Mohon tunggu...
Keisya Fatina Fatia N
Keisya Fatina Fatia N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa perantau asal pulau Sumatra yang sedang menempuh pendidikan tinggi di pulau Jawa, lebih tepatnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Memiliki kepribadian yang aktif dan memiliki hobi yang biasa saja, yaitu suka menulis apa pun itu, membaca buku, membeli buku apabila tertarik, dan menonton drama Korea.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cakap dan Cermin

22 September 2023   22:35 Diperbarui: 22 September 2023   22:37 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://pin.it/4Wr2Ev6

"Hai! Katamu aku perempuan, ya!" aku berseru kepadanya.

Terlihat di sana ia tersenyum sambil memainkan rambutnya. Gayanya masih sesuka hati, sebelum kopi panas hadir di hadapannya. Ia perempuan, tetapi penyuka kopi. Perihal kopi, siapa pun boleh memilihnya, kan tanpa memandang jenis kelamin? Ya, baiklah kalau begitu.

"Kamu?" tanyanya.

"Iya."

"Ya, kamu memang perempuan."

Aku bertanya sambil memilih jenis warna lipstik untuk bibirku, "Aku harus cantik?"

"Untuk dirimu sendiri," jawabnya.

Sempurna. Tuhan tidak pernah salah menciptakan sesuatu, termasuk menciptakan manusia. Hanya saja, manusia tidak lepas dari kesalahan, seperti Adam dan Hawa. Bagaimana aku bersolek, memamerkan kesukaanku, berkelana bersama diriku untuk mencapai satu-persatu mimpiku, berkaca memandang senyum sendiri, dan hal lain yang setengah menyenangkan dan mungkin setengahnya lagi berlawanan dari kata menyenangkan tersebut.

Pagi ini aku memeluk tubuhku lebih erat dari biasanya. Meskipun rambutku masih berantakan, tetapi hatiku terus memancarkan sinarnya. Membuat seluruh isi di kamarku bertanya-tanya, seperti merasa heran padaku. "Tidak biasanya dia seperti ini," pikir mereka. Senandung musik yang lembut perlahan menusuk indera pendengaran dan menambah kesan cerah di pagi hari ini. Aku berdiri di sini untuk diriku sendiri, aku menggenggam senyumku untuk diriku sendiri, dan aku membaca tulisan di cermin hanya untuk diriku sendiri.

"Apa kamu tahu? Tidak ada yang perduli terhadap penampilanmu," ucapnya.

"Kata siapa? Kemarin sendu menusuk sebab ucapan seseorang memaksa untuk masuk."

"Apa katanya?"

Aku memeragakan gaya orang tersebut ketika ia berbicara kepadaku. Katanya, "Sok cantik!" Lalu aku berkata lagi, "Padahal dia sama denganku, sama-sama perempuan."

"Oh, tidak. Persaingan makin ketat!"

Perempuan, apa sih maumu? Aku tidak tahu yang sebenarnya, tetapi ketika aku berpikir dan sengaja memposisikan diriku menjadi dirimu, tidak ada yang istimewa. Semua sama saja, lalu mengapa kamu menghardik sesama? Apakah ada rasa iri atau ketidakpuasan dirimu terhadap diri sendiri sehingga melemparnya kepada orang lain?

Aku makin merasa bangga menjadi diriku sendiri, bersolek sesuka hati, bergaya sesuai dengan warna hatiku, lalu memandang dunia dengan warna yang aku tentukan tiap harinya. Aku selalu berusaha untuk memaknai diriku sesuai kondisi, tetapi tidak pernah lepas dari pandangan kritik dan saran. Dahulu ketika waktu kecil, aku pikir semua ditentukan oleh pandangan orang lain, tetapi makin berjalan ke sana-kemari, menjelajahi dunia, aku menampik pikiran tersebut. Tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar.

Ia menyimpan gelas kopi tersebut di meja, lalu berdiri dari kursi tempatnya duduk dan berkata, "Baiklah, sesuka hatimu saja."

"Kamu ingin kemana?" aku bertanya setelah selesai bersolek.

"Ikut denganmu. Katamu, kamu ingin berdansa dan menunjukkan kepada dunia bahwa kamu pantas."

"Dengan cara apa? Hai! Mengapa kamu ingin ikut bersamaku?"

"Dengan caramu sendiri, lakukan saja. Omong-omong, apa kamu lupa?" tanyanya dengan raut wajah heran. "Aku ini bagian dari dirimu, hanya saja kamu tidak melihatku seperti kamu melihat dan berhadapan dengan temanmu di sebuah cafe."

"Maksudnya, kamu adalah aku? Bayanganku di cermin selama ini adalah kamu?"

Ia tertawa, lalu menghilang dari pandanganku.

Ternyata, makin dewasa, perempuan makin belajar memahami dirinya sendiri. Oh, tidak! Tidak hanya perempuan dan laki-laki yang berperan sebagai manusia saja, aku rasa seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini, termasuk hewan dan tumbuhan. Bedanya hanya di akal dan tidak berakal. Tuhan, Engkau tahu maksudku, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun