Jadi selama menikah, surat resmi dari pihak gereja itu tak pernah ada wujudnya. Baru setelah resmi ada gugatan di pengadilan, bapak saya kelimpungan mengurusnya; yang digunakan sebagai bukti bahwa keduanya diberkati pernikahannya di gereja.
Yang saya pikirkan hanya satu: mengantar ibu saya menuju ke pengadilan sama dengan memisahkan dua orang yang sudah tak sejalan---yang hal ini dilandasi karena satunya sudah terlalu tinggi ego dan bersifat toxic dan hanya menguras energi salah satunya.Â
Ditambah lagi minimnya rasa saling mempercayai dan berkembangnya kecurigaan satu sama lain di dalam kehidupan rumah tangga. Ketika saya baru pulang (tadinya saya kerja dan indekos sendiri namun disuruh pulang untuk membantu usaha orang tua---bapak saya mengaku kewalahan dengan pembeli) dan melihat mayoritas waktu keseharian ibu saya dihabiskan untuk rebahan di tempat tidur, saya sudah merasa ada yang tak beres karena di masa lalu saya juga mengalami dan melakukan itu demi membuat saya merasa nyaman sendiri karena sangat tertekan.
Banyak tidur sepulang kerja juga membantu saya memulihkan diri dari berbagai peristiwa buruk masa lalu yang terbawa hingga jauh ke depan.Â
Belakangan ibu saya mengaku depresi meski sebelumnya saya sudah menduganya. Hingga kini sulit mengembalikan beban psikis ke titik normal karena serangkaian trauma masa lalu yang belum pulih.
Di keluarga hal komunikasi tadi memang sering tersendat. Penjelasan selalu disanggah tanpa sempat selesai mengutarakan maksud, dan pihak yang berkomunikasi tidak mau menerima pemikiran dari pihak lain. Terutama bapak saya selalu menghindar saat ibu saya ingin bicara atau mengajak perhitungan tentang suatu rencana bersama.
Saya pikir hal ini bukan hal yang sehat. "kakean cangkem! (jw: banyak mulut)" begitu yang terlontar dari bapak saya jika anggota keluarga lainnya ingin menjelaskan dengan gamblang. Padahal masing-masing yang mengemukakan pendapat tentu ada alasannya, namun keengganan mendengar ini bertambah parah tiap tahunnya.
Secara umum, bapak saya salah maksud dan salah paham tentang penerapan istri sebagai 'kanca wingking' dari falsafah jawa. Bahwa peran istri harusnya sejajar dan tidak timpang.Â
Hal ini berbeda dengan keseharian dimana bapak saya mendominasi keputusan yang sulit mengakui pemikiran lainnya. Beberapa 'musyawarah keluarga' yang beberapa kali dilakukan pun jika dirunut agaknya bukan untuk berusaha menampung pemikiran dari anggota keluarga lainnya namun lebih ke arah mengarahkan hasilnya ke pemikiran satu-dua orang saja.
Sialnya, saya juga merasa malas berkomunikasi dengan bapak saya berdasarkan berbagai pengalaman yang lalu karena minimnya kesediaan mendengarnya.
Apalagi yang terngiang sejak kecil adalah 'anak jangan membantah orang tua karena durhaka' dan inilah awalnya mengapa tak ada komunikasi yang baik antara anak dan orangtua hingga dewasa. Dari semuanya, akhirnya saya juga sedikit acuh dengan semua yang terjadi meski itu berkurang setelah dewasa.Â