Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hargai Hasil Karya Orang, Blog!

10 November 2019   12:32 Diperbarui: 11 November 2019   11:50 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya 'calon postingan' dengan tema ini sudah saya tulis dan akan unggah beberapa waktu lalu. Sayang pas akan diunggah karena merasa datanya sudah cukup lengkap, software bawaan Windows Wordpad mengalami kerusakan teknis; berkasnya menjadi tidak terbaca dan secara otomatis membatalkan diri untuk diunggah. 

Karena, apakah yang akan dibaca orang dari satu ketikan yang mayoritas berisi spasi? Jadi, sebagai pendahulunya mungkin adalah pemberitahuan bahwa artikel ini adalah projek penulisan ulang dari tema ini. Tapi tulisan saya di masa lalu tadi sedikit agak 'soft' dari ini. Mungkin karena harus menulis ulang tadi maka kejengkelan saya juga berlipat ganda.

Tapi... di judulnya ada seruan 'Blog'? Maksudnya blogger?

Nggak. 'Blog' itu maksudnya goblog. Apakah Anda seorang goblog yang saya maksud?

"Apa-apaan ini... Pagi2 sudah ngegas".

Ini bukan ngegas. Ini geram. Tapi sebelum Anda menuduh saya menghina dan berkata tidak pantas tentang Anda... Mungkin saya akan memberi beberapa poin pengidentifikasi apakah yang saya tuduh goblog itu Anda atau bukan. Kalau tidak berdasar apa yang saya jabarkan ya sudah. Tidak perlu sewot kan? Berarti artikel ini bukan menunjuk hidung Anda. Santuy.

Blogger, Penulis dan Tulisannya

Yang pertama adalah karakter blogger yang seharusnya. Ternyata zaman masih diskriminatif: memberi sematan 'penulis' profesional pada kolom koran atau buku sebagai 'penulis' tapi tidak dengan para penulis yang menyasar media sosial atau blog. Padahal jika dibilang juru ketik ya berbeda makna. Bukannya mereka juga penulis (meski hasil tulisannya jauh dari standar ala editor penerbit).

Yang saya tau, misi dari penulis ini kan untuk mencerdaskan dengan menambah wawasan atau membuka paradigma sempit orang selain mencari uang lewat tulisannya. 

Di antara para penulis jempolan, nyatanya ada juga penulis lancung. Lha apa pula itu? Itu adalah sebutan saya sendiri untuk orang-orang yang menulis dari nyontek tulisan orang lain atau (yang lebih parah) mengakui tulisan orang lain sebagai tulisannya.

Saat ditegur sekali-sekali masih tidak diindahkan dan masih berlanjut—bahkan nyolot mirip 'yang punya utang lebih galak', biasanya seorang penulis memilih jalur sanksi sosial: menyebarkan identitas penulis abal-abal tadi ke penjuru media sosial (yang dipunyainya) yang diharapkan membuat jera si pelaku sekaligus menyuruh penulis lain untuk waspada terhadap kemungkinan pencurian. Jadi berita tentang pembajakan tulisan beserta pelakunya tadi minimal tersiar pada sesama (komunitas) penulis jika bukan tersiar lebih luas lagi.

Blogger, Media dan Grafis Comotan

Terus terang saya masih bingung dengan bagaimana sebuah aturan bekerja. Karena kadang dijumpai aturan yang 'dibatalkan' oleh aturan lain.

Mungkin Anda pernah mencermati aturan yang tertuang pada 'halaman ii' (biasanya) atau halaman informasi sebuah buku: "Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit." 

Dan pada ribuan buku, mungkin kita juga menjumpai adanya kutipan dari sebuah buku yang entah telah memperoleh izin tertulis atau tidak. Tapi saya juga pernah mendapatkan informasi via status media sosial jika ada yang minta izin mengutip artikel yang ditulisnya untuk melengkapi referensi dalam bukunya.

Namun saya juga beroleh informasi lain dari beberapa orang jika kita boleh mengutip sebuah buku jika pada laman Daftar Pustakanya juga mencantumkan sederet kredit untuk penulis dan penerbitnya. Lalu jika begini, berarti kita menganggap aturan tertulis tadi sebagai abal-abal dong?

Bingung, ko ada dua alternatif?

Di sisi lain, blogger dan penggiat media sosial juga seenaknya mengambil gambar orang. Sukurin jika ada yang sampai digugat. Saya sendiri tak tahu awalnya jika tidak ada yang 'mengirim info' tentang kasus tersebut lewat 'permintaan jawaban' di situs Quora. Bagaimana menjawab pertanyaanya pula, jika saya tak tahu bagaimana kronologi sebenarnya. Lagipula saya bukan pengamat selebriti.

Bagaimana dengan media lain? Sudah dua kali saya menegur seseorang atas kelakuan tanpa hak menggunakan suatu gambar. Selain beberapa lainnya saya unfollow. 

Kasus lain, seorang fotografer yang juga Kompasianer mengeluhkan bagaimana sebuah produk kejantanan mencuri fotonya, memasukannya pada sebuah iklan di media sosial tanpa memberi sepeserpun. Minimal minta izin kepada pemilik gambar saja tidak.

Lalu?

Ternyata saya pun mendapati Kompasianer pun ada yang seenaknya menggunakan gambar foto dengan watermark yang sekiranya untuk dijual. Situs penyedia gambar gratis sudah banyak, eh masih kurang: mengambil gambar yang mestinya untuk dijual. Apa alasannya? "Loh menggunakan ini kan sama dengan mengiklankan". Alasan dungu bin moron bin kurang ajar. 

Berani²nya mengganti aturan resmi dari situs penyedia gambar dengan persepsi sendiri. Padahal ada aturan lain, jika tidak setuju dengan ketentuan dan persyaratan pada situs tersebut diharapkan tidak menggunakan gambar yang dijual di sana.

Jika saya bertanya sebagai berikut apakah Anda bisa menjawabnya: Anda pernah mencari uang dengan cara menjual gambar baik gambar foto atau gambar ilustrasi? Apakah Anda juga tahu kesulitannya? Apakah Anda tahu aturannya? Apakah Anda tau soal etis-tidaknya?

Seringkali seorang fotografer harus membayar model. Harus mendatangi suatu tempat. Harus menyediakan waktu ke sana. Belum lagi meluangkan waktu untuk menyunting foto agar sesuai standar demi predikat 'layak jual'. 

Di atas semuanya, ada modal komputer sekaligus software-nya serta pastinya kamera mahal. Bahkan jika gambar tadi diabadikan dari ponsel pintar yang secara kebetulan lolos seleksi (sangat sedikit situs yang menerima hasil jepretan dari ponsel), bukan hak Anda juga mengambilnya demi kepentingan Anda sendiri. Bos saya dulu bilang, saya tak tahu jika gambar begini harus beli. Mungkin ada jutaan lainnya yang berpikir sama seperti bos saya. Mungkin Anda adalah salah satunya.

Untuk ilustrasi vektor/bitmap pun tak kalah rumit karena standarnya berbeda dengan karya foto. Meski secara beruntung ada karya saya yang lolos dari keduanya. 

Yang perlu digarisbawahi: Karya para fotografer dan ilustrator tadi tidak butuh Anda iklankan. Biarkan mereka mengiklankan diri mereka sendiri dari uang yang Anda bayar saat membeli gambar mereka. Itulah satu-satunya cara yang mereka harapkan dari Anda untuk menghargai karya mereka. Karya mereka harus membayar biaya-biaya untuk hidup dan pemeliharaan peralatan mereka. Tidak selayaknya lho orangtua diberi penjabaran begini.

Jika satu mengambil alasan mengiklankan, lainnya mengambil dengan alasan sama, lainnya lagi dan lainnya lagi... Para pekerja kreatif itu mesti makan apa, dungu? Cuma terkenal tapi status 'terkenal'-nya tidak menghidupi ya sama saja omong kosong. Keharusan Anda membeli hasil jerih payah para seniman ini (karena telah menggunakan karyanya) tetapi Anda alihkan ke orang lain dengan alasan 'mengiklankan', secara otomatis Anda menyuruh orang lain yang membeli karya mereka sementara Anda menggunakan seenak perut sendiri? Bagaimana jika orang lain bertindak seperti Anda juga? Mikir dong, blog! Apakah Anda goblog? Kegoblokan Anda itu menular!

Tidakkah miris membaca para penulis sekaligus blogger yang ramai karena tulisan mereka dicuri? Lalu bagaimana pula jika Anda malah memanfaatkan seenak jidat atas sesuatu yang ditujukan untuk dijual? Sebagai penulis (meski cuma blog), Anda tidak ingin kecurian tapi Anda sendiri mencuri.

Mari kita teliti salah satu persyaratan lisensi gambar untuk dijual tadi: "You are welcome to use watermarked content from the iStock site on a complimentary basis for test or sample (comp) use only. Watermarked content cannot be used in any final materials or any publicly available materials and may only be used for the 30 days following download". Kalimat ini dikutip dari situs iStockphoto, tapi bunyinya tak jauh berbeda pada situs microstock penjual gambar lainnya.

Saya pikir kemampuan Bahasa Inggris Anda lebih baik dari saya, jadi mungkin Anda dapat mengabaikan terjemahan berikut: "Anda dipersilakan menggunakan konten 'ber-watermark' dari situs iStock yang ditujukan hanya untuk tes atau sampel (percontohan). Konten ber-watermark tidak dapat digunakan pada projek final atau projek terpublikasi dan hanya digunakan (maksimal) 30 hari sejak diunduh".

Jadi gambar dengan watermark Shutterstock, iStock, Alamy dan lain sebagainya di seluruh permukaannya tadi hanya untuk DRAFT desain/artikel dsb yang ditujukan atau PESANAN klien/internal sebuah instansi. Tentunya jika klien/atasan tidak suka dengan gambarnya, maka bisa diganti dengan gambar lain. Karena fungsinya hanya sebagai sampel maka tak perlu beli. Lalu mengapa Anda menggunakannya untuk artikel 'final' yang Anda publikasikan? 

Jika saya mengambil gambar foto ber-watermark saya sendiri dari laman Adobe Stock dan microstock di media sosial itu dalam rangka promosi supaya orang beli, fucking asshole! Kenapa kamu ikut mengambil gambar ber-watermark yang bukan punyamu?

Sementara itu ternyata masih ada kecenderungan lain yang 'dilegalkan' (rasanya ini juga berdasar aturan yang mereka buat sendiri): "gambar sebuah artikel diperbolehkan mengambil dari situs lain asalkan sumbernya jelas". Secara nyata, kalimat ini dapat juga dimaknai jika kita dapat nebeng-pakai gambar dari situs lain meskipun situs yang kita unduh gambarnya tadi membeli dari situs microstock. Logikanya begitu kan? 

Andai situs yang kita comot gambarnya tadi membeli dan punya lisensi penggunaan secara sah dari suatu situs microstock, apakah dengan kita nebeng menggunakan gambar tersebut juga secara otomatis sah? Jika Anda bilang iya maka Anda naif sekali, fulgoso. Orang lain harus beli dan Anda main nebeng gratisan saja. 

Lagipula secara logika jika Anda mencomot gambar pada sebuah situs (selain situs microstock) pasti credit-nya akan menuju pada situs tersebut. Padahal situs tadi cuma pembeli gambar, bukan pemilik copyright foto asli atau seniman di baliknya. Kecuali situs tadi punya jajaran fotografer sendiri macam situs berita. Tidakkah aneh dengan credit atau 'terima kasih' salah sasaran ini?

Ada 2 contoh pasar: page medsos tervalidasi dan situs besar. Situs/blog lain tinggal comot dari pembeli pertama. Yang dihitung laku cuma 2! (Dokpri)
Ada 2 contoh pasar: page medsos tervalidasi dan situs besar. Situs/blog lain tinggal comot dari pembeli pertama. Yang dihitung laku cuma 2! (Dokpri)

Ada juga yang berpendapat lain, "toh jika ada yang mengambil gambar saya ya saya biarkan". PEMIKIRAN macam inilah yang membuat seniman gila selain jatuh miskin. Karena kamu pikir orang lain juga sama seperti dirimu yang memotret hanya dengan ponsel dan sedikit kesulitan, serta membaginya secara gratis.

Ada juga yang berpendapat jika gambar di media sosial dapat diambil sebebasnya. Kembali lagi, ada page komersial yang diharuskan beli (kebutuhan gambarnya); karena tujuannya mencari uang. Jika tujuannya memberi informasi, di situs microstock tadi juga ada lisensi editorial alias yang juga ditujukan untuk media berita. Tak ada gratisan pada situs microstock berbayar, baik yang memang ditujukan untuk cari uang dan promo gratisan.

Padahal jika Anda mau, ada banyak gambar dari situs wikipedia yang bisa dicomot dengan menyertakan sumber seperti yang tertulis pada keterangan lisensi situsnya (beberapa gambar malah termasuk kategori public domain, artinya benar² gratis pakai tanpa harus menyertakan atribut/credit gambar). Belum lagi situs gambar public domain lain juga banyak. Jangan memberi statemen dan argumen mirip jaminan seakan Anda pemilik gambar tersebut karena itu sangat tolol.

Jika ada situs microstock penyedia gratis sumbangan para sukarelawan mengapa merampok gambar yang dijual dan harus bayar? Jika ada situs microstock, mengapa mengambil pada situs pembeli/konsumen microstock juga? Sungguh tak masuk akal dan munafik. Tulisan dicolong teriak tapi nyolong gambar orang.

Ujungnya, kelakuan Anda juga membunuh saya perlahan sebagai salah satu penjual gambar di internet!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun