Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Dalam Perangkap Pendapatan Menengah

20 Juli 2016   09:50 Diperbarui: 20 Juli 2016   09:59 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 50 persen angkatan kerja berpendidikan SD atau kurang. Hanya sekitar 70 dari 100 anak – yang masuk kelas 1 SD – yang menyelesaikan pendidikan SMP. Atau, ada sekitar 30 orang anak sisanya yang putus sekolah. Proporsi anak yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi – yakni, SMA dan perguruan tinggi – pasti jauh lebih kecil lagi angkanya. Bonus demografi penduduk yang dirasakan Indonesia – yakni, proporsi penduduk usia produktif lebih besar daripada yang nonproduktif – akan lebih dapat teroptimalkan apabila kualitas dari manusianya memadai.    

Dalam konteks era knowledge-based economy, penting bagi suatu negara untuk menggalakkan kegiatan research and development.Sebab, dari kegiatan ini, akan dihasilkan inovasi-inovasi yang dapat memperkuat daya saing dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat menjadi negara kelompok high income countriestanpa didukung oleh daya atau kemampuan  berinovasi yang baik. Negara-negara yang paling berhasil mentransformasi perekonomiannya dengan relatif mulus menjadi high income countries, seperti Korea Selatan dan Finlandia, di awal pembangunan ekonominya memilih langkah yang berbeda dibanding negara-negara lain.

 Kalau negara lain berfokus pada kapital fisik – seperti, China – Korea Selatan dan Finlandia di fase-fase awal pembangunan lebih mengarahkan investasinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka menganggarkan begitu besar dana untuk kepentingan riset. Untuk aspek ini, Indonesia relatif jauh tertinggal. Ini bisa dilihat dari bujet pemerintah untuk aktivitas keilmuan dan tenologi di Indonesia yang justru mengalami penurunan cukup tajam. Anggaran untuk riset yang dialokasikan pemerintah sejak tahun 1986-2002 menurun rata-rata 0.18 persen dari PDB.

 Pada tahun 2005-2009, rata-rata anggaran untuk riset relatif terhadap PDB hanya sebesar 0.08 persen. Ini berimbas pada aktivitas riset di Indonesia yang tidak semarak, tercermin dari sedikitnya jumlah peneliti di Indonesia yang baru mencapai 100 peneliti per sejuta penduduk, atau secara total baru berjumlah 25.000 peneliti. 

Padahal, untuk dapat masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi dibutuhkan sekurangnya 250.000 peneliti. Konsekuensinya adalah sangat sedikit artikel ilmiah peneliti Indonesia yang terpublikasi di jurnal-jurnal internasional. Saat ini, untuk aktivitas riset, jangankan dari Singapura atau Malaysia, dibandingkan Vietnam saja Indonesia relatif sudah tertinggal.   

Sementara itu, dari sisi kesehatan, dampak dari terfragmentasinya layanan kesehatan di Indonesia adalah kondisi kesehatan di Indonesia masih terbilang kurang baik. Ini terlihat dari ukuran life expectation at birth atau angka (umur) harapan hidup waktu lahir masyarakat Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga. 

Berdasarkan data UNDP tahun 2012, umur harapan hidup waktu lahir masyarakat Indonesia adalah 69.8 tahun. Umur harapan hidup waktu lahir di Indonesia ini masih lebih rendah dari  yang ada di Australia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam dan Malaysia. Kehadiran JKN-BPJS yang digagas pemerintah baru-baru ini diharapkan bisa meningkatkan kadar kesehatan masyarakat. 

Dengan adanya JKN-BPJS, akses layanan kesehatan relatif sudah lebih inklusif. Ini penting, karena selama ini layanan kesehatan di Indonesia berlaku diskriminatif dengan lebih mengedepankan kelompok tertentu. Layanan kesehatan di Indonesia seringkali mengeksklusi kelompok masyarakat miskin.

Padahal, kesehatan adalah hak asasi terlepas dari apapun status sosial seseorang. Bila tingkat kesehatan masyarakat rendah, maka tidak ada manfaatnya masyarakat yang cerdas. Karena tanpa sehat, seseorang tidak mungkin bisa bekerja dan produktif. Dengan kata lain, masyarakat yang tidak sehat memiliki produktivitas yang rendah, dan ini pasti berdampak pada level kesejahteraannya. Mengingat pentingnya isu kesehatan ini, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran kesehatan. Program JKN-BPJS perlu diperluas, tidak hanya dari sisi kepesertaan, tapi juga dari sisi manfaatnya. 

Berdasarkan satu hasil studi diketahui bahwa agar kepesertaan JKN-BPJS dapat menyentuh seluruh penduduk Indonesia, yakni 240 juta, dibutuhkan anggaran jaminan kesehatan senilai Rp 100 triliun. Anggaran kesehatan sebesar ini, selain sudah meliputi seluruh penduduk, juga sudah mencakup seluruh jenis penyakit, termasuk penyakit terminal – yakni, penyakit yang butuh penanganan rutin, dan umumnya biayanya amat mahal, seperti cuci darah. 

Jika dilihat dari nilai anggaran yang dibutuhkan, sesungguhnya tidaklah besar. Nilainya bahkan jauh lebih rendah dari subsidi BBM yang pernah mencapai lebih dari Rp 250 triliun per tahun. Padahal, subsidi BBM ini, selain hanya untuk kepentingan konsumtif – berdasarkan hasil evaluasi sejumlah lembaga – juga relatif lebih dinikmati oleh penduduk menengah atas. Bila dikomparasi manfaat sosialnya pastilah relatif lebih rendah dibandingkan subsidi anggaran kesehatan yang sejatinya lebih dinikmati dan dibutuhkan oleh kelompok masyarakat miskin – yang secara etis memang perlu dibantu kehidupannya.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun