Staf tersebut kemudian menanyai saya apakah ada keluarga yang dirawat? Kalau ada di kamar berapa? Saya kemudian memberitahu nama mami saya dan kondisi sebenarnya bahwa sebelumnya memang dirawat di RS Royal Surabaya tersebut, namun kemudian dirujuk ke RSUD Dr Soetomo.Â
Dan tak ada ganti pendamping pasien sebelumnya. Tadinya saya berpikir andaikata bisa, saya akan membawa serta motor tersebut waktu bersama dengan mobil Ambulans. Membuntutinya dari belakang. Namun hal ini tidak bisa dan tak boleh dilakukan, karena pasien di dalam Ambulans perlu pendamping di sebelahnya. Saat masuk IGD pun perlu pengurusan kelengkapan registrasi. Akhirnya, hingga sepeda motor tersebut keluar dari RS Royal Surabaya, saya hanya dikenai tarif Rp. 15.000,- dari yang seharusnya Rp. 55.000,-
Saya baru bisa mengambil sepeda motor di RSUD Dr Soetomo saat sudah memulangkan mami saya dengan transportasi privat taksi online---karena menurut dokter, kondisinya sudah membaik dan bisa pulang. Ini di luar ekspektasi saya karena mami saya masih dipasang selang sonde (selang yang masuk dari hidung tembus ke lambung untuk asupan cair). Padahal posisi saya sebagai pendamping pasien pun baru bisa digantikan pada hari itu dimana adik saya dan suaminya sudah membawa pakaian selimut dan lainnya sebagai persiapan rawat inap seminggu ke depannya. Dan Anda bisa mengulang sub dua artikel ini untuk alur selanjutnya.
Meski tarif parkir di RS Royal Surabaya---yang merupakan swasta---terasa lebih manusiawi menurut pengalaman saya, yang saya keluhkan secara garis besar hanya satu yakni sesuai judul ini. Tentang ketidakjelasan klausul pada papan parkir di depan Rumah Sakit plat merah tadi yang kurang jelas dan informatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H