Disclaimer. Artikel ini tidak ditujukan untuk pihak rumah sakit terkait saja, namun juga untuk pihak rumah sakit lain yang menerapkan hal serupa.
Latar Belakang
Baru-baru ini saya terpaksa melarikan mami saya ke rumah sakit disebabkan seharian tak mendapat asupan makanan. Bukan karena tak bisa membeli makanan, namun lebih karena seharian tak mampu bangun karena lemas.
Peristiwa ini mengulang kejadian bulan Februari lalu dimana saat seharian tubuh tak mendapat asupan makanan, kadar gula menurun drastis---hingga tubuh seperti tak mempunyai kekuatan untuk sekadar bangun atau duduk tegak. Namun berbeda dengan kejadian pada bulan Februari lalu, kali ini kondisi mami saya sepenuhnya sadar (Februari lalu saya temukan seperti habis jatuh dengan posisi menelungkup dan kondisi tak sadar). Hanya, meskipun saat ini kondisinya sadar dan seperti normal, respons terhadap teguran atau panggilan sangat minimalis.
Rumah Sakit terdekat dari rumah (Royal Surabaya) yang sempat disinggahi menginformasikan jika kondisinya kritis dan layak mendapat penanganan intensif. Padahal saat diantar ke sana pun sudah masuk kamar IGD. Tapi masih kurang intensif. Mestinya ke ruang ICU. Betapa terkejutnya saya saat dokter menyatakan tentang obat yang diminum sejak hampir seminggu sebelumnya (2 obat racikan dan 1 obat kemasan) hasil berobat ke dokter klinik semuanya mengandung penenang. Mungkin hal inilah yang menjadikannya sulit aktif dan sulit merespons sesuatu.
Namun kondisi berikutnya yakni hasil sinar Rontgen dan ketiadaan kamar ICU yang membuat pihak Rumah Sakit Royal Surabaya tak mampu menangani. Karena ada masalah pada paru-paru bagian kanan yang katanya berisi cairan. Hal inilah yang kemudian membuat mami saya harus dirujuk ke Rumah Sakit Tipe A dimana penanganannya diharapkan bisa lebih baik karena ditunjang oleh alat yang lebih lengkap dan dokter spesialis yang memadai. Saya menyayangkannya karena saya pikir, penanganan di RS Royal Surabaya (yang merupakan Tipe B) itu saja sudah cukup nyaman, juga tak jauh dari rumah jika membutuhkan sesuatu.
Pihak RS Royal Surabaya kemudian menghubungi beberapa Rumah Sakit Tipe A (yang sayangnya saya tak bisa memilih karena tergantung ketersediaan kamar). Saya yang selama ini hanya seorang yang tinggal serumah---diminta tanda-tangan untuk proses rujukan tersebut. Dan setelah menunggu sehari (mulai dari pemberitahuan saat sore sehari sebelumnya), ada kabar kamar kosong di RSUD Dr Soetomo. Sore hari itu saya segera minta izin pulang ke rumah untuk membawa pakaian kotor dan lainnya (juga mandi) yang kemudian diharuskan ikut di dalam mobil Ambulans bersama perawat ke RSUD Dr Soetomo.
Pasca kedatangan di RSUD Dr Soetomo ini pun masih harus menginap di ruang IGD label merah selama semalam. Selama itu pun saya sibuk dalam pengurusan registrasi, pengambilan resep obat dan kelengkapan di farmasi, menghubungi dan menjawab perawat (juga dokter) saat dibutuhkan, dan menjaga kondisi mami saya tetap nyaman. Praktis saya hanya mempunyai waktu sejam untuk istirahat karena sesaat berikutnya saya kembali dibangunkan dari tidur. Saat saya berada di Gedung sebelah (Arina) untuk registrasi inilah, rupanya dokter mengambil cairan pada paru-paru mami saya sebanyak satu liter, yang harus disimpan untuk kemudian diperiksa pada lab Patologi Anatomi beberapa hari kemudian.
Dan setelah menunggu kurang lebih setengah hari kemudian---atau siang hari keesokannya pasca pertama tiba di IGD, mami saya mendapat kamar pada ruang perawatan pasien paru-paru pada ruang paviliun Palem. Selama itu pula saya diwanti-wanti untuk tetap menjaga dan tetap berada di dekatnya guna pengambilan obat, sebagai wali pasien sewaktu-waktu jika dibutuhkan, pemberi obat/asupan di luar kantung infus dan lain-lainnya. Saya pun hanya keluar saat makan atau membeli popok (Pampers dewasa).
Saat saya mencoba berkeliling (jalan kaki) melihat situasi di pagi hari pertama di Rumah Sakit tersebut---saya menyempatkan untuk membeli tisu di pasar pagi di jl Karangmenjangan. Saya mendapati bahwa letak bangunan Rumah Sakit tersebut cenderung kurang strategis dalam posisinya terhadap para pedagang di luar.Â
Bahkan mesin ATM dari Bank rekening yang saya punya, posisi terdekatnya harus menyeberang jalan Prof Dr Moestopo karena masuk ke kompleks fakultas kedokteran UNAIR. Jaraknya lumayan jauh---sehingga terpikir agak riskan meninggalkan mami saya sendirian tanpa pendamping hanya untuk mengambil uang. Jika diambil dari mesin ATM yang ada dalam kompleks RSUD, biaya adminnya cukup besar karena lintas bank. Saat itu saya terpikir untuk membawa motor saja saat ingin makan di luar atau mencari sesuatu karena di dekat kompleks rumah sakit tersebut, harga2 relatif lebih mahal.
Lalu?
Seperti pada judul artikel ini yakni mengeluhkan tarif parkir, sebenarnya berawal dari kondisi dan persyaratan parkir yang menurut saya tidak transparan. Hingga saat pengambilan motor saya sempat adu mulut dengan staf pintu pembayaran parkir (motor) di RSUD Dr Soetomo Surabaya.
"Lho mbak ini kenapa dendanya 40 ribu?"
"Kan sudah ditulis di papan depan pak?"
"Di depan ditulis dendanya 10 ribu. Mana ada tulisan denda segitu?"
"Dendanya itu jalan terus pak. Ini kena 4 hari"
"Dendanya lho tertulis 10 ribu kalo lewat 48 jam."
Saya masih terus bersitegang dengan mbak staf, hingga saya yang emosi lalu meninggalkan parkiran sambil mengumpat.
Saya tak mendapati keterangan tulisan pada papan yang menyebutkan dendanya akan dihitung perhari, atau terakumulasi, atau menyebutkan kisaran waktu atau sejenis itu. Saya secara detail mengamati papan di dekat pos masuk parkiran saat mami saya masih baru tiba di IGD dengan mobil Ambulans meskipun saya belum menjadi pengguna jasa area parkirnya.
Yang saya pikirkan setelah membacanya, denda dihitung jika lewat 2 x 24 jam dan berlaku sekali. Jikapun ada akumulasi maka berikutnya dihitung 2 x 24 lagi setelah yang pertama. Saya pikir ini logis karena tarif tadi tertulis tanpa keterangan. Bila yang saya pikirkan keliru, berarti ada kesalahan penulisan pada papan yang cenderung ambigu. Karena UU dan aturan baku biasanya ditulis sejelasnya demi menyamakan persepsi pembaca.
Saya mempersilakan Anda juga mengeceknya. Pada tulisan angka soal tarif denda tak ada detail menyertainya, pada poin 'Ketentuan Umum' pun tak dijumpai. Padahal klausul aturan mestinya mencakup hal-hal demikian dengan sejelasnya. Karena hingga hari ini, saya KADANG berinisiatif mengajukan pinjaman pada lembaga keuangan untuk hal-hal darurat, dan mencermati bahwa KETERANGAN DENDA YANG DIHITUNG PERHARI juga dituliskan di sana. Bukan lantas seperti papan parkir itu: ditulis besaran angka denda besar tanpa keterangan dan poin penjelasan (pada ketentuan umum) lebih lanjut, lalu tiba-tiba pengguna jasa mendapati sendiri bahwa besaran angka itu berlaku perhari secara akumulasi justru setelah akan keluar. KEJELASAN KLAUSUL ITU PERLU.
Ini mungkin bisa disamakan seperti masuk warung pengemplang: makan sesuatu secara lahap dengan bandrol harga yang tak terlalu jelas, lalu baru sadar kena getok harga saat sudah selesai makan. Dalam hal ini saat selesai parkir. Sekali lagi, mana ada keterangan yang menyebutkan denda berlaku perhari atau berlaku akumulasi? Bila ada tolong tunjukkan ke saya dengan garis bawah atau lingkaran tanda warna merah.
Jika pun memang ada saya tak akan parkir di sana, karena saya selama seminggu mendampingi dan menjaga mami saya, hanya sekali saja tugas saya diganti oleh adik saya dan suaminya. Itu pun hanya semalam disebabkan kondisi keuangan juga: mereka mesti cari uang pasca libur jualan dua mingguan karena pembenahan gerobak/rombong lapaknya. Dan saya tak sempat berpikir lebih lanjut tentang parkir tersebut karena mesti konsentrasi mendampingi mami saya. Meski suatu saat bila harus masuk ke lingkungan RS lagi, saya pasti akan mencari lahan parkir yang lebih murah. Ke mall saja saya cenderung memilih parkir di rumah penduduk atau jasa parkir pihak ketiga yang tidak ribet.
Jika pun suatu saat saya tak menemukan lahan parkir di luar Rumah Sakit, mungkin aturan tersebut akan diakali dengan keluar sebelum 48 jam membeli sesuatu lalu putar balik masuk lagi. Atau langsung putar balik saja tanpa keluar kompleks. Kan yang tercatat oleh karcis dan sistem selalu terhitung 48 jam sebelum pemberlakuan denda. Walaupun hal ini juga terasa konyol: Pemerintah menggalakkan langkah untuk mengurangi emisi gas buang pencemar dari kendaraan (Dalam hitungan Dasawarsa akan menyetop penjualan kendaraan BBM), dan Pihak Rumah Sakit pun pasang tanda 'Dilarang Merokok di dalam Area Rumah Sakit' (tapi diperbolehkan di luar pagar meski paparan asapnya masih berpotensi masuk Rumah Sakit---siapa yang bisa menghalau angin berhembus?), namun pengguna jasa parkir bisa keluar-masuk dengan menggelontorkan emisi gas buang (Karbondioksida/Karbonmonoksida/paparan gas emisi lain) di sekitaran Rumah Sakit tiap sebelum 48 jam hanya sekadar untuk menghindari denda.
Hanya, keluar dengan motor sebelum datangnya pengganti pendamping pasien ini pun agaknya bertentangan dengan aturan bahwa pasien harus mempunyai wali/pendamping saat rawat inap.
Saat saya menulis artikel ini, saya menemukan artikel lain yang mengeluhkan kondisi parkir RSUD Dr Soetomo Surabaya. [Klik pada tautan] Dalam artikel tersebut dikeluhkan kenaikan tarif parkir dari 3000 ke 4000 rupiah. Meski pada artikel juga disebutkan tentang tujuan kenaikan tarif parkir yakni demi mengarahkan konsumen khalayak ke angkutan umum karena hasil perbandingan dengan negara lain, namun dalam hemat saya masih sangat perlu dikaji lagi karena ketersediaan moda angkutan dan kondisi yang menyertainya. Apakah kondisi sekitaran RSUD Dr Soetomo juga seperti negara lain?
Saat ini kondisi angkutan umum di sekitaran RSUD Dr Soetomo tak seperti di masa lalu, dimana sekarang moda seperti angkot/mikrolet makin langka dan trayek bus hanya mengarah ke satu terminal tujuan---itu pun bukan terminal antar-kota. Bus kota Semanggi hanya mengarah ke Keputih sedangkan untuk tarifnya tidak mengakomodir mereka yang hanya mempunyai uang tunai. Angkot/mikrolet mungkin lebih cocok buat mereka yang sakit namun berdana cekak seperti saya saat itu dimana standar tarif mereka terukur lebih murah untuk kisaran jarak lebih jauh dibandingkan ojek dan taksi daring. Namun keberadaan angkot ini rupanya tergerus oleh dominasi ojek dan taksi daring sehingga susah didapati pada malam hari lagi, tidak seperti satu dasawarsa lalu.
Dengan kemungkinan tujuan serupa---yakni mengarahkan pada angkutan umum, pada Bulan Februari lalu mami saya sempat dirawat di RSUD Sidoarjo, dimana kondisi serta keberadaan angkutan umum di sana malah lebih parah dan lebih konyol lagi: trayek angkutan umum diharuskan untuk lewat Pasar Larangan yang berada satu blok di belakang RSUD Sidoarjo, ketimbang memudahkan khalayak untuk dapat mencegat angkutan umum di depan bangunan rumah sakit. Jadinya, pasien atau keluarga pasien mesti berjalan sekitar seperempat hingga setengah jam dari kompleks RSUD hanya untuk memberhentikan angkutan umum. Sangat tidak praktis dan tidak efektif untuk kondisi umumnya orang.Â
Di RSUD Dr Soetomo ini meski arus angkutan umum masih bisa dijangkau lewat depan rumah sakit, namun keberadaannya terbilang sangat langka di malam hari saat posisi saya sebagai wali pasien mendapat pengganti. Saya tak menemukan moda angkutan umum selain bus Semanggi selama hampir sejam berada di sekitaran halte. Yang banyak BUKAN TRANSPORTASI UMUM seperti tujuan penetapan aturan tarif parkir, tapi lebih ke angkutan privat macam taksi baik daring/luring---dan ojek daring. Mudah tapi tidak murah.
Dan perlu diingat jika RSUD Dr Soetomo Surabaya ini juga merupakan rujukan dari rumah sakit luar kota juga tak hanya dari dalam kota Surabaya. Pasien sebelah namun sekamar (FYI, kami beberapa kali pindah kamar) malah berasal dari Sidoarjo dan Pasuruan. Apakah moda transportasi umum lokal di daerah tersebut juga sebaik di Surabaya? Bagaimana bila ada pasien berasal dari sudut kabupaten yang terpencil dimana akses moda angkutan umumnya sulit? Setidaknya jika keputusan soal tarif parkir ini mengarahkan ke moda angkutan umum, perlu dipikirkan juga kondisi di kabupaten lainnya. Bukan hanya dalam kota Surabaya, karena pasien juga berasal dari luar kota.
Perbandingan Kondisi Parkir Rumah Sakit
Dalam kurun waktu hitungan hari, saya menjadi pengguna jasa parkir dua rumah sakit berbeda karena kondisi kesehatan mami saya (disamping keinginan efektivitas) yang mengharuskan demikian. Disebut sebagai efektivitas, karena kondisi dan keberadaan pendukung yang terbatas selain juga karena keterbatasan dana (untuk wira-wiri pulang). Di luar itu, ada pertimbangan lain: saya hanya berdua tinggal serumah dengan mami saya. Jadi juga berpikir jika membawa sepeda motor tersebut cenderung 'lebih aman' ketimbang meninggalkannya di rumah tanpa pengawasan; karena tak ada siapapun lagi---kecuali tetangga dengan urusannya masing-masing. Ditambah, selain kami tak mempunyai CCTV pemantau, perumahan kawasan tempat tinggal saya agaknya masih tergolong daerah rawan.
Saya belum mencantumkan pada paragraf sebelumnya jika saya juga ditarif banyak saat motor masih berada di RS Royal Surabaya. Meski begitu saya tak begitu mempermasalahkannya karena di sana ADA PERTIMBANGAN TERTENTU. Saat mami saya akan dirujuk ke RSUD Dr Soetomo Surabaya, saya minta izin untuk pulang sebentar ke dokter di RS Royal Surabaya. Praktis, saat itu tak ada seorang pun mendampinginya sebagai wali pasien. Namun pada saat itu jarak tempuh dari rumah (dengan motor) kurang-lebih hanya sekitar 10-15 menit, jadi posisi saya bisa dikesampingkan sejenak. Saya mesti membawa pulang pakaian kotor atau beberapa benda lain disamping mami saya membutuhkan selimut dan beberapa barang, selain membersihkan badan karena mami saya diantar ke sana dalam kondisi gawat, saya tak terpikir untuk membawa barang apapun.
Saya pulang dengan ojek daring, sedangkan saya kembali ke rumah sakit Royal Surabaya menggunakan sepeda motor demi menghemat waktu---tak menunggu lama akan kedatangan dan fleksibilitas: bisa bolak-balik jika ada yang ketinggalan.
Meskipun demikian, saya tak bisa menggunakan sepeda motor itu saat mami saya diantar dengan mobil Ambulans karena harus ada satu pendamping keluarga di dalam Ambulans.
Sopir Ambulans tadi juga memberi wejangan jika saya baru bisa dan sebaiknya mengambil motor bila mami saya sudah mendapat kamar di RSUD Dr Soetomo, lepas dari kamar IGD. Singkatnya, motor kemudian terpaksa saya tinggal dan menginap di RS Royal Surabaya.
Jadi, saat saya berada di RSUD Dr Soetomo pun sepeda motor masih terparkir di RS Royal Surabaya. Motor tadi baru bisa saya ambil saat mami saya sudah mendapat kamar khusus buat perawatan pasien paru selama beberapa hari, dimana saat itu ada pengganti posisi saya sebagai pendamping/wali pasien yakni adik saya dan suaminya, selama semalam. Pada saat pengambilan motor (kata staf penjaga pintu keluar parkir RS Royal Surabaya), mestinya saya terkena tarif sebanyak Rp. 55.000 untuk jangka waktu 4 hari parkir. Namun ada pertimbangan potongan biaya Rp 40.000,- jika disertai laporan tentang sebab-musababnya. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku.
Staf tersebut kemudian menanyai saya apakah ada keluarga yang dirawat? Kalau ada di kamar berapa? Saya kemudian memberitahu nama mami saya dan kondisi sebenarnya bahwa sebelumnya memang dirawat di RS Royal Surabaya tersebut, namun kemudian dirujuk ke RSUD Dr Soetomo.Â
Dan tak ada ganti pendamping pasien sebelumnya. Tadinya saya berpikir andaikata bisa, saya akan membawa serta motor tersebut waktu bersama dengan mobil Ambulans. Membuntutinya dari belakang. Namun hal ini tidak bisa dan tak boleh dilakukan, karena pasien di dalam Ambulans perlu pendamping di sebelahnya. Saat masuk IGD pun perlu pengurusan kelengkapan registrasi. Akhirnya, hingga sepeda motor tersebut keluar dari RS Royal Surabaya, saya hanya dikenai tarif Rp. 15.000,- dari yang seharusnya Rp. 55.000,-
Saya baru bisa mengambil sepeda motor di RSUD Dr Soetomo saat sudah memulangkan mami saya dengan transportasi privat taksi online---karena menurut dokter, kondisinya sudah membaik dan bisa pulang. Ini di luar ekspektasi saya karena mami saya masih dipasang selang sonde (selang yang masuk dari hidung tembus ke lambung untuk asupan cair). Padahal posisi saya sebagai pendamping pasien pun baru bisa digantikan pada hari itu dimana adik saya dan suaminya sudah membawa pakaian selimut dan lainnya sebagai persiapan rawat inap seminggu ke depannya. Dan Anda bisa mengulang sub dua artikel ini untuk alur selanjutnya.
Meski tarif parkir di RS Royal Surabaya---yang merupakan swasta---terasa lebih manusiawi menurut pengalaman saya, yang saya keluhkan secara garis besar hanya satu yakni sesuai judul ini. Tentang ketidakjelasan klausul pada papan parkir di depan Rumah Sakit plat merah tadi yang kurang jelas dan informatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H