Pemikiran Soekarno itu ditindaklanjuti Menteri Pertanian, Soenaryo, yang bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Gadjah Mada dalam membuat rancangan undang-undang (RUU) Agraria. RUU tersebut akhirnya disetujui dan diberlakukan untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1960 sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini mengandung enam unsur pokok program Reformasi Agraria, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum, (ii) larangan pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv) pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan, (v) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas maksimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan kepemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).
Adanya legitimasi dari pemerintah kala itu serta tindak lanjut melalui UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961 yang membahas pembagian tanah, program reformasi agraria diharapkan oleh masyarakat, terutama petani kecil, dapat dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun, penerapan reforma agraria tersebut tidak berjalan lancar akibat terganjal berbagai gejolak politik dalam negeri (Rajagukguk, 1995). Alhasil, meski berhasil meredistribusikan tanah seluas 450.000 ha kepada penyakap (petani penggarap yang tidak memiliki tanah), "aksi sepihak" oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk menduduki tanah-tanah yang tak kunjung dibagikan kepada petani (Utrecht, 1969) memunculkan ketegangan dan kerusuhan di berbagai daerah antar pemerintah bersama tuan tanah dengan para petani. Solidaritas antara PKI dan BTI dapat dipahami karena adanya kesamaan ideologi komunis yang sangat dekat relasinya dengan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.Â
Mengingat kekuasaan PKI hanya berlangsung singkat (1962-1965) bersama dengan runtuhnya era Demokrasi Terpimpin Soekarno, terjadilah peralihan kekuasaan ke era Orde Baru yang hanya setengah hati dalam mengatasi permasalahan agraria. Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Soeharto menghindari segala sesuatu yang identik dengan PKI semenjak peristiwa 30 September 1965. Untuk menghindari reforma agraria sejati yang distigmakan sebagai agenda komunis, pemerintah Orba berusaha melakukan reforma agraria dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini membuat UUPA 1960 pada masa Orde Baru seolah-olah "mati suri": hidup di dalam konstitusi namun mati dalam penerapannya.
Menurut Wiradi (2009) pemerintahan Orde Baru waktu itu menggunakan pendekatan by-pass atau "jalan pintas", problematika agraria diinterpretasikan hanya sebagai masalah pangan. Interpretasi tersebut membuat pemerintah Orde Baru dengan dana hutang dan asistensi teknis internasional melakukan program Revolusi Hijau melalui penggunaan teknologi pertanian sehingga terjadi peningkatan produksi beras yang cukup signifikan (Rachman, 2012). Alih-alih menyelesaikan permasalahan penguasaan tanah dan melakukan restrukturisasi, revolusi hijau pada akhirnya justru merusak ekosistem tanah akibat penggunaan obat kimia dan mengubah budaya pertanian di desa (Aprianto, 2016)
Pasca Revolusi Hijau, kebijakan pembangunan ekonomi berfokus pada persaingan global dan lupa memproteksi ekosistem agrikultur negeri sendiri. Meski begitu, sedikit banyak kebijakan pasca reformasi menyentuh dimensi restrukturisasi tanah melalui PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang merupakan kebijakan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan bagian dari Program Pembaruan Agraria Nasional. Namun, dalam pelaksanaannya redistribusi terbatas ini justru menciptakan pasar tanah melalui sertifikasi dan berpotensi memperkuat re-konsentrasi penguasaan tanah lantaran tidak menyasar pembatasan penguasaan.
Hal serupa diulangi di era Presiden Joko Widodo yang sempat memasukkan agenda redistribusi sembilan juta hektar tanah ke dalam Nawacita, namun sebagaimana kebijakan SBY, program ini berakhir dengan sebatas program legalisasi aset melalui pembagian sertifikat tanah (SPI, 2017). Program ini dilaksanakan tanpa adanya kajian yang matang terkait proporsi penguasaan tanah orang per orang maupun korporasi. Data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa kurang lebih 71% tanah di Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan, 7% dikuasai oleh para konglomerat, baru sisanya sekitar 6% dikuasai oleh rakyat kecil.Â
Alih mendongkrak produktivitas, sertifikasi justru membuat petani kecil rentan dengan legitimasi kepemilikan berskala besar oleh korporasi maupun para tuan tanah (Gifariadi, 2018). Timbul ancaman komersialisasi sertifikat tanah rakyat kecil yang dengan mudahnya diambil alih oleh para pemodal besar. Walhasil, legalisasi tersebut ditakutkan menjadi bingkai kebijakan neoliberal yang hanya menguntungkan korporasi dan tuan tanah.
Reforma Agraria Asia Timur dan Amerika Latin
Reforma agraria kerap menjadi tuntutan bagi negara yang baru merdeka, termasuk sejumlah negara di Asia Timur. Salah satunya Korea Selatan yang melaksanakan reforma agraria setelah kemerdekaannya dari cengkraman kolonialisme Jepang pada tahun 1948. Didukung birokrasi yang kompeten, pada akhir 1965 kepemilikan tanah privat di negara baru tersebut mencapai 70% dari seluruh luas lahan pertanian. Selain itu, usaha Korea Selatan menjaga negaranya dari pengaruh komunis selama proses pemindahan kepemilikan tanah berhasil meredakan konflik kelas sekaligus menciptakan kestabilan politik.Â
Alhasil, sektor agrikultur Korea Selatan berkontribusi besar dalam surplus agrikultur berupa lumbung persediaan bahan mentah yang murah untuk perkotaan. Transformasi kepemilikan tanah menjadi lahan privat menciptakan peningkatan produktivitas dan efisiensi petani. Hal tersebut diiringi dengan pengerukan surplus pertanian dengan menetapkan sebagian harga bahan pokok di bawah harga produksinya sehingga harga konsumsi tetap murah. Bahkan, sektor pedesaan juga memberikan pasokan tenaga kerja kepada sektor perkotaan untuk menopang proses industrialisasi di Korea Selatan.
Kontrol negara pada sektor pedesaan secara tidak langsung mampu menciptakan sistem pertanian dan sosioekonomi  yang egaliter. Tidak ada petani yang tidak memiliki tanah dan harga produk agrikultur yang ditawarkan pun relatif setara. Meski begitu, pada kenyataannya negara begitu membebankan tercapainya industrialisasi pada sektor pedesaan sehingga tidak mengherankan terjadi urbanisasi besar-besaran kaum tani untuk menyediakan tenaga kerja murah bagi pertumbuhan industri padat karya. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kaum tani menjadi sektor penyokong kesuksesan ekonomi Korea Selatan.