Tulisan ini merupakan tulisan ketiga dari teknik-teknik menulis prosa (fiksi). Akun Kelas Penulis di Kompasiana merupakan kumpulan penulis pemula yang sama-sama belajar. Para penulis amatir.
Klub ini, menerima siapapun yang ingin bergabung. Hubungi kami di email: writeforbetterlife@gmail.com. Terima kasih. Berikut ini tulisan tentang "Tubuh":
Metode ketiga yang bisa kita terapkan: sensasi tubuh.
Mari mencuci otak kita dan melatihnya agar lebih peka terhadap rangsangan-rangsangan yang kita terima dengan tubuh. Lima panca indra.
Belajarlah menulis secara detil mendemonstrasikan apa yang tubuh rasakan. Apa yang sedang terjadi dengan tubuh Anda?
Orang bilang, jika Anda tidak tahu ingin menulis apa selanjutnya atau tidak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya dengan tulisan Anda, tulislah menggunakan mulut narator.
Tulislah menggunakan sensasi fisik yang dialami narator (sebagai manusia, tentu saja). Apa yang sedang menempel kakinya, tekstur tangannya, bau-bau dan aroma, apa yang dilihatnya, suara yang masuk ke terlinganya, dsb.
Tulislah segala sensasi fisik secara detil apa adanya, blak-blakan, tentang segala yang dirasakan tubuh. Lebih detil, lebih baik! Semakin bagus!
Sensasi itu akan memprovokasi pembaca dan mudah bagi mereka membayangkan apa yang mereka baca.
Adalah tugas penulis sebagai pemegang kekuasaan menguasai mental pembaca, pikiran dan imajinasinya. Anda (sebagai penulis) sedang berurusan dengan kesadaran dan persepsi pembaca.
Tetapi, memprovokasi sensasi tubuh pembaca adalah satu hal paling penting. Membawa pembaca pada level sensasi fisik tertentu, Anda tidak hanya menguasai mental, pikiran, dan imajinasi.
Anda memberi mereka realitas ciptaan Anda dan memblok realitas aktual mereka sendiri.
Ya! Pembaca bisa saja sedang berada di sebuah pasar yang riuh, bandara yang bising, atau di kantor yang membosankan. Barangkali mereka sedang penat, lelah, atau sedih. Atau, sedang mengalami hari yang buruk saat itu.
Sebagai penulis, jika Anda bisa menggenggam pikiran, hati, dan (terutama) tubuh mereka lalu memasukkan mereka ke dalam cerita Anda, maka, saya perlu mengucapkan selamat. Anda penulis jempolan!
Anda menimpa realitas mereka dengan realitas fiksi rekaan (atau ciptaan) Anda. (entah itu realitas Anda lebih sedih, menjijikkan, atau barangkali realitas yang lucu, gurih, dsb.)
Bagaimana caranya meramu dan menyampaikan sensasi tubuh ini?
Sensasi tubuh harus diceritakan secara detil. Cara ini akan gagal jika Anda menggunakan kata-kata abtrak yang sudah punya arti tertentu mewakili sebuah emosi.
Misalnya, kepala Anda sakit. Godaan pertama sebagai penulis, Anda akan menggunakan kata “pusing”. Nah, ketimbang menggunakan kata “pusing”, lebih baik Anda sampaikan apa-adanya, detil demi detil sensasi tubuh yang sedang Anda rasakan.
Kata “pusing” bisa diganti dengan:
“Kulit kepalaku menebal. Di dalamnya, di balik kulit itu, ada sesuatu yang mengguncang-guncang. Semua benda yang kulihat bergerak ke kanan ke kiri. Sementara otot leher, tepat di bawah belakang kepala, tercekat. Seperti terkunci pada satu engsel besi berkarat. Berat. Saat matamu memejam, tiba-tiba hanya warna merah. Siluet-siluet. Terhuyung-huyung bayangan itu. Ke kanan ke kiri.”
Nah, kan?! Anda sebaiknya tidak malas menjelaskannya detil demi detil apa yang tubuh rasakan. Hindari kata-kata yang seolah-olah bagi Anda mudah dan pembaca-pasti-mengetahuinya. Pusing? Pusing yang bagaimana? Banyak sekali makna pusing. Pusing bagi si A, belum tentu sama dengan pusing bagi si B.
Ingat! Kata-kata seperti pusing tujuh keliling, gelora asmara, ingatan tajam, dsb. tidak bisa menggugah sensasi fisik pembaca. Mereka barangkali malah justru kesulitan membayangkan dan mengimajinasikan apa maksud Anda.
Kata-kata yang bernada jalan pintas dan menggoda Anda malas menceritakan detil demi detil sensasi tubuh, sebaiknya dihindari. Terutama, kata-kata itu tidak akan menggugah pembaca. Tidak akan sampai ke dasar nyali pembaca.
Camkan! Anda tidak sedang memberi tahu bahwa Anda sakit. Anda ingin kesakitan yang konkret. Anda ingin pembaca mengalaminya secara konkret. Bukan hanya di halaman atau tulisan saja. Anda ingin pembaca mengalami dan sensasi itu tumbuh di tubuh mereka.
Taruh misal, seks. Kata seks, semua orang juga paham. Tetapi, ketika pembaca membaca kata itu, imajinasi apa yang akan berkorelasi dengan makna yang ditangkap oleh pikiran pembaca?
Jadi, bongkar, pilah, dan pilihlah sensasi demi sensasi yang tubuh alami. Untuk membuat orgasme yang unik dan otentik, Anda tak bisa mewakilinya hanya dengan kata “orgasme”. Anda harus mendedahkan secuil demi secuil sensasi yang dialami tubuh.
“Orang normal saat pusing, dia cari bodrek. Penulis sakit kepala, dia ambil catatan.”
Cobalah riset dengan tubuh Anda sendiri. Ketika mengalami sakit, apapun itu. Ingatlah, sensasi tubuh yang Anda alami sampai sedetil-detilnya. Ingat dan (kalau perlu) catat segera. Sensasi demi sensasi.
Catatan:
Metode lainnya yang berhubungan dengan sensasi tubuh ini adalah memasukkan istilah-istilah medis. Istilah kedokteran. Istilah anatomi. Istilah kimia. Ini memang akan membuat Anda menyelesaikan PR sebagai penulis. Anda melakukan riset.
Namun, perlu hati-hati. Tak semua pembaca akrab dengan istilah-istilah tersebut.
Menggunakan bahasa-bahasa dan istilah aneh, (biasanya terjadi pada cerita beraliran absurd) juga bisa untuk menggambarkan sensasi tubuh. Tapi, hati-hati, tak semua pembaca mengalami realitas Anda yang spesifik.
Contohnya bahasa seperti ini: Dari mulutnya, keluar burung gagak berkepala kodok. Mulutnya sobek. Berdarah. Burung gagak yang mengempit kawat berkepala kodok itu masuk ke hidungnya, sebelum sempat berkata: Apa arti cinta?
Kesimpulan:
Bagaimana kita bisa pandai juga lihai menyampaikan sensasi tubuh ke pembaca?
Riset! Latihan! Survei!
Latihan! Riset! Latihan!
Baca, baca, baca!
Perhatikan, fokus, fokus!
Latihan! Tulis! Perhatikan! Tulis! Ingat! Tulis!
Meditasi. Kesadaran. Anda harus sadar. Dan peka.
Get sick! Get hurt! Hit somebody!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H