Dalam hal ini saya juga melihat bahwa hubungan dan komunikasi relasi antar-manusia serta antar-keluarga itulah yang menjadi penyebab dasarnya. Saya bukan pakar psikologi, namun sekelumit pernah mencermati buku-buku, kehidupan orang lain serta kehidupan keluarga saya sendiri.
Dan berhubungan dengan kalimat tersebut, saya melihat pernyataan "mungkin bersalah dengan Tuhan" atau menyimpulkan dengan basis dikotomi antara ketuhanan dan bukan ini pun disebabkan karena kurang dapat mengurai faktor penyebab, latar belakang serta pemikiran yang kurang mengenali permasalahan disebabkan kurangnya asupan akan wawasan. Baik informasi tentang ilmu dan informasi tentang yang terjadi di keluarga saya (dari orangtua).
Maka, ketika ibu saya merasa semuanya sudah tidak sanggup bisa ditahan dan dipendam lagi, jalan terakhir mengantar ke pengadilan agama itulah yang ditempuh. Meski yang diketahui ibu saya kemudian adalah langkah yang ditempuh keliru jalur (karena mestinya ke pengadilan umum).
Namun bagaimanapun, semuanya sudah telanjur terjadi dan keinginan ibu saya bercerai dari pribadi yang membelenggu akhirnya terlaksana; bukan oleh terkabulnya putusan cerai oleh pengadilan agama tersebut, namun disebabkan oleh kematian: bapak saya meninggal setahun lalu.
Tentang detail mengapa saya menuliskan semua ini, disebabkan:
1. Klarifikasi dan meluruskan hal yang simpang siur dan banyak hal tak terjelaskan, bahwa bukan soal uang yang terutama namun komunikasi yang tidak tepat dan banyak kesalahpahaman disebabkan keengganan mendengar dan kekeliruan memilah disamping disebabkan beberapa hal lain.
2. Adanya tuduhan saya menista agama, karena sebagai Katolik bukan menuju ke pengadilan umum namun malah ke pengadilan agama; karena selain disebabkan keterbatasan bukti yang dimiliki (bahkan perselisihan tadi tetangga sekitar pun tak tahu karena tertutup rapat), ditambah hal lain yakni kengototan ibu saya untuk bercerai. Ibu saya berpikiran, jika perihal pengadilan tadi sudah selesai, maka akan diurus juga yang berkaitan dengan gereja. Namun sebelum itu terealisasi, bapak saya menolak untuk diproses terus disebabkan malu dan menganggap bahwa percerian itu sah. Hingga bapak meninggal karena sakit pun, ibu dan saya masih bergantian (juga adik dan ipar saya yang kala itu tinggal bersama) merawat dan membantunya menerima asupan serta obat. Â Â
Selain itu, saksi selain keluarga (tetangga) yang dihadirkan dalam persidangan sudah pasti tak tahu apapun selain kehadiran mereka agaknya cukup menguatkan posisi bapak saya bila 'tak ada perselisihan apa-apa' di keluarga. Padahal kenyataannya hanya kurang dapat mengenali masalah.
3. Adanya tuduhan bahwa saya mengantar cuma untuk mengejar warisan. Hanya, saya sendiri beranggapan ketimbang harus berebut warisan, saya lebih bisa berdikari bekerja dan tinggal sendiri saat itu. Ibu menolak saya pergi karena merasa tidak ada yang bisa memahaminya.
4. Rembetan peristiwa masa lalu ini panjang. Diantaranya adalah adanya kekacauan di peringatan 40 hari meninggalnya bapak saya disebabkan ibu saya berniat mengusir oknum yang membuatnya sakit hati, selain digunjingkan dengan orang satu lingkungan juga karena kekisruhan dan pertengkaran di masa lalu yang berawal dengan kedatangan tetangga tersebut demi kebutuhannya sendiri tanpa berusaha memahami posisi dan kondisi orang lain. Luka batin itu belum pulih.