Nah, dari berbagai sudut pandang, manakah yang biasa Anda suka?
Kebanyakan penulis, biasanya, akan menggunakan sudut pandang maha-tahu. Seperti seolah-olah God. Pertanyaannya, ada yang bisa membayangkan bagaimana kejujuran si God (sebagai pencerita)”? :) Done. End of story and debate. Baca teknik Otorisasi di mana Anda sebagai seorang pencerita seyogyanya jujur agar mendapat kepercayaan pembaca.
Oke.
Tetapi, tidak sedikit pula yang menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal alias aku, saya, gue, inyong, ane, owe, abdi, beta, diriku, dan sebagainya.
Saya juga senang memakai sudut pandang ini. Alasannya, sudut pandang ini membawa suasana otentik, personal, meresap ke otak pembaca sebagai orang yang juga mengalami apa yang sedang kita ceritakan kepada mereka.
Sudut pandang orang pertama juga menegaskan otoritas (Anda sebagai penulis). Lebih otentik jika dibandingkan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Tapi, sebagai penulis, kita perlu waspada. Waspada? Terhadap apa?
Pembaca akan cepat bosan. Pembaca akan melihat Anda orang yang suka pamer. Aneh. Ini bisa terjadi jika cerita yang kita sampaikan berupa kisah heroik. Sebagai penulis, pembaca hanya akan menemukan, cerita ini semata-mata tentang Anda.
Tidak ada yang bakal suka dengan cerita narsisistik apalagi Anda bercerita sebagai si tokoh heroik. Fiuh!
Jadi, teorinya: berceritalah seolah-olah yang bercerita itu orang pertama tunggal, tetapi gunakan cara lain dengan tidak menggunakan kata “aku”. Teknik ini dipakai oleh Peter Christopher (penulis Campfires of The Dead). Rahasinya, “sembunyikan aku”.
“You can write the first person, but nobody wants to hear a story told that way“.