Mohon tunggu...
Kelas Penulis
Kelas Penulis Mohon Tunggu... -

sekumpulan penulis amatir yang sedang belajar (demi hidup yang lebih baik) Situs blog: https://kelaspenulis.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tips Menulis - Aku, Aku, Aku #04

26 September 2016   13:37 Diperbarui: 4 Oktober 2016   14:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan tulisan keempat dari teknik-teknik menulis prosa (fiksi). Akun Kelas Penulis di Kompasiana merupakan kumpulan penulis pemula yang sama-sama belajar. Para penulis amatir.

Klub ini, menerima siapapun yang ingin bergabung. Hubungi kami di email: writeforbetterlife@gmail.com.

Facebook: https://www.facebook.com/profile.php?id=100013408153419
Twitter: https://twitter.com/kelaspenulis
Instagram: https://www.instagram.com/kelas.penulis/
Tumblr: https://www.tumblr.com/blog/kelaspenulis
Medium: https://medium.com/@kelaspenulis

Terima kasih. Berikut ini tulisan tips menulis tentang "Aku, Aku, Aku":

(ini lagu sebagai hiburan sambil baca. haha.)

Sebelum masuk ke pembahasan utama, mari kita singgung sedikit mengenai sudut pandang (point of view).

Dalam kajian teori kritik karya sastra (drama, pusisi, dan prosa), biasanya ada istilah sudut pandang. Point of view banyak macamnya.

Secara ringkas, berikut ini sudut pandang pencerita pada sebuah penulisan: orang pertama, orang kedua, orang ketiga, serta campuran.

1. Orang pertama: tunggal (aku, saya, ane, eike, dsb.) dan jamak (kami);
2. Orang kedua: tunggal (kau, kamu, engkau, Anda) dan jamak (kalian);
3. Orang ketiga: tunggal (dia) dan jamak (mereka).
4. Point of view campuran (mencampurkan segala sudut pandang).

Tapi, ada juga model lain di mana pencerita yang menggunakan model orang ketiga maha tahu. Seperti God, si pencerita seperti tahu segalanya. Termasuk, apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh hati para tokohnya. Ini terjadi pada kebanyakan cerita-cerita sinetron di Indonesia :)

Ada tiga jenis “maha tahu” seperti ini. Pertama, maha tahu segalanya. Bukan cuma apa yang dilakukan dan setting suasana, tetapi juga isi perasaan para tokoh. Kedua, maha tahu tetapi membatasi pada satu-dua tokoh saja. Penulis sengaja membatasi hanya pada tokoh-tokoh tertentu saja. Ketiga, maha tahu tapi objektif. Si penulis tahu diri :)  Si pencerita maha tahu tentang apa yang dilakukan tokoh, kecuali apa yang dipikirkan dan isi perasaan tokoh.

Nah, dari berbagai sudut pandang, manakah yang biasa Anda suka?

Kebanyakan penulis, biasanya, akan menggunakan sudut pandang maha-tahu. Seperti seolah-olah God. Pertanyaannya, ada yang bisa membayangkan bagaimana kejujuran si God (sebagai pencerita)”?  :) Done. End of story and debate. Baca teknik Otorisasi di mana Anda sebagai seorang pencerita seyogyanya jujur agar mendapat kepercayaan pembaca.

Oke.

Tetapi, tidak sedikit pula yang menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal alias aku, saya, gue, inyong, ane, owe, abdi, beta, diriku, dan sebagainya.

Saya juga senang memakai sudut pandang ini. Alasannya, sudut pandang ini membawa suasana otentik, personal, meresap ke otak pembaca sebagai orang yang juga mengalami apa yang sedang kita ceritakan kepada mereka.

Sudut pandang orang pertama juga menegaskan otoritas (Anda sebagai penulis). Lebih otentik jika dibandingkan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Tapi, sebagai penulis, kita perlu waspada. Waspada? Terhadap apa?

Pembaca akan cepat bosan. Pembaca akan melihat Anda orang yang suka pamer. Aneh. Ini bisa terjadi jika cerita yang kita sampaikan berupa kisah heroik. Sebagai penulis, pembaca hanya akan menemukan, cerita ini semata-mata tentang Anda.

Tidak ada yang bakal suka dengan cerita narsisistik apalagi Anda bercerita sebagai si tokoh heroik. Fiuh!

Jadi, teorinya: berceritalah seolah-olah yang bercerita itu orang pertama tunggal, tetapi gunakan cara lain dengan tidak menggunakan kata “aku”. Teknik ini dipakai oleh Peter Christopher (penulis Campfires of The Dead). Rahasinya, “sembunyikan aku”.

You can write the first person, but nobody wants to hear a story told that way“.

Persoalan utamanya, kita membenci “aku”. Solusinya? Gunakan suara orang pertama saat bercerita, tetapi sembunyikan “aku”.

Untuk merasakan apakah tulisan Anda terlalu selfish atau tidak, terlalu membosankan atau tidak, dsb. bacalah karya Anda seperti monolog. Suarakan keras-keras. Kalau perlu, Anda juga mencobanya membaca seperti seorang aktor memainkan peran.

Secara teknik, bisa saja pasangkan partikel -ku pada sebuah kata. Ini akan meminimalisir penggunaan kata “aku”. Atau, segera berpindahlah ke bahasa retorikal orang kedua atau ketiga.

Catatan:

Tentu saja, tidak semua orang (atau Anda) setuju dengan pendapat saya alias artikel ini. Prinsipnya begini: saya menyarankan Anda menulis sebebas-bebasnya. Artikel ini hanyalah teknik ketrampilan.

Anda boleh tidak setuju dan melupakan artikel ini. Jika ada yang mau mencoba, silakan. Jika tak setuju, silakan. Kita belajar bareng. Terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun