Mohon tunggu...
kelvin ramadhan
kelvin ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Sleepy man

Kaum burjois jogja | Bertekad minimal sekali sebulan menulis di sini | Low-battery human| Email : Kelvinramadhan1712@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reforma Agraria di Indonesia: Makin Terang atau Malah Mundur ke Belakang?

6 Juni 2019   08:00 Diperbarui: 6 Juni 2019   08:53 5968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik agraria terus menjadi tontonan pilu yang tidak kunjung berlalu. Solusi berupa reforma agraria tidak kunjung direalisasikan kendati telah dibentuk peraturan yang menegaskan urgensi dari reforma agraria tersebut. Keberhasilan negara lain mestinya mampu membuat kita berkaca dan memahami penyelesaian momok di negeri ini.

Oleh :

1. Rizky Murdiana (Awak Balairung UGM)

2. Safira Rizky Mayla Aziz  (Awak Balairung UGM)

3. Kelvin Ramadhan  H(Awak Balairung UGM)

4. Lukman Abdul Malik  (Awak Balairung UGM)

Timpangnya kepemilikan tanah di Indonesia masih belum dapat diselesaikan oleh pemerintahan yang berkuasa hingga saat ini. Desakan solusi berupa reformasi agraria terus digaungkan oleh pihak-pihak yang peduli dengan permasalahan agraria. Reforma agraria sendiri didefinisikan sebagai legislasi yang diniatkan untuk meredistribusi kepemilikan, mewujudkan klaim atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum marjinal (miskin) dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa perundang-undangan (Lipton, 2009). Dengan kata lain, reforma agraria adalah upaya restrukturisasi kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang timpang melalui legislasi dan program yang terencana demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

 Reforma agraria bagi sejarah Indonesia mungkin merupakan utopia yang pernah dibawakan Soekarno. Dengan dibuatnya legislasi yang mengatur tentang kepemilikan tanah saat itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi tonggak angan kesejahteraan masyarakat kita. Meski masih berlaku, keberlanjutan reforma agraria di Indonesia tenggelam dalam agenda besar lain. Setelah semangat reforma agraria di masa Soekarno memudar, siapapun yang berkapasitas menuntaskan ketimpangan tanah seakan tutup mata dengan masalah dan manfaat keberhasilan reforma agraria serta lupa betapa hal ini merupakan kunci kemajuan ekonomi. 

Perjalanan Reforma Agraria di Indonesia 

Reforma agraria di Indonesia diperkenalkan oleh Presiden Soekarno 59 tahun silam, tepatnya 13 januari 1960. Soekarno percaya bahwa petani yang memiliki tanah sendiri akan menggarapnya dengan lebih intensif (Utrecht, 1969). Soekarno menganggap reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa kolonial dan feodalisme, sekaligus meletakkan fondasi ekonomi nasional. Adanya gelombang reforma agraria dilakukan berbagai negara yang baru saja merdeka dari jajahan negara kolonial juga turut mempengaruhi pemikiran Soekarno.

Pemikiran Soekarno itu ditindaklanjuti Menteri Pertanian, Soenaryo, yang bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada dalam membuat rancangan undang-undang (RUU) Agraria. RUU tersebut akhirnya disetujui dan diberlakukan untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini mengandung enam unsur pokok program Reformasi Agraria, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum, (ii) larangan pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv) pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan, (v) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan kepemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).

Adanya legitimasi dari pemerintah kala itu serta tindak lanjut melalui UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961 yang membahas pembagian tanah, program reformasi agraria diharapkan oleh masyarakat, terutama petani kecil, dapat dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun, penerapan reforma agraria tersebut tidak berjalan lancar akibat terganjal berbagai gejolak politik dalam negeri (Rajagukguk, 1995). Alhasil, meski berhasil meredistribusikan tanah seluas 450.000 ha kepada penyakap (petani penggarap yang tidak memiliki tanah), "aksi sepihak" oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk menduduki tanah-tanah yang tak kunjung dibagikan kepada petani (Utrecht, 1969) memunculkan ketegangan dan kerusuhan di berbagai daerah antar pemerintah bersama tuan tanah dengan para petani. Solidaritas antara PKI dan BTI dapat dipahami karena adanya kesamaan ideologi komunis yang sangat dekat relasinya dengan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. 

Mengingat kekuasaan PKI hanya berlangsung singkat (1962-1965) bersama dengan runtuhnya era Demokrasi Terpimpin Soekarno, terjadilah peralihan kekuasaan ke era Orde Baru yang hanya setengah hati dalam mengatasi permasalahan agraria. Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Soeharto menghindari segala sesuatu yang identik dengan PKI semenjak peristiwa 30 September 1965. Untuk menghindari reforma agraria sejati yang distigmakan sebagai agenda komunis, pemerintah Orba berusaha melakukan reforma agraria dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini membuat UUPA 1960 pada masa Orde Baru seolah-olah "mati suri": hidup di dalam konstitusi namun mati dalam penerapannya.

Menurut Wiradi (2009) pemerintahan Orde Baru waktu itu menggunakan pendekatan by-pass atau "jalan pintas", problematika agraria diinterpretasikan hanya sebagai masalah pangan. Interpretasi tersebut membuat pemerintah Orde Baru dengan dana hutang dan asistensi teknis internasional melakukan program Revolusi Hijau melalui penggunaan teknologi pertanian sehingga terjadi peningkatan produksi beras yang cukup signifikan (Rachman, 2012). Alih-alih menyelesaikan permasalahan penguasaan tanah dan melakukan restrukturisasi, revolusi hijau pada akhirnya justru merusak ekosistem tanah akibat penggunaan obat kimia dan mengubah budaya pertanian di desa (Aprianto, 2016)

Pasca Revolusi Hijau, kebijakan pembangunan ekonomi berfokus pada persaingan global dan lupa memproteksi ekosistem agrikultur negeri sendiri. Meski begitu, sedikit banyak kebijakan pasca reformasi menyentuh dimensi restrukturisasi tanah melalui PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang merupakan kebijakan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan bagian dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Namun, dalam pelaksanaannya redistribusi terbatas ini justru menciptakan pasar tanah melalui sertifikasi dan berpotensi memperkuat re-konsentrasi penguasaan tanah lantaran tidak menyasar pembatasan penguasaan.

Hal serupa diulangi di era Presiden Joko Widodo yang sempat memasukkan agenda redistribusi sembilan juta hektar tanah ke dalam Nawacita, namun sebagaimana kebijakan SBY, program ini berakhir dengan sebatas program legalisasi aset melalui pembagian sertifikat tanah (SPI, 2017). Program ini dilaksanakan tanpa adanya kajian yang matang terkait proporsi penguasaan tanah orang per orang maupun korporasi. Data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa kurang lebih 71% tanah di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan, 7% dikuasai oleh para konglomerat, baru sisanya sekitar 6% dikuasai oleh rakyat kecil. 

Alih mendongkrak produktivitas, sertifikasi justru membuat petani kecil rentan dengan legitimasi kepemilikan berskala besar oleh korporasi maupun para tuan tanah (Gifariadi, 2018). Timbul ancaman komersialisasi sertifikat tanah rakyat kecil yang dengan mudahnya diambil alih oleh para pemodal besar. Walhasil, legalisasi tersebut ditakutkan menjadi bingkai kebijakan neoliberal yang hanya menguntungkan korporasi dan tuan tanah.

Reforma Agraria Asia Timur dan Amerika Latin

Reforma agraria kerap menjadi tuntutan bagi negara yang baru merdeka, termasuk sejumlah negara di Asia Timur. Salah satunya Korea Selatan yang melaksanakan reforma agraria setelah kemerdekaannya dari cengkraman kolonialisme Jepang pada tahun 1948. Didukung birokrasi yang kompeten, pada akhir 1965 kepemilikan tanah privat di negara baru tersebut mencapai 70% dari seluruh luas lahan pertanian. Selain itu, usaha Korea Selatan menjaga negaranya dari pengaruh komunis selama proses pemindahan kepemilikan tanah berhasil meredakan konflik kelas sekaligus menciptakan kestabilan politik. 

Alhasil, sektor agrikultur Korea Selatan berkontribusi besar dalam surplus agrikultur berupa lumbung persediaan bahan mentah yang murah untuk perkotaan. Transformasi kepemilikan tanah menjadi lahan privat menciptakan peningkatan produktivitas dan efisiensi petani. Hal tersebut diiringi dengan pengerukan surplus pertanian dengan menetapkan sebagian harga bahan pokok di bawah harga produksinya sehingga harga konsumsi tetap murah. Bahkan, sektor pedesaan juga memberikan pasokan tenaga kerja kepada sektor perkotaan untuk menopang proses industrialisasi di Korea Selatan.

Kontrol negara pada sektor pedesaan secara tidak langsung mampu menciptakan sistem pertanian dan sosioekonomi  yang egaliter. Tidak ada petani yang tidak memiliki tanah dan harga produk agrikultur yang ditawarkan pun relatif setara. Meski begitu, pada kenyataannya negara begitu membebankan tercapainya industrialisasi pada sektor pedesaan sehingga tidak mengherankan terjadi urbanisasi besar-besaran kaum tani untuk menyediakan tenaga kerja murah bagi pertumbuhan industri padat karya. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kaum tani menjadi sektor penyokong kesuksesan ekonomi Korea Selatan.

 Begitu pula dengan Taiwan, reforma agraria yang dilakukan seusai perang saudara dengan China ini dilaksanakan bertahap selama tiga fase: penurunan persewaan lahan, penjualan seluruh tanah milik warga negara Jepang, dan pembelian seluruh lahan milik tuan tanah serta distribusi ke penyakap. Taiwan pun mencapai dua hasil sekaligus, lebih dari 80% petani memiliki lahannya sendiri dan keberadaan tuan tanah yang semula menguasai lahan bertransformasi menjadi pengusaha setelah lahannya ditukar dengan saham maupun obligasi.

Penanaman intensif di Taiwan sendiri sudah berlangsung sejak pertengahan 1920 saat negara tersebut masih merupakan negara jajahan Jepang, begitu pula irigasi dan drainase yang terus dijaga. Inovasi dan peningkatan metode pertanian dilakukan dengan kombinasi varietas unggul dan agrokimia yang digalakkan melalui penyuluhan pemerintah. Negara tersebut juga menerapkan sistem kredit yang efektif dalam penggunaan input pertanian serta membantu perluasan pasar hasil pertanian. Namun di sisi lain, negara kecil ini menggerakkan sistem penyuluhan pertanian dengan cukup agresif, yakni menggunakan polisi sebagai penyuluh dan memaksa petani untuk mengadopsi teknologi.   

Surplus pertanian menjadi pemasok terbesar industrialisasi dan pembangunan negara setelah Perang Dunia II semenjak setelah sebelumnya disokong oleh pajak tanah. Setelah perang, pemerintah benar-benar mengandalkan sektor pertanian untuk menyokong belanja negara, walau dengan berbagai paksaaan. Hal ini terlihat dari petani yang perlu membayar mahal untuk pupuk dan agrokimia dan memenuhi kuota produksi selagi mereka menerima harga penjualan yang rendah. Meski begitu, eksploitasi pertanian ini tidak berlangsung lama. Semua hal tersebut tentu diawali oleh reforma agraria yang menitikberatkan pada kesejahteraan petani kecil yang diperhatikan dengan baik.

Hal penting yang menyebabkan Taiwan dan Korea Selatan mampu melaksanakan reforma agraria adalah kebijakan yang mengutamakan sinergitas antara agrikultur dan industri serta komitmen yang kuat dari pemerintah yang berkuasa dalam menjaga keberlangsungan reforma agraria melalui kontrol institusi keagrariaan, namun hal tersebut gagal dilakukan oleh sejumlah negara di Amerika Latin. Sejak kemerdekaan yang dicapai seabad hingga satu setengah abad sebelum Asia Timur, rezim populis saat itu cenderung memaksakan pembangunan infrastruktur, urbanisasi, dan industrialisasi. Reforma agraria pun dilaksanakan setelah melihat kesuksesan Asia Timur. Dalam pelaksanaannya, pemerintah yang berpandangan industrialis banyak memanjakan para tuan tanah melalui pemberian subsidi yang tidak penting dan bersikap protektif terhadap komoditas industri. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak mampu mengeruk surplus pertanian yang masif sebagaimana Korea Selatan dan Taiwan karena tekanan yang kuat dari tuan tanah serta menurunnya kompetitivitas industrinya.

Kebijakan-kebijakan Amerika Latin juga tidak menunjukkan adanya sinergi antara pertanian dan industri. Padahal, Asia Timur mampu menunjukkan bahwa kekuatan fondasi agrikultur memudahkan fase industrialisasi. Transformasi pertanian ke industri mampu menciptakan surplus tenaga kerja dengan upah rendah, begitu pula dengan nihilnya subsidi  yang diberikan membuat pertanian mampu berkembang pesat dan mandiri sehingga swasembada pangan berkelanjutan tetap terjaga. Swasembada tersebut membuat surplus pangan sehingga harga pangan relatif murah dan tekanan kenaikan upah industri jangka pendek dapat dihindari. Pada akhirnya, Korea Selatan dan Taiwan termasuk negara dengan ketimpangan pendapatan terendah di dunia  yang mana juga bermuara pada stabilitas politik dan tersedianya fondasi industri yang kuat (Kuznets dalam Kay, 2002).

Singkatnya, menurut Kay (2009) terdapat tiga faktor kunci yang membuat penerapan reforma agraria di Asia Timur dan Amerika Latin menghasilkan dampak yang berbeda. Pertama, pemerintahan di Asia Timur memiliki kapasitas yang mumpuni dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, berbanding terbalik dengan apa yang ada di Amerika Latin. Kedua, kegagalan pemerintahan Amerika Latin untuk menciptakan struktur pertanian yang berkelanjutan dan merata. Ketiga, Asia Timur lebih terampil dalam mendesain sebuah kebijakan yang mampu mensinergikan bidang pertanian dengan industri yang sayangnya Amerika Latin mengabaikan sektor pertaniannya dalam upaya mengembangkan industrinya. 

Relevansi dan Urgensi

Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah penguasaan lahan di Indonesia masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Padahal, ketimpangan tanah, modal, dan aset di pedesaan, serta produktivitas agrikultur dibanding industri merupakan akar permasalahan dari kemiskinan (Kay, 2009). Berakhirnya upaya restrukturisasi tanah hanya akan membuat perjuangan pengentasan ketimpangan Soekarno berakhir sia-sia, begitu pula dengan angan kemandirian ekonomi Indonesia di masa mendatang. Pencapaian Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Mesir, dan negara lain yang menempatkan reforma agraria sebagai dasar pembangunan ekonomi semestinya menjadi inspirasi keberlanjutan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. 

Perbedaan reforma agraria yang paling mencolok antara Asia Timur dan Amerika Latin memang terletak pada waktu pelaksanaannya. Reforma Agraria di Asia Timur seakan dilaksanakan pada momen yang tepat, yakni segera setelah kemerdekaan. Namun, bukan berarti kegagalan reforma agraria Amerika Latin serta-merta hanya terletak pada momentum saja, komitmen dan kebijakan pemerintah yang tidak sepenuhnya menganggap penting reforma agraria sendiri menjadi elemen kunci kegagalan tersebut.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia semenjak UUPA 1960 dibuat. Saat itu, kurangnya pemahaman komite pelaksana mengenai urgensi reforma agraria sebagai instrumen perubahan sosial menjadi salah satu hambatan pelaksanaan reforma agraria tahun 1961-1964. Banyak dari komite pelaksana yang menginginkan kegagalan pelaksanaan reforma agraria itu sendiri. Begitu pula dengan organisasi petani yang semestinya bisa memberikan dukungan dan pengawasan, mereka masih tunduk kepada para pemilik tanah. Upaya penghilangan akses dan aset para penguasa tanah pun terasa nihil. Hal ini menunjukkan bahwa program reformasi agraria tidak hanya memerlukan political will dari badan-badan pemerintah, tetapi juga diperlukan elemen paksaan dari pemerintah (government compulsion).

Semangat restrukturisasi kepemilikan tanah secara menyeluruh di Indonesia yang tidak dilanjutkan Orde Baru tidak menjadikan masalah tersebut dianggap selesai dan berhenti disuarakan. Ketimpangan tanah hingga saat ini masih menjadi tuntutan masyarakat marjinal khususnya petani. Serikat Petani Indonesia bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) mengupayakan haknya yang selama ini belum pernah diakui, termasuk hak atas tanah. Setelah tujuh belas tahun, perjuangan ini menghasilkan perlindungan hukum pertama yang mengakui hak-hak petani yang dirumuskan dalam United Nation Declaration on the Rights of Peasant and the Other People Working in Rural Areas (UNDROP) yang baru dideklarasikan Januari 2019 lalu.

Sebagaimana UNDROP mengakui bahwa negara perlu melakukan reforma agraria untuk akses tanah berkeadilan, Serikat Petani Indonesia memiliki sikap senada mengenai pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Hal tersebut dicantumkan dalam Pandangan dan Sikap Dasar Federasi Serikat Petani Indonesia tahun 2003 yang menyatakan desakan petani atas reforma agraria. Selain mendesak pelaksanaan, FSPI menempatkan diri sebagai pelopor upaya pelaksanaan agenda tersebut. Hal ini menunjukkan kesiapan organisasi petani yang kuat sebagai salah satu instrumen pelaksanaan restrukturisasi ketimpangan tanah.

Hingga saat ini ketimpangan tanah di Indonesia masih cukup tinggi.  Di Indonesia sendiri terdapat 25 juta rumah tangga pertanian pengguna lahan, namun 14 juta dari mereka merupakan petani gurem (petani yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha). Petani kecil ini lah yang selalu berhadapan dengan resiko hasil panen yang tidak sebanding, kerentanan terhadap harga dan iklim, dan terbatasnya kesempatan mendongkrak produktivitas produksi karena lahannya yang kecil (Gifariadi, 2018). 

Tak hanya itu, sektor yang menjadi sumber pangan negara ini dihadapkan dengan fenomena menurunnya jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP). Sensus pertanian 2013 menunjukkan penurunan jumlah RTP sebanyak 15,35% dibandingkan sensus tahun 2003. Alasan dibaliknya tentu bukan berakar dari sudah kuatnya fondasi agrikultur. Pendapatan RTP di Indonesia dalam sensus yang sama menyatakan jumlah yang memprihatinkan, rata-rata hanya berkisar 2 juta tiap bulannya. Rendahnya kesejahteraan yang disertai menurunnya jumlah pemberi kehidupan negara agraris ini merupakan fenomena buruk di tengah derasnya hantaman perdagangan bebas.  Bersikap abai terhadap lemahnya agrikultur tentu bukan sikap yang bijak. Pertanian sebagai sumber pangan dan fondasi perkembangan industri semestinya menjadi sektor pertama yang mandiri. 

Betapapun masalah yang timbul dari ketimpangan tanah hingga saat ini tidak menjadikan reforma agraria mustahil dilakukan. Ketimpangan tanah merupakan akar kemiskinan yang apabila tidak segera diselesaikan hanya akan menyebar dan mengendap lebih dalam di dasar kehidupan masyarakat (Bachradi & Wiradi, 2011). Reforma agraria merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan penindasan serta menciptakan kesejahteraan ekonomi. Pelaksanaan reforma agraria selanjutnya perlu untuk memenuhi setidaknya lima prasyarat: kemauan politik, data keagrariaan yang lengkap, organisasi tani yang kuat, terpisahnya elit politik dan bisnis, dan dukungan angkatan bersenjata (Bachriadi, 2017). Setelah reforma agraria dilaksanakan pun perlu disusul dengan program pendukung produktivitas petani dan perlindungan untuk memperkuat unit produksi ekonominya. Tanpa elemen-elemen ini, negara hanya akan mengulang kesalahan dan berakhir seperti yang terjadi di Amerika Latin.

 Menuntaskan masalah ketimpangan tidak memiliki kata terlambat, namun negara ini juga tidak punya waktu untuk mengulang kegagalan. Reforma agraria merupakan kebutuhan dasar agrikultur maupun industri dan akan mengantarkan pada pemberantasan kemiskinan serta terciptanya keadilan dan kesejahteraan, namun reforma agraria tidak akan berhasil hanya dengan kesadaran segelintir golongan: ia butuh kemauan dan kesiapan seluruh elemen negara.

Kepustakaan

Aprianto, Tri Chandra. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press

Bachriadi, D., Wiradi, Gunawan. (2011). Enam dekade ketimpangan tanah. Bandung: Agrarian Resource Centre, Bina Desa & KPA.

Bachriadi, D. (2017). Reforma agraria untuk indonesia: Kritik atas reforma agraria ala SBY. Working Paper Agrarian Resources Center, 1, 7/WP-KAPPOB/1/2017

Gifariadi, Muhammad Adrian. (2018). Menerka Logika "Reforma Agraria" ala Jokowi. Harian Indoprogress. Dapat dilihat di: https://indoprogress.com/2018/04/menerka-logika-reforma-agraria-ala-jokowi/. Diakses pada 30 Mei 2019, Pukul 10.43 WIB.

Kay, Cristobal. (2002). Why east asia overtook latin america: agrarian reform, industrialisation and development. Third World Quarterly, 23, 6, 1073-1102.

Kay, Cristobal. (2009). Development strategies and rural development: Exploring synergies, eradicating poverty. The Journal of Peasant Studies, 36, 1, 103-137.

Konsorium Pembaruan Agraria. (2017). Siaran Pers: Peringatan Hari Tani Nasional 2017 Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Dapat dilihat di https://www.kpa.or.id/news/blog/siaran-pers-peringatan-hari-tani-nasional-2017-komite-nasional-pembaruan-agraria-knpa/. Diakses pada 24 Mei 2019, Pukul 17.04 WIB

Lipton, M. (2009) Land reform in developing countries: Property rights and property wrongs. London. Routledge.

Mungkasa, Oswar. (2014). Reforma Agraria: Sejarah, konsep, dan implementasi. Dapat dilihat di: https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Implementasi. Diakses pada tanggal 26 Mei 2019, Pukul 13.22 WIB.

Mattalata, Andi. (2016). Sejarah dan Sekelumit Permasalahan dalam Landreform. Dapat dilihat di https://www.academia.edu/30229063/sejarah_dan_sekelumit_permasalahan_dalam_landreform. Diakses pada tanggal 02 Juni, Pukul 22.33 WIB.

Nurlinda, Ida. (Tanpa tahun). Keadilan Agraria dalam Kerangka Reforma Agraria. Dapat dilihat di https://www.academia.edu/6717339/Keadilan_Agraria_dalam_Kerangka_Reforma_Agraria. Diakses pada tanggal 02 Juni 2019, Pukul 23.18 WIB.

Pandangan dan Sikap Dasar Federasi Serikat Petani Indonesia Tentang Pembaruan Agraria (Februari, 28. 2003)  

Rachman, Noer Fauzi. (2012). Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: KPA

Rajagukguk. (1995). Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah, dan Kebutuhan Hidup. Jakarta. Chandra Pratama.

Heryanti. (Tanpa tahun). Sejarah Reforma Agraria Dunia dan Pengaruhnya terhadap Reforma Agraria di Indonesia. Dapat dilihat di https://www.academia.edu/3853276/SEJARAH_REFORMA_AGRARIA_DUNIA_DAN_PENGARUHNYA_TERHADAP_REFORMA_AGRARIA_DI_INDONESIA. Diakses pada tanggal 23 Mei 2019, Pukul 10.02 WIB.

Serikat Petani Indonesia. (2017). Hari Tani Nasional 2017: Indonesia darurat agraria, segera laksanakan reforma agraria sejati untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Dapat dilihat di https://spi.or.id/hari-tani-nasional-2017-indonesia-darurat-agraria-segera-laksanakan-reforma-agraria-sejati-untuk-mewujudkan-kedaulatan-pangan/. Diakses pada 29 Mei 2019, Pukul 16.32 WIB.

Sutadi, R., Luthfi, A., Mujiburahman, D. (2018) Kebijakan reforma agraria di Indonesia (Kajian komparatif tiga periode pelaksanaan: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi). Jurnal Tunas Agraria, 1, 1.

Supriadi.  (2007). Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika

Syahyuti. (2004). Kendala pelaksanaan landreform di Indonesia: Analisa terhadap kondisi dan perkembangan berbagai faktor prasyarat pelaksanaan reforma agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22, 2, 89-101.

Undang-Undang Republik Indonesia No... 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

United Nation Declaration on The Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (January, 21. 2019)

Utrecht, E. (1969). Land reform in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 5, 3, 71-88.

Widodo, Slamet. (2017). A critical review of indonesia's agrarian reform policy. Journal of Regional and City Planning, 28, 3, 204-218.

Wiradi, Gunawan. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir. Bandung: Akatiga.

Wiradi, Gunawan. (2009). Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, Penelitian Agraria. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun