Mohon tunggu...
kelvin ramadhan
kelvin ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Sleepy man

Kaum burjois jogja | Bertekad minimal sekali sebulan menulis di sini | Low-battery human| Email : Kelvinramadhan1712@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reforma Agraria di Indonesia: Makin Terang atau Malah Mundur ke Belakang?

6 Juni 2019   08:00 Diperbarui: 6 Juni 2019   08:53 5968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana UNDROP mengakui bahwa negara perlu melakukan reforma agraria untuk akses tanah berkeadilan, Serikat Petani Indonesia memiliki sikap senada mengenai pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Hal tersebut dicantumkan dalam Pandangan dan Sikap Dasar Federasi Serikat Petani Indonesia tahun 2003 yang menyatakan desakan petani atas reforma agraria. Selain mendesak pelaksanaan, FSPI menempatkan diri sebagai pelopor upaya pelaksanaan agenda tersebut. Hal ini menunjukkan kesiapan organisasi petani yang kuat sebagai salah satu instrumen pelaksanaan restrukturisasi ketimpangan tanah.

Hingga saat ini ketimpangan tanah di Indonesia masih cukup tinggi.  Di Indonesia sendiri terdapat 25 juta rumah tangga pertanian pengguna lahan, namun 14 juta dari mereka merupakan petani gurem (petani yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha). Petani kecil ini lah yang selalu berhadapan dengan resiko hasil panen yang tidak sebanding, kerentanan terhadap harga dan iklim, dan terbatasnya kesempatan mendongkrak produktivitas produksi karena lahannya yang kecil (Gifariadi, 2018). 

Tak hanya itu, sektor yang menjadi sumber pangan negara ini dihadapkan dengan fenomena menurunnya jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP). Sensus pertanian 2013 menunjukkan penurunan jumlah RTP sebanyak 15,35% dibandingkan sensus tahun 2003. Alasan dibaliknya tentu bukan berakar dari sudah kuatnya fondasi agrikultur. Pendapatan RTP di Indonesia dalam sensus yang sama menyatakan jumlah yang memprihatinkan, rata-rata hanya berkisar 2 juta tiap bulannya. Rendahnya kesejahteraan yang disertai menurunnya jumlah pemberi kehidupan negara agraris ini merupakan fenomena buruk di tengah derasnya hantaman perdagangan bebas.  Bersikap abai terhadap lemahnya agrikultur tentu bukan sikap yang bijak. Pertanian sebagai sumber pangan dan fondasi perkembangan industri semestinya menjadi sektor pertama yang mandiri. 

Betapapun masalah yang timbul dari ketimpangan tanah hingga saat ini tidak menjadikan reforma agraria mustahil dilakukan. Ketimpangan tanah merupakan akar kemiskinan yang apabila tidak segera diselesaikan hanya akan menyebar dan mengendap lebih dalam di dasar kehidupan masyarakat (Bachradi & Wiradi, 2011). Reforma agraria merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan penindasan serta menciptakan kesejahteraan ekonomi. Pelaksanaan reforma agraria selanjutnya perlu untuk memenuhi setidaknya lima prasyarat: kemauan politik, data keagrariaan yang lengkap, organisasi tani yang kuat, terpisahnya elit politik dan bisnis, dan dukungan angkatan bersenjata (Bachriadi, 2017). Setelah reforma agraria dilaksanakan pun perlu disusul dengan program pendukung produktivitas petani dan perlindungan untuk memperkuat unit produksi ekonominya. Tanpa elemen-elemen ini, negara hanya akan mengulang kesalahan dan berakhir seperti yang terjadi di Amerika Latin.

 Menuntaskan masalah ketimpangan tidak memiliki kata terlambat, namun negara ini juga tidak punya waktu untuk mengulang kegagalan. Reforma agraria merupakan kebutuhan dasar agrikultur maupun industri dan akan mengantarkan pada pemberantasan kemiskinan serta terciptanya keadilan dan kesejahteraan, namun reforma agraria tidak akan berhasil hanya dengan kesadaran segelintir golongan: ia butuh kemauan dan kesiapan seluruh elemen negara.

Kepustakaan

Aprianto, Tri Chandra. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press

Bachriadi, D., Wiradi, Gunawan. (2011). Enam dekade ketimpangan tanah. Bandung: Agrarian Resource Centre, Bina Desa & KPA.

Bachriadi, D. (2017). Reforma agraria untuk indonesia: Kritik atas reforma agraria ala SBY. Working Paper Agrarian Resources Center, 1, 7/WP-KAPPOB/1/2017

Gifariadi, Muhammad Adrian. (2018). Menerka Logika "Reforma Agraria" ala Jokowi. Harian Indoprogress. Dapat dilihat di: https://indoprogress.com/2018/04/menerka-logika-reforma-agraria-ala-jokowi/. Diakses pada 30 Mei 2019, Pukul 10.43 WIB.

Kay, Cristobal. (2002). Why east asia overtook latin america: agrarian reform, industrialisation and development. Third World Quarterly, 23, 6, 1073-1102.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun