Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengapa Saya Mengantar Ibu Saya ke Pengadilan untuk Bercerai?

24 Juni 2022   17:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   02:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali ke hal persidangan di atas; bahkan pos mediasi yang merupakan pra-pengadilan dimana pihak yang berselisih mempunyai kesempatan/kemungkinan berdamai (dan tidak jadi bercerai) pun bapak saya bungkam. 

Padahal jika merunut masalahnya cukup pelik. Sehingga sesi tanya-jawab yang seharusnya menjadi medio klarifikasi dan kemungkinan rekonsiliasi ini tak berhasil. 

Hanya, yang disayangkan adalah bapak saya selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepada ibu saya; sedangkan ibu saya hanya senyum saja saat itu melihat gelagat demikian. Karena selalu seperti itu, maka sesi mediasi ini tak menghasilkan apa-apa disebabkan tak ada keterangan yang bisa ditengahi.

Entah apakah bapak saya berpikir masalah mesti dipendam ("mikul dhuwur mendhem njero"---Jawa: menjunjung tinggi-tinggi memendam dalam-dalam) namun seperti yang ditulis di awal tulisan ini, masalah-masalah tersebut akhirnya tak terselesaikan. 

Jika adik ipar saya melihat sumber masalah ini adalah uang, maka uang yang mungkin dimaksudnya malah akhirnya menjadi tambah berantakan sepeninggal saya dari rumah (demi nge-kos sendiri) hanya merupakan imbas dari miskomunikasi tadi. Karena ada superioritas dan egoisme serta campur tangan pihak-pihak lain yang seharusnya tidak ada dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.

Hingga akhirnya semua mesti dibuka di pengadilan. Saya tak bisa berbohong jika selain masalah internal serta salah kaprah pemikiran, ada peran pihak ketiga yang ikut campur keputusan dalam keluarga; yang saya maksud sebagai peran pihak ketiga ini bukan perselingkuhan namun lebih ke pihak yang tidak tahu apapun namun ikut berkomentar sehingga masalah tidak menjadi lebih mudah jalan keluarnya tetapi malah sebaliknya.

Kita yang menjalani, namun orang lain yang bebas berkomentar

Karena kesibukan kerja selain urusan sendiri serta ingatan dan keterangan yang belum terkumpul, maka kisah berikut tak terlaporkan dalam lembar yang diserahkan kepada pihak pengadilan (namun lebih ke rangkuman saja yang diungkapkan secara lisan di ruang sidang). Begitu juga saat klarifikasi mencari solusi yang berlangsung secara tertutup di lingkungan.

Misalnya, saudari bapak saya selalu bilang "wong lanang ko ora nyekel duit" (jw: orang laki masa nggak pegang uang...". Karena hal demikian maka keluarga lalu memutuskan uang sirkulasi toko usaha dipegang seluruhnya oleh bapak saya. 

Kekeliruan fatal, karena di masa lalu pernah demikian dan perekonomian menjadi hancur disebabkan bapak saya kurang bisa 'memegang uang' dan berhemat. Saat keputusan itu diambil, saya masih nge-kost sendiri di daerah Surabaya Barat.

Ditambah lagi: yang belanja dan memasak di rumah adalah ibu saya. Jadi besarnya kebutuhan secara pas jika pemasukan sedang ramai dan sepi bisa disesuaikan dengan banyaknya belanja harian atau bulanan. Sedangkan uang belanja tetap hanya bisa baik saat pendapatan selalu tetap dan stabil seperti saat menjadi karyawan pabrik dengan gaji tetap.

Termasuk saat tetangga yang repot dalam membenahi keadaan rumah tangganya sendiri namun tidak melihat bahwa orang lain juga mempunyai kebutuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun