Mohon tunggu...
Kelompok RKK 1_
Kelompok RKK 1_ Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Kelompok 1 Regulasi Kebijakan Komunikasi

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pro Kontra Sensor Film di Indonesia

23 Juni 2022   05:53 Diperbarui: 23 Juni 2022   06:04 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CHEVIN FAHRUROZI SAPUTRA

(190907123)

Bila mendengar kata film tentunya yang ada dipikiran kita pertama kali adalah sebuah cerita yang dibungkus dengan adegan dan beberapa artistik. 

Film telah menjadi kebutuhan tersier di masyarakat untuk hiburan dari segala golongan.  Film juga sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada khalayak umum selain itu film juga dapat menjadi alat untuk melakukan propaganda seperti salah satu film yang terkenal yaitu "Rambo" dimana film itu mengandung propaganda yang dilakukan oleh negara Amerika. 

Sebelum film ditayangkan ke khalayak umum tentunya ada proses penyaringan terlebih dahulu, terutama masalah adegan.

 Adegan di film tak luput terkena sensor karena mungkin dianggap mengandung unsur yang tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Menurut Pasal 1 UU No 8 Tahun 1992 sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu. 

Penyensoran film dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) sebagaimana fungsi LSF menurut Pasal 4 UU No 7 Tahun 1994 melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, 

arah dan tujuan perfilman Indonesia. Namun Sensor Film yang dilakukan LSF menuai pro kontra terutama pada sineas film, karena sensor yang dilakukan oleh LSF bisa dibilang cukup berlebihan.

Salah satu sensor film yang dilakukan LSF sehingga menuai perbincangan adalah sensor film yang dilakukan terhadap film Aquaman yang tayang di Indonesia pada tahun 2018 lalu. Adegan yang disensor oleh LSF adalah adegan saat tokoh utama Arthur Curry berciuman di bawah laut dengan tokoh Princess Mera, Adegan tersebut berlangsung selama 20 detik.

Adegan tersebut juga menuai perbincangan oleh orang pengguna akun media sosial Twitter. Dilansir dari hot.detik.com  akun media sosial Twitter @geekken memposting cuitannya  tentang sensor tersebut "I must know this. 

Did Aquaman and Mera have a big kiss near the end of the movie? Would swear what i saw in Indonesia was cut". Pada intinya pengguna akun Twitter @geeken mempertanyakan adegan ciuman antara Aquaman dan Mera, karena di Indonesia adegan itu tidak ditampilkan. 

Tidak hanya sampai pada cuitan di Twitter, ternyata di website change.org sudah ada petisi "Rombak Jajaran petinggi LSF Karena Sensor Film Aquaman Yang Buruk"dengan alasan pemotongan tidak ada transisi sehingga menurunkan kualitas film, dan mempertanyakan kenapa adegan ciuman lain tidak di sensor. 

Aquaman merupakan salah satu film yang ditunggu oleh para penggemar DC Universe, sehingga sangat wajar apabila ada adegan yang dipotong maka akan membuat para fans merasa kecewa dengan LSF, ditambah dengan pemotongan transisi yang jelek sehingga membuat kualitas film juga ikut menurun. 

Dapat dibilang bahwa LSF sudah salah mengambil langkah untuk memotong adegan di Aquaman karena justru menimbulkan masalah baru dan menuai pembicaraan di publik. Anehnya banyak film yang lulus sensor masuk ke bioskop padahal didalamnya banyak unsur pornografi, seperti film suster keramas yang tayang ke khalayak umum pada tahun 2009. 

Film tersebut banyak sekali adegan vulgar dan perkataan vulgar pula pada masa itu, tetapi justru film Suster Keramas bisa masuk ke layar besar dan lolos sensor. Masih banyak film yang lolos sensor tetapi banyak adegan vulgar yang tidak cocok ditonton untuk masyarakat dibawah umur. Sehingga kesannya LSF tidak kooperatif dalam menyensor film dan patut dipertanyakan sebenarnya bagaimana ketentuan LSF dalam menyensor film.

Dari contoh kasus tersebut, bisa dilihat bahwa LSF dalam menyensor film masih dikelilingi pro dan kontra, karena sensor tanpa alasan terhadap film Aquaman.

Karena secara rating usia, film Aquaman termasuk dalam rating usia PG 13, yang artinya perlu bimbingan orang tua, sehingga jika menyensor adegan ciuman antara tokoh Arthur Curry dan Princess Mera maka bisa dikatakan rating PG 13 seakan-akan tidak memiliki arti karena adegan yang harusnya bisa tayang tetapi tidak tayang karena alasan yang kurang jelas dari LSF. 

Dalam Channel Youtube Greatmind yang diunggah pada 6 Agustus 2018 dengan judul "Joko Anwar: Menggunting Kebebasan", pada menit ke  2:36 Joko Anwar yang merupakan sutradara film dari Indonesia berpendapat bahwa penyensoran film di seluruh dunia sudah tidak relevan, karena saat ini banyak konten audio visual yang tersebar di internet sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengakses konten tersebut.

Hal tersebut dibilang cukup masuk akal karena jika produk media seperti film sudah masuk ke internet tentunya akan susah dijangkau oleh LSF, apalagi jika sudah masuk ke platform media seperti Netflix, yang mana Netflix memiliki regulasi sendiri yang tidak bisa tersentuh oleh LSF, sehingga penyensoran oleh LSF tidak relevan dengan adanya platform media di internet.

 Lalu pada menit ke 3:17 Joko Anwar mengatakan bahwa LSF adalah lembaga yang tidak bisa mendidik masyarakatnya untuk memilih tontonan yang baik untuk masyarakat dan yang tidak cocok untuk masyarakat dibawah umur. 

Hal tersebut jika melihat contoh kasus Aquaman LSF tidak berhasil mengedukasi masyarakat untuk memilih tontonan yang tepat, sehingga LSF cenderung mengambil langkah singkat yaitu memotong adegan yang mungkin seharusnya tidak dipotong karena sudah ada batasan usia. 

Pemotongan adegan tersebut yang akhirnya menuai perbincangan di publik, dan publik bukan hanya mempermasalahkan pemotongan nya saja tetapi transisi dalam pemotongan juga dinilai buruk dan merusak estetika dari adegan ke adegan.

Film yang sudah dapat label 21 tahun keatas seharusnya tidak dilakukan sensor berlebihan oleh LSF, karena orang dewasa seharusnya sudah bisa memilih filmnya sendiri dan bebas menikmati film yang ditonton tanpa batasan.

Tentunya dalam proses penyensoran film, LSF pasti akan melakukan screening pada film yang akan ditampilkan ke khalayak luas. Proses tersebut lah yang mungkin dipertanyakan oleh sebagian masyarakat, bagaimana prosesnya? dan siapa saja yang terlibat?.

 Edukasi ke masyarakat tentang screening film yang dilakukan LSF sangat penting, agar masyarakat juga tahu mengapa sensor film itu perlu ada. Lalu pihak LSF juga harus membuka suara soal film yang disensor agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat luas.

 Hal tersebut dilakukan agar masyarakat juga bisa ikut melihat proses screening film yang dilakukan LSF dan bisa memberi kritik & saran jika penyensoran yang dilakukan oleh LSF dianggap berlebihan bagi masyarakat.

 Sensor yang berlebihan dapat membuat kreatifitas para sineas film terbatas, karena para sineas jadi ragu untuk membuat karya yang ideal bagi mereka. Sineas juga perlu kebebasan berekspresi dalam membuat karyanya untuk tampil ke khalayak umum agar pesan yang disampaikan ke khalayak umum dapat diterima dengan baik dan jelas.

Pada dasarnya LSF sudah bekerja dengan sesuai peraturan undang-undang yang berlaku, dengan melakukan sortir pada film dan adegan film, apakah layak untuk tampil di publik atau tidak. 

Tetapi masih banyak yang harus dibenahi oleh LSF sendiri mulai dari ketentuan sensor film, dan ketentuan rating film sehingga nantinya sensor film tidak menjadi bumerang bagi pihak LSF. 

Yang perlu dilakukan oleh LSF adalah mengedukasi masyarakat untuk memilih film sesuai dengan kategori usia masing-masing individu, sehingga masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang madani. Karena masih banyak orang yang tidak membaca rating usia, 

sehingga ketika ada kasus orang tua yang membawa anaknya menonton film dengan kategori dewasa di bioskop maka LSF akan mengambil peran disitu dengan cara edukasi, yang diharapkan para masyarakat bisa menempatkan diri ketika memilih tontonan untuk dirinya maupun untuk anak dibawah umur. Terlebih peran LSF pada film yang sudah masuk televisi, karena televisi sendiri merupakan media bagi keluarga untuk menonton konten tersebut. 

LSF perlu disorot lagi oleh pemerintah, karena selama ini masih banyak yang salah paham terkait penyensoran film, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa sensor pada film dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan tugas KPI hanya melakukan pengawasan program dan memberikan teguran pada program jika terlihat adanya pelanggaran yang tidak sesuai dengan pedoman yang berlaku. 

Pro kontra yang terjadi di masyarakat tentunya disebabkan oleh LSF itu sendiri, maka seperti yang sudah dituliskan oleh penulis diatas, bahwa LSF perlu mengedukasi masyarakat agar masyarakat bisa memilih konten yang sesuai untuk mereka.

Diluar pro kontra yang terjadi dalam masyarakat tentang LSF, LSF tetap dibutuhkan dalam menyortir film. Sesuai dengan fungsinya pada Pasal 4 UU No 7 Tahun 1994 LSF bisa mencegah  film yang mungkin mengandung unsur sara yang mungkin akan memicu masalah dalam masyarakat.

LSF juga bisa mencegah bagi mereka yang hanya memanfaatkan film sebagai bisnis saja sehingga segala cara dihalalkan untuk mendapatkan rating film agar tinggi, karena pada dasarnya film adalah bisnis. 

Seperti yang dikatakan oleh Ardianto (2007) Meskipun pada kenyataannya, itu adalah bentuk seni, industri film adalah bisnis yang memberikan manfaat, dan kadangkala demi meraih keuntungan, bahkan keluar dari aturan artistik film itu sendiri. 

Karena akan lebih menimbulkan masalah baru jika para orang yang memanfaatkan film sebagai bisnis saja tanpa mementingkan nilai-nilai yang berlaku, maka film tersebut bisa dibilang tidak berkualitas dan bisa jadi menjerumuskan penonton untuk hal yang buruk terlebih di era modern ini yang mana arus informasi komunikasi sangatlah cepat, dan berpotensi banyaknya pandangan yang menyesatkan.

Jelas LSF harus dibenahi lagi dalam segi penyensoran agar tidak berlebihan dalam menyensor film terutama pada film dengan kategori dewasa, maka peran masyarakat diperlukan untuk memberi kritik dan saran sehingga diharapkan nantinya LSF dapat berjalan sesuai dengan aturan yang mereka buat sendiri, dan berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat.

Pada akhirnya LSF tetap sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menyortir film dan mengontrol para masyarakat untuk bisa memilih film dengan baik dan sesuai dengan yang mereka inginkan tentunya sesuai dengan umur penonton film.

Daftar Pustaka

Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2007). Komunikasi massa: suatu pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Octaviani, D. (2019, Januari 8). Adegan Ciuman di 'Aquaman' Disensor, Indonesia Jadi Perbincangan. detikHOT. https://hot.detik.com/movie/d-4375162/adegan-ciuman-di-aquaman-disensor-indonesia-jadi-perbincangan

Republik Indonesia. 1992. Undang Undang No 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Jakarta: Pemerintah Pusat.

Republik Indonesia 1994. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 Tahun 1994. Jakarta: Pemerintah Pusat.

https://www.youtube.com/watch?v=kW2g0yNpE80&t=208s

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun