Indonesia sebagai negara hukum, memiliki segala keteraturan sebagai landasan aspek kehidupan sehari-hari dalam lingkup sosial, pemerintahan, dan kebangsaan. Menurut Eddy Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk membangun negara hukum berdasarkan Pancasila, kegiatan pembangunan hukum diperlukan untuk membangun sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, utuh, dan dinamis. Revisi KUHP merupakan salah satu proses pembangunan hukum yang sedang dilakukan oleh pemerintah, khususnya di bidang hukum pidana (RUU KUHP).
Rancangan Undang-Undang KUHP merupakan rancangan undang-undang yang bertujuan untuk memperbaharui KUHP turunan Wetboek van Srafrecht fr Nederlandsch serta menyesuaikannya dengan politik hukum, situasi, dan perubahan masyarakat, bangsa, dan pemerintahan kontemporer. Peraturan perundang-undangan juga dibuat dengan maksud untuk mengatur keserasian antara kepentingan umum atau negara dengan kepentingan perseorangan, perlindungan pelaku kejahatan terhadap pelaku kejahatan dan korban lainnya, unsur perbuatan dan sikap batin, kepastian hukum dan keadilan, hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai universal, serta hak dan kewajiban manusia.
Perancangan RKUHP
Sejak tahun 1968, 628 item telah ditambahkan ke dalam RUU KUHP. Tidak dapat dipungkiri memang ada beberapa karya yang mungkin dipandang tidak pantas untuk kehidupan budaya milenial saat ini dan sebagai artikel yang kontroversial, namun hal ini dikarenakan dalam pembuatannya selalu mengalami perubahan dan mengikuti kemajuan kehidupan sosial selama lebih dari satu tahun. 50 tahun. Agar lebih jelas dan rinci dari KUHP, beberapa peraturan atau pasal dalam RUU KUHP telah diubah, asalkan dapat meluangkan waktu untuk membaca dengan seksama dan memahaminya. Selain itu, penyusunan RUU KUHP lebih tertata dan menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Hukum pidana adalah sekumpulan peraturan yang dibentuk oleh negara dengan tujuan untuk membela kepentingan masyarakat dari ancaman atau kerugian yang nyata, baik perbuatan itu datang dari satu orang atau sekelompok orang. Pompe juga menawarkan pengertian tindak pidana dari segi hukum positif, yang menyatakan bahwa tindak pidana dicirikan sebagai pelanggaran standar yang ditegakkan karena pelakunya bersalah dan harus dihukum untuk mempertahankan aturan hukum dan melindungi kesejahteraan masyarakat. masyarakat. Tindak pidana adalah perbuatan yang menggabungkan tiga unsur: melawan hukum, membuat kesalahan yang dapat dimintai pertanggungjawaban, dan dapat mengakibatkan hukuman.[1]
Meskipun undang-undang hukum pidana kita berasal dari undang-undang era Belanda yang sudah ada lebih dari seabad yang lalu, rancangan RUU KHUP akhir-akhir ini menjadi sorotan karena banyak mengandung pasal-pasal yang kontroversial dan karena ditutup-tutupi dan diburu-buru. Pada tanggal 1 Januari 1918, Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvS) Stb No.732/1915 mulai berlaku. Kemudian, KUHP atau dikenal juga dengan WvS ditetapkan sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional yang dapat diakses oleh kepentingan umum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Namun, sejak tahun 1958, telah dilakukan inisiatif untuk mengubah KUHP. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) didirikan pada tahun yang sama. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awalnya membahas revisi KUHP dengan DPR pada 2012. Presiden Joko Widodo menyampaikan rencana pembaruan itu kepada DPR pada 2015 dan menerbitkan Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015 pada 5 Juni di tahun yang sama. Kemudian ada pembicaraan ekstensif yang berlangsung selama lebih dari empat tahun setelah itu.
Pasal Kontroversial
Banyak sekali pro dan kontra mengenai RUU KUHP, banyak sebagian masyarakat menolak karena di anggap beberapa pasal menguntungkan pemerintah itu sendiri, padahal pada dasarnya, Undang-Undang di buat untuk masyarakat namun pada nyatanya undang undang tersebut di nilai banyak menguntungkan dan di anggap menguntungkan kekuasaan..
Berikut beberapa pasal yang di anggap kontroversial bahkan di anggap pasal karet dan multi tafsir :
- Penghinaan Terhadap Pemerintah
Hal ini diatur dalam Pasal 240 dan 241 draft RKUHP versi 2019. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa barangsiapa melakukan perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, dan 4 tahun jika perbuatan tersebut dilakukan melalui media teknologi informasi.
- Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
Hal ini diatur dalam Pasal 353 dan 354 draft RKUHP versi 2019. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa barangsiapa melakukan perbuatan menghina kekuasaan umum dan lembaga negara dapat dipidana penjara hingga 3 tahun lamanya.
- Penghasutan Melawan Penguasa Umum
Delik ini diatur dalam Pasal 246 dan 247 RKUHP versi 2019. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa barangsiapa melakukan perbuatan menghasut penguasa umum dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun. Adapun yang dimaksud dengan menghasut yaitu mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang untuk berbuat sesuatu. Menghasut juga hadir dalam berbagai macam bentuk yakni melalui lisan ataupun tulisan, dan ditempat yang didatangi publik atau khalayak ramai dapat mendengar.
- Penyerangan Kehormatan Presiden
Penyerangan terhadap kehormatan Presiden dan Wakil Presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP. Barangsiapa melakukan perbuatan penyerangan terhadap kehormatan Presiden dan Wakil Presiden dapat dikenai hukuman pidana penjara selama 3,5 tahun. Namun, dalam Pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana ini hanya dapat dituntut jika adanya aduan, dan dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
- Penghinaan dan Pengkritikan
Melihat dari pasal di atas sangat jelas bahwasahnya ruang demokrasi semkain di bungkam dan batasi padahal indonesia sebgai negara demokrasi harusnya meberikan ruang kepada siapapun untuk menyampaikan pendapat dan kritikan, padahal Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi " "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pembungkaman Terhadap Aspirasi Rakyat
Ikatan Pendiri Jaringan Nusantara Heri Sebayang menyampaikan, ada beberapa pasal dalam RKUHP yang mematikan demokrasi dan amanah reformasi. Utamanya, Pasal 256 di mana ada ancaman pidana penjara selama enam bulan bagi penyelenggaraan demonstrasi tanpa pemberitahuan dan berakibat huru-hara.
"RKUHP ini, bentuk pembungkaman terhadap aktivis dan kelompok kritis terhadap pemerintah," Heri Sebayang kepada wartawan, Â Heri juga menyampaikan, Â Pasal 256 dalam draf RKUHP bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45, yang menjamin kebebasan berekspresi masyarakat. "Pasal 28 yang menjamin kebebasan berpendapat di muka umum yang berbunyi bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya," terangnya.
Heri juga menyoroti Pasal 240 dan 241 RKUHP yang memuat hukuman penjara selama 4 tahun bagi orang-orang yang dianggap menghina pemerintah. Padahal, lanjutnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal 134 terkait penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Pasal ini dianggap multitafsir dan akan menjadi alat pemerintah membungkam masyarakat yang kritis, namun sangat disayangkan ternyata dalam RKUHP kembali dimunculkan oleh pemerintah dan DPR,"
Berkaitan dengan pasal 241  Menyebarluaskan hinaan terhadap pemerintahdi media sosial dapat terancam maksimal  4 tahun penjara, padahal sebelumnya peraturan tersebut juga di atur dalam UU ITE, Hal ini membuat masyarakat di buat binggung terhadap banyaknya Undang-Undang.
Korelasi UU ITE
Melihat peliknya proses penyusunan RKUHP dengan segala kontroversinya, terdapat permasalahan yang tak bisa dibiarkan terkait masalah peraturan yang telah dibentuk, yaitu ketumpang tindihan antara RKUHP dengan UU ITE. Jika tidak dipertimbangkan dan ditelaah lebih jauh, keberadaan peraturan ini dapat disinyalir menyebabkan adanya duplikasi pasal. Anggara kepada Kompas.com menyebutkan bahwa "Duplikasi tindak pidana akan mengakibatkan tumpang tindih yang bertentangan dengan kepastian hukum," (Erdianto, 2019).
Menurut Anggara, revisi UU ITE harus menjamin duplikasi tidak terjadi, misalnya terkait tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong. Penelusuran Kompas.com, terdapat perbedaan ancaman pidana terkait tindak pidana penghinaan dalam UU ITE dengan KUHP dan RKUHP yang tengah dibahas.
UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000. Sementara itu, dalam KUHP tindak pidana penghinaan secara lisan diancam pidana penjara maksimal 9 bulan dan penghinaan secara tertulis maksimal 1 tahun 4 bulan. Berdasarkan draf RKUHP per 25 Juni 2019, penghinaan secara lisan tetap diancam pidana penjara maksimal 9 bulan. Sedangkan, penghinaan secara tertulis ataupun gambar diancam pidana maksimal 1 tahun 6 bulan.
Draft Final RKUHP Sudah Rilis
Draft final RKUHP yang baru-baru ini telah rilis pada tanggal 4 Juli 2022 menjadi kabar baik bagi masyarakat, tetapi disisi lain juga menjadi kabar buruk karena banyak terdapat pasal karet dalam RKUHP , setidaknya ada tujuh hal yang dilakukan pemerintah dalam revisi atau penyempurnaan RKUHP tersebut, salah satunya yaitu 14 isu krusial. Dalam draft final RKHUP terdapat pasal yang masih dipertahankan sebagai isu krusial salah satunya pasal penyerangan terhadap martabat  Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut sangat berpotensi membatasi kebebasan berekspresi melalui pikiran dan pendapat yang telah dijamin oleh pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945. Pasal karet lainnya adalah pasal tentang tindak pidana penghinaan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara yang diatur dalam pasal 351 dan 352 dengan ancaman pidana paling lama satu tahun enam bulan. Kedua hal tersebut jelas sangat menciderai demokrasi karena hak kita untuk menyampaikan kritik terhadap kinerja dari pemerintah justru dibungkam dan dikriminalisasi oleh pasal-pasal yang ada di draft final RKUHP. Karena akar feodalisme dalam masyarakat kita masih tumbuh subur di bidang kehidupan tertentu, maka akan sulit membedakan antara kritik dan hinaan dalam konteks politik dan kekuasaan. Tidak mudah untuk memahami pola relasi kuasa (paternalisme), namun begitu mendarah daging dalam struktur tatanan sosial kita sehingga hukum saja masih bisa dipermainkan oleh mereka yang punya kekuasaan.
Dampak dari RKUHP
RKUHP mempengaruhi seberapa rentan anak-anak. Menurut otoritas Puskapa UI (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan Anak dan Kualitas Hidup) Universitas Indonesia, sejak 2014 hingga 2019, ada sekitar 9.119 anak yang menjalani hukuman penjara. Anak-anak yang dijatuhi hukuman penjara biasanya melakukannya karena melakukan kejahatan terkait pencurian. Sebagian besar anak-anak ditahan di fasilitas penahanan atau penjara orang dewasa bersama dengan barang-barang, obat-obatan, dan kekerasan terhadap anak-anak. KHUP yang baru harus menyadari betapa rentannya anak-anak yang bermasalah dengan hukum, karena penjara tidak pernah menjadi tempat yang cocok untuk anak-anak.
Namun, perempuan adalah kelompok rentan yang muncul dari RKUHP. Contohnya termasuk Pasal 467, yang melarang ibu mengakhiri hidup anaknya yang baru lahir, dan Pasal 470--472. Premis diskriminasi terhadap perempuan memiliki kemungkinan besar untuk dikriminalisasi berdasarkan pasal 467. Berkaitan dengan pasal 472, perlu berhati-hati dalam memasukkan pasal-pasal pada tubuh perempuan karena harus memasukkan faktor gender untuk mencegah terjadinya kasus-kasus di masa depan yang melibatkan perempuan. dikriminalisasi karena mendapatkan hukuman karena membela kesehatannya sendiri. Pasal ini akan menghukum perempuan yang mengakhiri kehamilannya karena krisis medis atau perempuan lain yang menjadi korban kekerasan seksual.
RKUHP dan pengaruhnya terhadap industri tertentu, termasuk jurnalisme. Salah satu perlindungan terhadap pemerintahan yang korup dan menindas adalah kebebasan pers; jika kebebasan itu dibatasi, maka kita sebenarnya tidak lagi berbicara tentang menciptakan peluang ketidakadilan. Beberapa pasal tentang kebebasan berekspresi terlihat tidak tercakup secara khusus. Pasal 218--220, 219--220, dan 220--220 memuat penghinaan terhadap otoritas publik dan lembaga negara, serta presiden dan wakil presiden (Pasal 351 dan 352). Kemudian soal izin keramaian (Pasal 256), yang mengatur protes dan unjuk rasa, penyebaran informasi bohong (Pasal 263), dan soal makar (Pasal 191-196).
Â
References
Erdianto, K. (2019, Agustus 10). Agar Tak Tumpang Tindih, UU ITE dan RKUHP Diminta Sejalan. Retrieved from Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2019/08/05/10594841/agar-tak-tumpang-tindih-uu-ite-dan-rkuhp-diminta-sejalan
Qodar, N. (2022, Juli 8). HEADLINE: Draft Final RKUHP Ancam Penghina Presiden dan Wapres 3,5 Tahun Bui, Pasal Karet? Retrieved from https://www.liputan6.com: https://www.liputan6.com/news/read/5007795/headline-draft-final-rkuhp-ancam-penghina-presiden-dan-wapres-35-tahun-bui-pasal-karet
UI, F. (2022, Juli 4). Dampak Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pada Perempuan dan Kelompok Rentan. Retrieved from https://fisip.ui.ac.id: https://fisip.ui.ac.id/pengesahan-rancangan-kitab-undang-undang-hukum-pidana-ruu-kuhp-dan-dampaknya-pada-perempuan-dan-kelompok-rentan/
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H