Delik ini diatur dalam Pasal 246 dan 247 RKUHP versi 2019. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa barangsiapa melakukan perbuatan menghasut penguasa umum dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun. Adapun yang dimaksud dengan menghasut yaitu mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang untuk berbuat sesuatu. Menghasut juga hadir dalam berbagai macam bentuk yakni melalui lisan ataupun tulisan, dan ditempat yang didatangi publik atau khalayak ramai dapat mendengar.
- Penyerangan Kehormatan Presiden
Penyerangan terhadap kehormatan Presiden dan Wakil Presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP. Barangsiapa melakukan perbuatan penyerangan terhadap kehormatan Presiden dan Wakil Presiden dapat dikenai hukuman pidana penjara selama 3,5 tahun. Namun, dalam Pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana ini hanya dapat dituntut jika adanya aduan, dan dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
- Penghinaan dan Pengkritikan
Melihat dari pasal di atas sangat jelas bahwasahnya ruang demokrasi semkain di bungkam dan batasi padahal indonesia sebgai negara demokrasi harusnya meberikan ruang kepada siapapun untuk menyampaikan pendapat dan kritikan, padahal Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi " "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pembungkaman Terhadap Aspirasi Rakyat
Ikatan Pendiri Jaringan Nusantara Heri Sebayang menyampaikan, ada beberapa pasal dalam RKUHP yang mematikan demokrasi dan amanah reformasi. Utamanya, Pasal 256 di mana ada ancaman pidana penjara selama enam bulan bagi penyelenggaraan demonstrasi tanpa pemberitahuan dan berakibat huru-hara.
"RKUHP ini, bentuk pembungkaman terhadap aktivis dan kelompok kritis terhadap pemerintah," Heri Sebayang kepada wartawan, Â Heri juga menyampaikan, Â Pasal 256 dalam draf RKUHP bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45, yang menjamin kebebasan berekspresi masyarakat. "Pasal 28 yang menjamin kebebasan berpendapat di muka umum yang berbunyi bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya," terangnya.
Heri juga menyoroti Pasal 240 dan 241 RKUHP yang memuat hukuman penjara selama 4 tahun bagi orang-orang yang dianggap menghina pemerintah. Padahal, lanjutnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal 134 terkait penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Pasal ini dianggap multitafsir dan akan menjadi alat pemerintah membungkam masyarakat yang kritis, namun sangat disayangkan ternyata dalam RKUHP kembali dimunculkan oleh pemerintah dan DPR,"
Berkaitan dengan pasal 241  Menyebarluaskan hinaan terhadap pemerintahdi media sosial dapat terancam maksimal  4 tahun penjara, padahal sebelumnya peraturan tersebut juga di atur dalam UU ITE, Hal ini membuat masyarakat di buat binggung terhadap banyaknya Undang-Undang.
Korelasi UU ITE
Melihat peliknya proses penyusunan RKUHP dengan segala kontroversinya, terdapat permasalahan yang tak bisa dibiarkan terkait masalah peraturan yang telah dibentuk, yaitu ketumpang tindihan antara RKUHP dengan UU ITE. Jika tidak dipertimbangkan dan ditelaah lebih jauh, keberadaan peraturan ini dapat disinyalir menyebabkan adanya duplikasi pasal. Anggara kepada Kompas.com menyebutkan bahwa "Duplikasi tindak pidana akan mengakibatkan tumpang tindih yang bertentangan dengan kepastian hukum," (Erdianto, 2019).
Menurut Anggara, revisi UU ITE harus menjamin duplikasi tidak terjadi, misalnya terkait tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong. Penelusuran Kompas.com, terdapat perbedaan ancaman pidana terkait tindak pidana penghinaan dalam UU ITE dengan KUHP dan RKUHP yang tengah dibahas.