"Kata siapa? Kemarin sendu menusuk sebab ucapan seseorang memaksa untuk masuk."
"Apa katanya?"
Aku memeragakan gaya orang tersebut ketika ia berbicara kepadaku. Katanya, "Sok cantik!" Lalu aku berkata lagi, "Padahal dia sama denganku, sama-sama perempuan."
"Oh, tidak. Persaingan makin ketat!"
Perempuan, apa sih maumu? Aku tidak tahu yang sebenarnya, tetapi ketika aku berpikir dan sengaja memposisikan diriku menjadi dirimu, tidak ada yang istimewa. Semua sama saja, lalu mengapa kamu menghardik sesama? Apakah ada rasa iri atau ketidakpuasan dirimu terhadap diri sendiri sehingga melemparnya kepada orang lain?
Aku makin merasa bangga menjadi diriku sendiri, bersolek sesuka hati, bergaya sesuai dengan warna hatiku, lalu memandang dunia dengan warna yang aku tentukan tiap harinya. Aku selalu berusaha untuk memaknai diriku sesuai kondisi, tetapi tidak pernah lepas dari pandangan kritik dan saran. Dahulu ketika waktu kecil, aku pikir semua ditentukan oleh pandangan orang lain, tetapi makin berjalan ke sana-kemari, menjelajahi dunia, aku menampik pikiran tersebut. Tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar.
Ia menyimpan gelas kopi tersebut di meja, lalu berdiri dari kursi tempatnya duduk dan berkata, "Baiklah, sesuka hatimu saja."
"Kamu ingin kemana?" aku bertanya setelah selesai bersolek.
"Ikut denganmu. Katamu, kamu ingin berdansa dan menunjukkan kepada dunia bahwa kamu pantas."
"Dengan cara apa? Hai! Mengapa kamu ingin ikut bersamaku?"
"Dengan caramu sendiri, lakukan saja. Omong-omong, apa kamu lupa?" tanyanya dengan raut wajah heran. "Aku ini bagian dari dirimu, hanya saja kamu tidak melihatku seperti kamu melihat dan berhadapan dengan temanmu di sebuah cafe."