Mohon tunggu...
KEMAL ARKAN IMRON
KEMAL ARKAN IMRON Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercubuana

Nama : Kemal Arkan Imron, NIM :41521010030, Program Studi : Teknik Informatika, Fakultas : Ilmu Komputer, Dosen Pengampu : Prof Dr Apollo, M.Si.Ak,CA,CIBV,CIBV, CIBG Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik. Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Panopticon Jeremy Bentham & Kejahatan Struktural Giddens Athony

31 Mei 2023   22:34 Diperbarui: 31 Mei 2023   22:34 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi | Korupsi

Dalam era digital saat ini, konsep pemikiran dan teori sosial masih menjadi topik yang relevan dalam memahami masyarakat dan interaksi manusia. Dalam artikel saya ini, saya akan membahas dua konsep utama, yaitu Aplikasi Pemikiran Panopticon Jeremy Bentham dan kejahatan struktural menurut Giddens Anthony. Dua teori ini memberikan wawasan yang berbeda dalam memahami kekuasaan dan kejahatan dalam konteks masyarakat modern. Mari kita jelajahi lebih lanjut.

Konsep Pemikiran Panoptikon oleh Jeremy Bentham 

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang filsuf, reformis sosial, dan penulis hukum Inggris yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan teori sosial. Salah satu konsep terpenting yang dikembangkannya adalah Panopticon.

Panopticon adalah sebuah konsep penjara yang dirancang oleh Jeremy Bentham pada akhir abad ke-18. Ide di balik Panopticon adalah menciptakan suatu bentuk pengawasan yang mempengaruhi perilaku tahanan secara permanen. Bentham berpendapat bahwa dengan menghadirkan rasa pengawasan yang konstan, tahanan akan menginternalisasi norma-norma masyarakat dan mematuhi aturan yang ditetapkan.

Bentham menggambarkan Panopticon sebagai suatu struktur bangunan berbentuk lingkaran atau setengah lingkaran dengan penjara yang mengelilingi menara pengawas di tengahnya. Tahanan berada dalam sel yang terbuka di sekitar menara pengawas, yang membuat mereka dapat diawasi secara terus-menerus. Menara pengawas tersebut dilengkapi dengan jendela yang memungkinkan pengawas untuk melihat tahanan, sementara tahanan tidak dapat melihat pengawas. Dengan demikian, tahanan selalu merasa diawasi, meskipun pada kenyataannya tidak semua tahanan selalu dipantau.

Prinsip utama dari Panoptikon adalah bahwa para narapidana tidak pernah tahu kapan mereka sedang diawasi. Kehadiran potensial pengawas yang tak terlihat ini menciptakan perasaan konstan bahwa mereka selalu sedang diamati, sehingga para narapidana menjadi lebih disiplin dan mematuhi peraturan secara alami tanpa harus secara aktif diawasi setiap saat. Dengan kata lain, kekuasaan dan pengawasan yang terlihat hanya diperlukan dalam kasus-kasus tertentu, tetapi kekuasaan dan pengawasan yang tak terlihat yang dimungkinkan oleh desain Panoptikon secara efektif mengendalikan perilaku individu.

Para ahli telah mengajukan berbagai interpretasi dan aplikasi konsep Panoptikon dalam berbagai konteks. Di bawah ini adalah beberapa perspektif dan pendapat dari para ahli tentang konsep ini:

  • Michel Foucault: Foucault adalah seorang filsuf dan sejarawan Prancis yang mengembangkan teori panoptik sebagai alat analitis untuk memahami kekuasaan dan pengawasan dalam masyarakat modern. Baginya, Panoptikon adalah representasi simbolis dari masyarakat disipliner, di mana individu-individu terus-menerus mengontrol dan mengawasi diri mereka sendiri karena mereka percaya bahwa mereka selalu sedang diamati.
  • Zygmunt Bauman: Bauman, seorang sosiolog Polandia-Britania, melihat Panoptikon sebagai representasi dari masyarakat konsumsi modern. Menurutnya, dalam masyarakat yang didorong oleh konsumsi, individu-individu merasa terus-menerus diawasi oleh norma-norma dan ekspektasi sosial yang ditanamkan oleh masyarakat. Mereka menjadi disiplin secara sukarela untuk memenuhi tuntutan dan harapan yang tidak pernah ada akhirnya.
  • David Lyon: Lyon adalah seorang sosiolog Kanada yang menyoroti konsep Panoptikon dalam konteks masyarakat survelans. Baginya, teknologi modern seperti kamera pengawas, pemantauan internet, dan pengumpulan data massal telah menciptakan bentuk-bentuk pengawasan yang tidak terlihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita mungkin merasa sedang diawasi setiap saat, meskipun kita tidak tahu pasti kapan dan di mana.
  • Gilles Deleuze: Deleuze, seorang filsuf Prancis, mengkritik pandangan Foucault tentang Panoptikon dan mengajukan konsep "sosiopanoptikon" sebagai alternatif. Baginya, kekuasaan modern lebih kompleks dan beragam daripada yang digambarkan oleh konsep Panoptikon. Ia menekankan pentingnya memahami hubungan antara kekuasaan dan resistensi dalam masyarakat.

Prinsip Dasar Panopticon

Prinsip sentral dalam konsep Panopticon adalah pengawasan tak terlihat yang mempengaruhi perilaku individu. Dalam desain Panopticon, kekuatan pengawasan tidak bergantung pada kehadiran fisik pengawas secara langsung, tetapi lebih pada rasa pengawasan yang konstan yang dialami oleh individu yang ditempatkan dalam struktur tersebut.

Panopticon menciptakan rasa pengawasan konstan dengan dua elemen utama:

1. Ketidaktahuan individu tentang kapan mereka diawasi:

   Dalam Panopticon, individu yang berada dalam sel atau ruang yang terbuka tidak tahu kapan tepatnya mereka diawasi. Mereka menyadari bahwa mereka selalu berpotensi diawasi, tetapi tidak dapat memastikan apakah pengawas sedang mengamatinya pada saat tertentu. Kekuatan pengawasan terletak pada rasa ketidaktahuan ini, yang menciptakan kekhawatiran dan kepatuhan pada individu.

2. Pengawas yang dapat melihat tanpa bisa dilihat:

   Struktur Panopticon memungkinkan pengawas untuk melihat tahanan atau individu yang diamati tanpa terlihat oleh mereka. Jendela-jendela di menara pengawas memungkinkan pandangan yang tidak terhalang, sementara individu yang diawasi tidak dapat melihat pengawas dengan jelas. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan rasa pengawasan konstan yang memengaruhi tingkah laku individu.

Dalam konteks ini, individu dalam Panopticon merasa terus-menerus diawasi, bahkan jika pengawasan sebenarnya tidak selalu dilakukan. Mereka tidak tahu kapan tepatnya pengawasan terjadi, sehingga mereka cenderung mematuhi norma-norma yang diberlakukan dan berperilaku sesuai dengan harapan yang ada. Konsekuensinya, individu menginternalisasi norma dan aturan sosial, mengontrol perilaku mereka sendiri, dan menjadi lebih patuh pada otoritas yang ada.

Prinsip dasar Panopticon ini mencerminkan pentingnya pengawasan dan kekuasaan dalam masyarakat modern. Meskipun Panopticon awalnya dikonsepkan sebagai struktur penjara, prinsip pengawasan tak terlihat yang mempengaruhi perilaku individu dapat diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk surveilans massal, media sosial, dan tempat kerja. Aplikasi pemikiran Panopticon ini menggambarkan bagaimana kehadiran teknologi dan sistem pengawasan modern dapat menciptakan rasa pengawasan konstan yang memengaruhi tingkah laku individu.

Prinsip dasar di balik Panopticon adalah menghasilkan efek pemantauan tak terlihat. Tahanan menjadi sadar bahwa mereka selalu bisa diawasi, dan karena rasa pengawasan yang konstan ini, mereka memperoleh kepatuhan dan kendali diri. Dalam konteks Panopticon, individu lebih mungkin mematuhi norma dan aturan yang diberlakukan oleh institusi atau masyarakat.

Meskipun Panopticon awalnya dikonsepkan sebagai struktur penjara, ide-ide yang mendasarinya telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk surveilans, pengawasan di tempat kerja, dan teknologi modern seperti media sosial. Konsep Panopticon memberikan pemahaman penting tentang pengaruh pengawasan dan kekuasaan dalam masyarakat modern.

Mengapa Panopticon Bermanfaat Untuk Mendisiplinkan Orang?

Kekuatan Panoptikon dalam Pengendalian dan Disiplin

Panoptikon adalah konsep yang dikembangkan oleh filsuf dan teoretikus sosial Michel Foucault. Konsep ini memiliki pengaruh yang kuat dalam memahami bagaimana kekuasaan dan pengendalian dapat dilaksanakan dalam masyarakat. Panoptikon adalah sebuah desain arsitektur penjara yang diciptakan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18, tetapi Foucault menggunakan konsep ini untuk menggambarkan cara kerja kekuasaan dan pengendalian dalam masyarakat modern. Dalam konteks ini, Panoptikon tidak hanya berlaku untuk penjara fisik, tetapi juga dapat diterapkan pada berbagai institusi dan struktur sosial seperti sekolah, kantor, rumah sakit, dan bahkan dalam masyarakat secara umum.

Salah satu kekuatan utama Panoptikon adalah kemampuannya untuk menciptakan perasaan konstan bahwa individu selalu sedang diamati, meskipun pengamat mungkin tidak terlihat atau hadir secara fisik. Desain Panoptikon terdiri dari sebuah menara pengawas di tengah, yang dikelilingi oleh sel-sel yang menghadap ke menara tersebut. Setiap sel memiliki jendela di belakangnya, memungkinkan cahaya memasuki sel dan memungkinkan pengawas di menara melihat ke dalam setiap sel. Namun, penghuni sel tidak dapat melihat apakah mereka sedang diamati atau tidak.

Konsekuensi dari desain ini adalah individu yang berada di dalam sel akan mengembangkan rasa takut dan kekhawatiran akan pengawasan yang tak terlihat. Mereka menyadari bahwa pada setiap saat mereka bisa menjadi objek pengawasan dan evaluasi, bahkan jika pengawas tidak hadir secara fisik. Hal ini menciptakan perasaan konstan bahwa mereka selalu sedang diamati dan potensi hukuman atau kritik selalu ada. Sebagai hasilnya, individu cenderung menginternalisasi norma-norma dan peraturan yang ada dalam masyarakat, dan secara otomatis mengatur perilaku mereka sesuai dengan apa yang dianggap "benar" atau diharapkan oleh pengawas.

Perasaan takut dan kekhawatiran yang dihasilkan oleh kehadiran panoptikon dapat memiliki efek yang kuat dalam mempengaruhi perilaku individu. Ketika individu merasa bahwa mereka selalu sedang diamati, mereka cenderung berperilaku dengan cara yang dianggap lebih disiplin dan patuh terhadap norma dan peraturan yang ada. Mereka menghindari tindakan yang dianggap melanggar atau tidak pantas, karena mereka tidak ingin terkena hukuman atau kritik. Dalam hal ini, pengawasan yang tak terlihat dalam Panoptikon berperan sebagai bentuk kontrol sosial yang sangat efektif.

Dalam konteks kejahatan dan keadilan, konsep Panoptikon dapat menjelaskan mengapa beberapa bentuk kejahatan terjadi dan mengapa individu cenderung mematuhi hukum. Dalam masyarakat yang didasarkan pada Panoptikon, individu secara internal membatasi perilaku mereka untuk menghindari pengawasan dan hukuman. Mereka menghindari melakukan kejahatan

 karena takut akan konsekuensinya. Ini berarti bahwa bentuk pengendalian sosial seperti pengawasan, penghukuman, dan kritik yang tidak langsung dapat sangat efektif dalam mencegah kejahatan dan mempertahankan ketertiban sosial.

Namun, penting untuk mempertimbangkan juga bahwa Panoptikon memiliki kelemahan dan batasan dalam pengendalian dan disiplin. Meskipun individu dapat menginternalisasi norma dan perilaku yang diharapkan, ada kemungkinan terjadinya pemberontakan atau resistensi terhadap pengawasan dan kontrol. Individu dapat mengembangkan strategi dan taktik untuk menghindari atau mengecoh pengawasan, atau bahkan mengambil risiko melakukan kejahatan meskipun ada kemungkinan tertangkap. Selain itu, ketidaksetaraan struktural dan keadilan sosial juga dapat mempengaruhi efektivitas Panoptikon. Bagi mereka yang merasa bahwa norma dan peraturan tidak adil, mereka mungkin cenderung melanggar aturan dan tidak mengindahkan pengawasan.

Dalam kesimpulannya, kekuatan Panoptikon terletak pada kemampuannya untuk menciptakan perasaan konstan bahwa individu selalu sedang diamati, dan hal ini dapat mempengaruhi perilaku individu dan memaksa mereka untuk mematuhi norma dan peraturan yang ada. Konsep Panoptikon memberikan pemahaman yang berguna tentang bagaimana kekuasaan dan pengendalian dapat dilaksanakan dalam masyarakat modern. Meskipun Panoptikon memiliki kelemahan dan batasan, konsep ini tetap relevan dalam analisis terhadap kejahatan struktural dan pengendalian sosial.

Bagaimana Konsep panopticon diterapkan sekarang?

Meskipun konsep panopticon pertama kali dikembangkan untuk penjara, ide pengawasan tak terlihat ini telah diterapkan dalam berbagai konteks dan situasi. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus atau cara kerja panopticon yang dapat ditemui di masyarakat:

  • Penjara modern: Panopticon masih digunakan dalam desain penjara modern. Bangunan penjara dirancang agar para penjaga dapat memantau tahanan dari pos pengawasan sentral. Dengan penempatan yang tepat dan penggunaan kamera pengawas, penghuni penjara tetap merasa terawasi sepanjang waktu.
  • Pusat perbelanjaan: Beberapa pusat perbelanjaan menggunakan prinsip panopticon untuk meningkatkan keamanan. Kamera pengawas dipasang di berbagai lokasi dan ditampilkan secara terbuka untuk menciptakan kesan bahwa pengawasan dilakukan secara terus-menerus. Hal ini diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan dan pencurian.
  • Sekolah: Beberapa sekolah menerapkan sistem pengawasan yang mirip dengan panopticon untuk mengendalikan perilaku siswa. Penggunaan kamera pengawas di koridor, ruang kelas, dan area umum dapat mempengaruhi perilaku siswa dengan menciptakan kesadaran akan kemungkinan pengawasan.
  • Tempat kerja: Beberapa perusahaan menggunakan teknologi pengawasan seperti kamera CCTV untuk memantau karyawan mereka. Karyawan menyadari bahwa tindakan mereka terus dipantau, yang dapat mempengaruhi produktivitas dan memastikan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur perusahaan.
  • Pemantauan internet: Di era digital ini, pemerintah dan perusahaan teknologi dapat mengumpulkan data pengguna dan mengawasi aktivitas online melalui algoritma dan analisis data. Meskipun pengawasan semacam itu tidak melibatkan kehadiran fisik, kesadaran akan kemungkinan pengawasan ini dapat mempengaruhi perilaku pengguna internet.
  • Transportasi publik: Sistem transportasi publik, seperti kereta bawah tanah dan bus, sering dilengkapi dengan kamera pengawas. Hal ini tidak hanya meningkatkan keamanan, tetapi juga menciptakan kesadaran akan kemungkinan pengawasan, yang dapat mendorong perilaku yang dianggap lebih patuh dan bertanggung jawab.
  • Ruang kerja bersama (coworking space): Di ruang kerja bersama, penggunaan desain terbuka dan kamera pengawas dapat memberikan kesan pengawasan yang terus-menerus. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat produktivitas dan disiplin kerja di antara anggota ruang kerja bersama tersebut.
  • Media sosial: Platform media sosial memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data dan melacak aktivitas pengguna. Meskipun pengawasan ini dilakukan secara virtual, kesadaran akan kemungkinan pengawasan dapat mempengaruhi perilaku pengguna dan mendorong mereka untuk mematuhi kebijakan dan norma yang berlaku di platform tersebut.
  • Perpustakaan: Beberapa perpustakaan menggunakan kamera pengawas untuk memantau aktivitas pengunjung dan mencegah pencurian atau kerusakan. Pengawasan ini menciptakan kesadaran akan kemungkinan pengawasan dan dapat memengaruhi perilaku pengunjung.
  • Pengawasan terhadap karyawan: Dalam beberapa situasi, pengawasan terhadap karyawan dilakukan melalui penggunaan perangkat lunak pemantauan, seperti pemantauan waktu dan penggunaan komputer. Karyawan menyadari bahwa aktivitas mereka sedang dipantau dan ini dapat mempengaruhi produktivitas dan kepatuhan.

Semua contoh di atas menunjukkan bagaimana prinsip panopticon dan pengawasan yang tak terlihat dapat diterapkan dalam berbagai konteks dan situasi. Meskipun terdapat kekhawatiran tentang privasi dan kebebasan individual, penggunaan panopticon secara efektif dapat menciptakan lingkungan yang lebih teratur dan patuh terhadap aturan dan norma yang ada.

 Pendapat dan kritik panoptiocon

Konsep Panoptikon, yang dikembangkan oleh Michel Foucault, telah menjadi sumber perdebatan dan kritik di kalangan para teoretikus sosial. Meskipun Panoptikon memberikan wawasan yang berharga tentang kekuasaan dan pengendalian dalam masyarakat modern, ada beberapa kritik dan pertanyaan yang diajukan terhadap konsep ini. Mari kita jelajahi beberapa perdebatan dan kritik terhadap Panoptikon:

1. Konteks yang Terlalu Terbatas: Salah satu kritik utama terhadap Panoptikon adalah bahwa konsep ini terlalu terbatas dalam menggambarkan kekuasaan dan pengendalian. Beberapa teoretikus sosial berpendapat bahwa Panoptikon fokus terlalu banyak pada institusi-institusi formal seperti penjara, sekolah, atau kantor, sementara aspek-aspek kekuasaan yang ada di luar institusi ini diabaikan. Kritikus mengklaim bahwa ada bentuk kekuasaan yang lebih kompleks dan tersembunyi dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh konsep Panoptikon.

2. Kelembagaan yang Statis: Kritikus lain menunjukkan bahwa Panoptikon menggambarkan kelembagaan yang statis, tanpa mempertimbangkan dinamika kekuasaan yang berubah seiring waktu. Mereka berpendapat bahwa struktur kekuasaan dan pengendalian dalam masyarakat tidak selalu tetap dan terfokus pada satu pusat pengawasan. Sebaliknya, ada interaksi yang kompleks antara berbagai kekuatan dan perubahan dalam dinamika sosial yang mempengaruhi pengendalian dan disiplin.

3. Aspek Teknologi dan Digital: Dalam era digital dan kemajuan teknologi, beberapa kritikus mempertanyakan relevansi Panoptikon. Mereka berpendapat bahwa teknologi pengawasan seperti kamera CCTV, pemantauan online, dan algoritma pengawasan menghasilkan bentuk-bentuk pengendalian yang berbeda dan lebih kompleks daripada yang dijelaskan oleh Foucault. Mereka menyoroti bahwa dalam masyarakat yang terus terhubung, individu seringkali secara sukarela membagikan informasi dan mengizinkan pengawasan, menggeser paradigma pengendalian dari "diamati" menjadi "mengamati diri sendiri".

4. Resistensi dan Perlawanan: Kritikus juga menekankan pentingnya memperhatikan resistensi dan perlawanan terhadap kekuasaan dalam analisis tentang Panoptikon. Mereka menyoroti bahwa individu dan kelompok memiliki kemampuan untuk melawan pengawasan dan menciptakan ruang otonomi dalam situasi yang tampak terjaga ketat. Konsep Panoptikon, menurut mereka, mungkin terlalu deterministik dalam melihat individu sebagai korban yang pasif dari kekuasaan.

5. Dimensi Sosial dan Politik: Beberapa kritikus mempertanyakan dimensi sosial dan politik dari Panoptikon. Mereka berpendapat bahwa konsep ini tidak memberikan pemahaman yang cukup tentang bagaimana struktur sosial dan politik memengaruhi kekuasaan dan pengendalian. Kritikus menekankan pentingnya menganalisis ketidaksetaraan struktural, kelas sosial, ras, gender, dan faktor-faktor sosial lainnya yang dapat mempengaruhi pengawasan dan disiplin.

Perdebatan dan kritik terhadap konsep Panoptikon merupakan bagian yang penting dalam perkembangan pemikiran sosial. Meskipun konsep ini telah memberikan wawasan yang berharga, tidak ada kerangka teoretis tunggal yang sempurna atau mencakup semua aspek kekuasaan dan pengendalian dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, perdebatan dan kritik ini membantu kita mempertajam pemahaman kita tentang kekuasaan, kontrol, dan dinamika sosial yang kompleks.

Apa Itu Kejahatan Struktural ?

Kejahatan struktural dapat didefinisikan sebagai jenis kejahatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural dalam masyarakat. Ini berarti bahwa kejahatan struktural tidak hanya melibatkan individu yang melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan, ketimpangan, dan masalah struktural yang ada dalam masyarakat. Kejahatan struktural tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial yang lebih luas. Struktur sosial, seperti sistem ekonomi, politik, dan sosial, membentuk landasan bagi terjadinya kejahatan. Perilaku kriminal sering kali dipengaruhi oleh ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, kesenjangan sosial, dan kurangnya akses ke sumber daya yang adil.

Pemahaman tentang peran struktur sosial dalam mempengaruhi tindakan kriminal menjadi penting karena membantu kita melihat kejahatan sebagai hasil dari interaksi antara individu dan lingkungan sosial mereka. Ini melampaui penekanan pada individu sebagai pelaku tunggal kejahatan, dan mengakui bahwa faktor-faktor struktural juga memiliki dampak yang signifikan.

Kejahatan struktural sering kali terkait dengan tindakan kelompok atau organisasi yang melibatkan korupsi, penipuan, penyelewengan kekuasaan, atau pelanggaran hukum lainnya yang melibatkan struktur sosial yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa kejahatan struktural seringkali memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada kejahatan individu.

Pentingnya memahami peran struktur sosial dalam mempengaruhi tindakan kriminal adalah agar kita dapat mengidentifikasi dan mengatasi akar permasalahan yang mendorong terjadinya kejahatan. Dengan memperhatikan faktor-faktor struktural yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan, kita dapat mengembangkan strategi dan kebijakan yang lebih efektif untuk mencegah dan mengurangi kejahatan struktural dalam masyarakat.

Para ilmuwan telah mengemukakan berbagai pengertian tentang kejahatan struktural. Berikut ini adalah beberapa pengertian kejahatan struktural menurut beberapa ilmuwan terkemuka:

1. Anthony Giddens: Anthony Giddens, seorang sosiolog terkenal, mendefinisikan kejahatan struktural sebagai jenis kejahatan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural dalam masyarakat. Menurut Giddens, kejahatan struktural tidak hanya melibatkan individu yang melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam struktur sosial yang mempengaruhi tindakan kriminal.

2. Steven Box: Steven Box, seorang kriminolog terkenal, menggambarkan kejahatan struktural sebagai hasil dari kekurangan atau cacat dalam struktur sosial. Menurutnya, kejahatan struktural terjadi ketika individu atau kelompok memanfaatkan celah atau ketidakseimbangan dalam struktur sosial untuk mencapai keuntungan pribadi atau kepentingan kelompok mereka.

3. David Gordon: David Gordon, seorang sosiolog kriminologi, mengartikan kejahatan struktural sebagai kejahatan yang timbul sebagai akibat dari ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang tertanam dalam struktur masyarakat. Gordon berpendapat bahwa kejahatan struktural sering kali berkaitan dengan kepentingan kelompok yang berkuasa dan dapat melibatkan tindakan ilegal yang dilakukan dalam rangka mempertahankan keunggulan dan kontrol mereka.

4. Richard Quinney: Richard Quinney, seorang sosiolog kriminologi, menyatakan bahwa kejahatan struktural adalah hasil dari struktur sosial yang tidak adil dan bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Menurut Quinney, kejahatan struktural tidak hanya melibatkan tindakan individu, tetapi juga melibatkan kebijakan, hukum, dan sistem yang menciptakan ketidakadilan struktural.

5. William Chambliss: William Chambliss, seorang sosiolog kriminologi, memandang kejahatan struktural sebagai kejahatan yang terkait dengan struktur kekuasaan dan ketidakadilan sosial. Chambliss menyoroti bahwa kejahatan struktural sering kali dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan dan sumber daya untuk memanipulasi struktur sosial dan mencapai keuntungan pribadi atau kelompok mereka.

Pengertian kejahatan struktural menurut para ilmuwan ini menyoroti pentingnya memahami peran struktur sosial dalam mempengaruhi tindakan kriminal. Mereka menekankan bahwa kejahatan struktural tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial yang lebih luas, dan perlu adanya upaya untuk mengatasi ketidakadilan dan ketimpangan struktural dalam masyarakat guna mencegah terjadinya kejahatan.

Makna kejahatan korupsi menurut Anthony Giddens

Dokumen Pribadi | Korupsi
Dokumen Pribadi | Korupsi

Menurut Anthony Giddens, kejahatan korupsi memiliki makna yang kompleks dan terkait erat dengan struktur sosial yang melingkupinya. Giddens memandang korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan struktural yang muncul sebagai hasil dari interaksi antara individu, lembaga, dan kondisi sosial yang ada.

Giddens mengemukakan bahwa korupsi merupakan produk dari ketimpangan kekuasaan dan ketidaksetaraan yang ada dalam suatu masyarakat. Korupsi terjadi ketika individu atau kelompok menggunakan kekuasaan atau akses terhadap sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri, dengan mengabaikan kepentingan publik atau norma-norma yang berlaku. Dalam pandangan Giddens, korupsi tidak hanya terbatas pada individu yang bertindak secara ilegal atau melanggar hukum, tetapi juga melibatkan pelanggaran etika dan penyalahgunaan kekuasaan yang melemahkan kepercayaan dan kestabilan sosial.

Giddens juga menyoroti bahwa korupsi tidak terjadi secara isolatif, melainkan melibatkan interaksi antara individu, lembaga, dan sistem sosial. Korupsi sering kali melibatkan jaringan atau sistem yang memungkinkan praktik-praktik korupsi terjadi dan bertahan. Misalnya, sistem politik yang korup dapat menciptakan lingkungan di mana korupsi menjadi praktik yang lazim dan diterima sebagai norma.

Selain itu, Giddens menekankan bahwa korupsi memiliki dampak yang merugikan bagi masyarakat secara keseluruhan. Korupsi dapat menghambat pembangunan ekonomi, merusak institusi publik, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik. Korupsi juga menyebabkan ketidakadilan sosial, karena sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Dalam konteks ini, Giddens mengajukan perlunya tindakan pencegahan dan penanggulangan korupsi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Hal ini meliputi penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor, penguatan lembaga penegak hukum, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik, serta perubahan budaya dan nilai yang menekankan etika dan integritas.

Secara keseluruhan, makna kejahatan korupsi menurut Anthony Giddens melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang mencerminkan ketidaksetaraan dan ketimpangan kekuasaan dalam struktur sosial. Dalam pandangan Giddens, penanganan korupsi harus melibatkan perubahan struktural yang melibatkan individu, lembaga, dan sistem sosial agar masyarakat dapat berfungsi dengan lebih adil dan berkeadilan.

Teori Struktural kejahatan oleh Anthony Giddens

Dokumen Pribadi | Quote Anthony Giddens
Dokumen Pribadi | Quote Anthony Giddens

Teori strukturasi Anthony Giddens dimulai dengan kritik terhadap pendekatan strukturalisme, post-strukturalisme, dan fungsionalisme dalam memahami struktur. Giddens berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan tersebut mengabaikan peran subjek. Misalnya, dalam masyarakat kapitalis, pendekatan strukturalis tidak memusatkan perhatian pada perilaku pemodal atau konsumen, tetapi pada logika internal modal. Giddens juga mengkritik pandangan dualisme dalam pendekatan post-strukturalisme dan fungsionalisme.

Giddens menyatakan bahwa struktur sosial tidak memiliki kebutuhan, tetapi pelaku-pelaku sosial yang memiliki kebutuhan. Pendekatan fungsionalisme juga dianggap mengabaikan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial. Teori strukturasi menekankan prioritas logis dari struktur dalam masyarakat.

Pendekatan strukturasi berfokus pada konsep agensi manusia untuk memahami dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak memiliki keberadaan yang riil kecuali dalam pikiran pelaku yang memberikan makna padanya. Ada tiga tingkatan kesadaran internal dalam diri manusia: kesadaran diskursif, kesadaran praktis, dan motivasi tak sadar. Giddens menggambarkan strukturasi sebagai hubungan dialektis antara pelaku dan struktur.

Struktur memiliki tiga dimensi: struktur penandaan, struktur penguasaan, dan struktur pembenaran. Struktur penandaan berkaitan dengan pemaknaan simbolik dan wacana. Struktur penguasaan melibatkan dominasi politik dan ekonomi. Struktur pembenaran berkaitan dengan peraturan normatif dan hukum.

Strukturasi melibatkan reproduksi sosial melalui praktik-praktik sosial yang jarang dipertanyakan. Struktur dan pelaku saling mempengaruhi dalam proses dialektis. Kekuasaan melibatkan kapasitas transformatif dalam hubungan sosial, sedangkan dominasi berkaitan dengan asimetri struktur. Sanksi dilakukan dengan menggunakan norma dan peraturan sebagai sarana legitimasi.

Perubahan sosial dapat terjadi melalui derutinisasi dan monitoring refleksif terhadap praktik-praktik yang ada. Strukturasi menekankan pentingnya koordinasi praktik dalam mengatasi ruang dan waktu serta menghasilkan perubahan sosial.

Jenis-Jenis Struktur sosial menurut Anthony Giddens

Giddens mengidentifikasi tiga jenis struktur dalam sistem sosial: signifikasi, legitimasi, dan dominasi. Dalam model stratifikasi struktur, Giddens berusaha menggambarkan hubungan antara struktur dan sistem interaksi. Jenis pertama struktur adalah signifikasi yang menghasilkan makna melalui jaringan bahasa yang terorganisir (kode semantik, skema interpretatif, dan praktik diskursif). Dalam contoh pidato yang disebutkan di atas, interaksi agen melalui pidato "dapat terstruktur karena interpretasi-partikular tentang realitas dapat diartikan dalam bahasa kita melampaui makna sederhana kata-kata dan pemikiran" (Cloke, 1991, hal. 103). Dalam hal ini, Giddens memperluas peran aktor untuk dapat menginterpretasikan dan memanipulasi bahasa yang terstruktur melalui makna interpretatif.

Dimensi kedua dari model stratifikasi Giddens adalah legitimasi, yang menghasilkan tatanan moral melalui naturalisasi norma, nilai, dan standar masyarakat. Ketika agen individu berinteraksi, mereka menunjukkan dengan sadar, secara bawah sadar, atau tidak sadar makna (Giddens menyebutnya sebagai sanksi) dari perilaku mereka. Berinteraksi dengan cara ini membentuk norma sosial saat ini dan dibandingkan dengan aturan moral struktur. Oleh karena itu, apakah suatu tindakan dianggap sah dalam tatanan sosial diatur oleh dimensi legitimasi ini. Elemen terakhir, dominasi, berfokus pada produksi (dan penggunaan) kekuasaan yang berasal dari kontrol sumber daya.

Giddens mengidentifikasi bahwa kekuatan dominasi dan penyerahan ada dalam hubungan kekuasaan yang rumit yang Karl Marx dikenal karena mengomentarinya. Giddens, seperti Marx, percaya bahwa sumber daya adalah kendaraan kekuasaan. Namun, Marx lebih tertarik pada hubungan antara "sarana produksi" dalam masyarakat kapitalis, sedangkan tujuan Giddens adalah memahami hubungan kekuasaan sebagai bentuk interaksi antara aktor dan struktur. Dalam interaksi ini, sumber daya dapat digunakan sebagai bentuk otoritas yang diilustrasikan oleh hubungan antara atasan dan karyawan. Sumber daya juga dapat digunakan dalam bentuk kepemilikan seperti alokasi kekayaan atau properti.

Faktor Pendorong Kejahatan Struktural

Faktor-faktor pendorong kejahatan struktural adalah elemen-elemen dalam struktur sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan struktural. Dalam poin ini, kita akan menjelaskan beberapa faktor-faktor tersebut, seperti ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan sistemik, dan diskriminasi. Selain itu, kita akan memberikan contoh konkret kejahatan struktural, seperti kejahatan korporasi, untuk memperjelas konsep yang dijelaskan.

1. Ketidaksetaraan ekonomi:

   Ketidaksetaraan ekonomi dapat menjadi faktor pendorong kejahatan struktural. Ketika terdapat kesenjangan yang signifikan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya ekonomi, kelompok yang berada dalam posisi yang lebih lemah dapat terdorong untuk melakukan kejahatan demi memenuhi kebutuhan atau mencapai kehidupan yang lebih baik. Misalnya, individu atau kelompok yang hidup dalam kemiskinan ekstrem atau terpinggirkan secara ekonomi mungkin terdorong untuk terlibat dalam kegiatan ilegal seperti pencurian, penipuan, atau perdagangan narkoba.

2. Ketidakadilan sistemik:

   Ketidakadilan sistemik, seperti ketidakadilan dalam sistem hukum atau sistem politik yang korup, juga dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan struktural. Ketika sistem yang seharusnya menjaga keadilan dan keamanan masyarakat gagal melakukannya, hal ini dapat menciptakan kesempatan bagi individu atau kelompok dengan kekuasaan untuk melakukan kejahatan tanpa takut dihukum. Misalnya, pejabat pemerintah yang korup dapat menggunakan posisinya untuk memperkaya diri sendiri atau memfasilitasi kejahatan lainnya tanpa ditindak hukum.

3. Diskriminasi:

   Diskriminasi berdasarkan faktor-faktor seperti ras, etnisitas, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual dapat menjadi faktor pendorong kejahatan struktural. Ketika kelompok-kelompok tertentu dianggap lebih rendah atau diperlakukan secara tidak adil oleh masyarakat atau sistem, hal ini dapat memicu ketegangan, ketidakpuasan, dan penindasan yang berpotensi memunculkan kejahatan struktural. Misalnya, kejahatan rasial yang dilakukan sebagai bentuk balas dendam terhadap diskriminasi atau kekerasan terhadap kelompok minoritas yang menjadi target diskriminasi.

4. Kejahatan korporasi:

   Salah satu contoh konkret dari kejahatan struktural adalah kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi terjadi ketika tindakan kriminal dilakukan oleh perusahaan atau individu-individu di dalamnya yang bertindak atas nama perusahaan. Faktor-faktor struktural seperti kepentingan finansial yang kuat, tekanan untuk mencapai keuntungan maksimal, dan kurangnya pengawasan yang memadai dapat memberikan insentif bagi perusahaan untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Contohnya meliputi penipuan keuangan, penyalahgunaan kekuasaan, pencemaran lingkungan, atau pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahaan.

Kejahatan korporasi tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat langsung, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, atau dampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat adalah konsekuensi dari kejahatan korporasi yang dapat menimbulkan kerugian jangka panjang.

Dalam menghadapi faktor-faktor pendorong kejahatan struktural, langkah-langkah yang perlu diambil termasuk perbaikan struktur sosial yang mengurangi ketimpangan ekonomi, penegakan hukum yang adil dan transparan, dan upaya untuk mengurangi diskriminasi dan ketidakadilan sistemik. Pengawasan yang lebih ketat terhadap kegiatan perusahaan dan pemenuhan hak asasi manusia juga penting dalam mencegah dan mengurangi kejahatan struktural, seperti kejahatan korporasi.

Dengan memahami faktor-faktor pendorong tersebut dan menjalankan tindakan yang tepat, diharapkan masyarakat dapat mengurangi terjadinya kejahatan struktural dan menciptakan lingkungan yang lebih adil, aman, dan berkeadilan bagi semua individu.

Mengapa Kita Perlu Memahami bahayanya Kejahatan Struktural

Memahami bahaya kejahatan struktural adalah penting karena kejahatan ini memiliki dampak yang merusak secara sistemik pada masyarakat dan lembaga sosial. Berikut adalah beberapa alasan mengapa kita perlu memahami bahayanya:

1. Mengidentifikasi akar permasalahan: Memahami kejahatan struktural membantu kita mengidentifikasi akar permasalahan sosial yang melibatkan ketidakadilan, ketimpangan, dan sistem yang korup. Dengan pemahaman ini, kita dapat mengatasi masalah yang mendasarinya dan mengambil tindakan preventif yang lebih efektif.

2. Meningkatkan keadilan sosial: Kejahatan struktural sering kali terkait dengan ketidakadilan sosial, seperti diskriminasi, eksploitasi, dan penindasan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dengan memahami bahayanya, kita dapat memperjuangkan keadilan sosial yang lebih besar dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan setara bagi semua individu.

3. Melindungi hak asasi manusia: Kejahatan struktural sering kali melanggar hak asasi manusia, seperti hak atas keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Dengan memahami bahayanya, kita dapat berperan aktif dalam melindungi hak asasi manusia dan memperjuangkan perlindungan yang lebih baik bagi individu yang rentan terhadap eksploitasi dan penindasan.

4. Mencegah kerugian ekonomi: Kejahatan struktural, seperti korupsi dan kejahatan korporasi, dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, merugikan investor, dan mengurangi kemakmuran masyarakat. Dengan memahami bahayanya, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan menangani kejahatan struktural, yang pada gilirannya akan melindungi kestabilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

5. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat: Memahami bahaya kejahatan struktural membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu sosial yang berkaitan dengan kejahatan ini. Dengan kesadaran yang lebih besar, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan, advokasi, dan tindakan kolektif untuk melawan kejahatan struktural. Partisipasi masyarakat yang kuat adalah kunci untuk menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.

6. Memperkuat sistem hukum dan keadilan: Pemahaman yang baik tentang bahaya kejahatan struktural memungkinkan kita untuk memperkuat sistem hukum dan keadilan dalam menangani kasus-kasus kejahatan tersebut. Hal ini melibatkan peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum, pengawasan yang ketat terhadap institusi yang berpotensi melakukan kejahatan struktural, dan penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kejahatan.

7. Membangun kepercayaan masyarakat: Dengan memahami dan mengambil tindakan terhadap kejahatan struktural, kita dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, lembaga sosial, dan sistem yang berlaku. Kepercayaan masyarakat yang kuat adalah dasar bagi terciptanya masyarakat yang stabil, harmonis, dan berkembang.

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang lebih adil, setara, dan berkeadilan, pemahaman yang mendalam tentang bahaya kejahatan struktural menjadi penting. Hanya dengan pemahaman ini kita dapat mengambil tindakan yang efektif untuk mencegah, menangani, dan mengatasi kejahatan struktural serta membangun fondasi yang kuat bagi masyarakat yang lebih baik.

Bagaimana Cara Mencegah Kejehatan Struktural 

Pencegahan kejahatan struktural merupakan upaya yang penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan berkeadilan. Untuk menerapkan langkah-langkah yang efektif, dapat mengacu pada pemahaman Anthony Giddens tentang kejahatan struktural. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam mencegah kejahatan struktural, dengan penekanan pada pengurangan ketimpangan ekonomi, memerangi diskriminasi, dan meningkatkan pengawasan terhadap institusi-institusi yang berpotensi melakukan kejahatan struktural:

1. Mengurangi ketimpangan ekonomi:

   Salah satu faktor pendorong utama kejahatan struktural adalah ketimpangan ekonomi yang signifikan dalam masyarakat. Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan kesenjangan antara kaya dan miskin menciptakan kondisi yang memicu terjadinya kejahatan. Untuk mencegah kejahatan struktural, langkah-langkah perlu diambil untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan ekonomi yang inklusif, peningkatan akses terhadap pendidikan dan pelatihan, dan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok marginal atau rentan.

2. Memerangi diskriminasi:

   Diskriminasi sosial dan ketidakadilan juga dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan struktural. Masyarakat yang terpinggirkan, seperti kelompok minoritas, perempuan, dan kelompok etnis tertentu, sering kali menjadi sasaran kejahatan atau terlibat dalam kejahatan sebagai akibat dari perlakuan yang tidak adil. Untuk mencegah kejahatan struktural, penting untuk memerangi diskriminasi dan memastikan perlindungan hukum yang setara bagi semua individu. Ini melibatkan adopsi kebijakan anti-diskriminasi, pendidikan tentang kesetaraan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta penguatan mekanisme penegakan hukum yang melindungi kelompok yang rentan.

3. Meningkatkan pengawasan terhadap institusi:

   Institusi-institusi yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar dalam masyarakat memiliki potensi untuk melakukan kejahatan struktural. Contoh nyata adalah kejahatan korporasi, di mana perusahaan atau individu di dalamnya melakukan tindakan ilegal atau tidak etis untuk memperoleh keuntungan. Untuk mencegah kejahatan struktural, diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap institusi-institusi ini. Ini dapat dilakukan melalui regulasi yang lebih tegas, peningkatan transparansi dalam praktik bisnis, penguatan mekanisme pengawasan independen, dan penegakan hukum yang adil terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh institusi-institusi tersebut.

4. Mendorong partisipasi masyarakat:

   Melibatkan masyarakat secara aktif dalam upaya pencegahan kejahatan struktural sangat penting. Masyarakat memiliki pengetahuan yang berharga tentang kondisi sosial dan masalah yang ada di

 lingkungan mereka. Oleh karena itu, langkah-langkah harus diambil untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan pencegahan kejahatan. Ini dapat dilakukan melalui dialog publik, forum partisipatif, dan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah kejahatan struktural.

5. Pendidikan dan kesadaran publik:

   Pendidikan dan kesadaran publik merupakan langkah penting dalam mencegah kejahatan struktural. Masyarakat perlu memahami konsep kejahatan struktural, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan dampak yang ditimbulkan. Pendidikan tentang kesadaran akan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan etika dalam bisnis dan pemerintahan dapat membantu membangun kesadaran dan tanggung jawab kolektif terhadap pencegahan kejahatan struktural. Kampanye publik dan kegiatan sosialisasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang kejahatan struktural.

Dalam menerapkan langkah-langkah ini, kolaborasi antara pemerintah, lembaga penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas sangat penting. Kerja sama dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan akan memperkuat upaya pencegahan kejahatan struktural dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil. Dengan mengatasi faktor-faktor struktural yang mendukung kejahatan struktural, kita dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih berkeadilan dan bebas dari kejahatan.

Kesimpulan:

Dalam artikel ini, kita telah menjelajahi dua konsep penting dalam pemikiran sosial dan kriminologi, yaitu Panopticon oleh Jeremy Bentham dan kejahatan struktural oleh Anthony Giddens. Melalui pemahaman kedua konsep ini, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang pengawasan sosial dan dampak sistemik dari kejahatan dalam masyarakat.

Pertama, Panopticon, gagasan yang diusulkan oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18. Konsep ini menggambarkan arsitektur penjara yang dirancang sedemikian rupa sehingga tahanan selalu merasa diawasi, meskipun pengawas sebenarnya tidak selalu ada. Konsep ini menggambarkan pentingnya pengawasan sosial dan efek pemantauan terhadap perilaku manusia. Panopticon memberikan wawasan tentang bagaimana kekuasaan dan kontrol dapat dijalankan secara efektif melalui pengawasan yang tak terlihat, menghasilkan disiplin dan kendali sosial.

Kedua, konsep kejahatan struktural oleh Anthony Giddens. Giddens mengajukan pandangan bahwa kejahatan tidak hanya merupakan produk dari individu yang melanggar hukum, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural dalam masyarakat. Kejahatan struktural melibatkan praktik-praktik yang muncul sebagai akibat dari ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan sistemik, dan diskriminasi. Contoh-contoh kejahatan struktural termasuk kejahatan korporasi, penyalahgunaan kekuasaan politik, dan ketidakadilan sosial.

Dalam artikel ini, kita juga menyoroti pentingnya memahami bahaya kejahatan struktural. Memahami akar permasalahan dan dampak dari kejahatan struktural membantu kita mengidentifikasi ketimpangan sosial, melindungi hak asasi manusia, meningkatkan keadilan sosial, dan mencegah kerugian ekonomi. Selain itu, pemahaman ini memperkuat sistem hukum dan keadilan, serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi sosial.

Secara keseluruhan, pemikiran Panopticon Jeremy Bentham dan konsep kejahatan struktural Anthony Giddens memberikan wawasan yang berharga tentang pengawasan sosial dan dampak sistemik dari kejahatan dalam masyarakat. Dengan memahami dan mengaplikasikan pemikiran ini, kita dapat berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan berkeadilan.

Referensi :

  • Imadah Thoyyibah. (2015),  MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS. Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
  • Spencer J Weinreich. (2021), Panopticon, Inc.: Jeremy Bentham, contract management, and (neo)liberal penality. Punishment & Society Volume 23, Issue 4, 497 - 514
  • Mukunda Lamsal. (2012), The Structuration Approach of Anthony Giddens. Himalayan Journal of Sociology & Antropology-Vol. V
  • Jacques-Alain Miller, Richard Miller. (1987), Jeremy Bentham's Panoptic Device, The MIT Press.
  • Elmer, G. (2012). Routledge Handbook of Surveillance Studies. Routledge
  • Hoefnagels, G. Peter, 1984, Philosophy of Crime (Kejahatan dalam Ancangan Filsafat), terj. R. Soedjono Dirdjosisworo, Penerbit Alumni, Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun