bambang Kristiono dengan tujuan memburu dan menangkap orang-orang yang dianggap radikal dan 'terlalu berisik'. Jumlah aktivis yang telah berhasil dihilangkan oleh Tim Mawar adalah 22 orang. 9 orang diantaranya berhasil kembali dalam keadaan hidup sedangkan 13 orang lainnya dinyatakan hilang tanpa kejelasan apapun. 13 orang tersebut adalah Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Suyat, Yani Afri, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Sony, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Munandar, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.

Permasalahan HAM di Era Reformasi (1998-sekarang)

Sebelum jauh memasuki pembahasan di periode pemerintahan Jokowi, permasalahan HAM juga sempat terjadi di masa pemerintahan setelah Soeharto, yaitu BJ Habibie. Tragedi Semanggi merupakan kejadian pelanggaran HAM berat yang terjadi di saat demonstrasi mahasiswa yang tidak puas dengan pemerintahan Habibie kala itu. Setidaknya Tragedi Semanggi I menimbulkan 17 korban jiwa dan 456 orang luka-luka.

Kemudian Tragedi Semanggi II terjadi pada 24-28 September 1999 dengan penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap keputusan DPR yang mengesahkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Demonstrasi ini menyebabkan 1 orang demonstran meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Hal yang ironis adalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini masih sangat minim sampai sekarang.

Beralih ke masa pemerintahan SBY, lebih tepatnya ketika terjadinya kematian misterius salah satu aktivis HAM, Munir, pada 2004. Reaksi SBY ketika itu adalah membentuk TPF (Tim Pencari Fakta) untuk mencari fakta apa yang sebenarnya terjadi karena banyaknya kejanggalan. Setelah didapati banyak sekali kejanggalan yang ada selama proses penyelidikan, telah didapati bahwa pelaku pembunuhannya adalah Pollycarpus selaku salah satu kru pesawat yang ditumpangi Munir dalam perjalanannya menuju Belanda. Hal yang patut dikritisi adalah kejanggalan yang muncul dari hasil penyelidikan TPF yang justru menimbulkan keganjalan lainnya. 

Kejanggalan tersebut adalah TPF tidak membeberkan hasil penyelidikannya ke publik sehingga dalang sebenarnya dari peristiwa pembunuhan ini tidak diketahui atau bahkan tidak akan pernah diketahui. Menjelang 18 tahun kematian Munir, saat ini hasil penyelidikan tersebut sudah dinyatakan hilang entah hal busuk apa yang disembunyikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun