Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Dalam Perangkap Pendapatan Menengah

20 Juli 2016   09:50 Diperbarui: 20 Juli 2016   09:59 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meski didapati beberapa negara dengan kecenderungan progresif, seperti Korea Selatan, Singapura dan Taiwan –yang secara gradual mampu terus mentransformasi perekonomiannya dari negara berpendapatan rendah ke negara pendapatan tinggi, sejatinya terdapat lebih banyak negara di dunia ini yang mengalami stagnansi – atau mengalami middle-income trap. Bank Dunia (2012) melaporkan bahwa dari 101 negara yang tergolong middle incomepada 1960, hanya 13 negara diantaranya yang berhasil bertransformasi menjadi high income countries. Atau, dengan kata lain, terdapat 88 negara lainnya yang mengalami stagnansi. 

Kondisi stagnansi yang paling kentara terjadi di Kawasan Amerika Latin, dengan Argentina – bersama dengan Uruguay – sebagai aktor utamanya. Di antara kelompok negara Amerika latin yang lain yang juga mengalami middleincome trap, seperti Brazil dan Chile, Argetina tercatat sebagai negara terlama yang berada di level upper middle income,yakni 51 tahun. Padahal, tingkat pendapatan per kapita Argentina pada tahun 1914, pernah lebih tinggi dari Amerika Serikat. 

Namun, karena disebabkan tata kelola pemerintahan yang buruk, seperti ketidakpastian penegakan hukum dan fokus investasi yang keliru, menjadikan Argentina tidak mampu bertransformasi menjadi negara high incomeuntuk waktu yang sangat lama (Kotler, et.al, 1997).Proyeksi yang optimistik memperkirakan jika pada tahun 2020 mendatang, barulah Argentina akan masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi dengan income per kapita sebesar US$ 23.285. Itu pun dengan asumsi segala persyaratan – seperti tingkat pertumbuhan ekonomi minimum yang harus dicapai – terlebih dulu dapat terpenuhi (Foxley, et.al, 2011). Jika tidak, maka akan lebih lama lagi Argentina mengalami kondisi middle income trap.     

Untuk diketahui, Middle income trap, sebagaimana dikatakan oleh Vivareli (2014), disebabkan adanya perlambatan pertumbuhan yang lebih dipengaruhi oleh faktor productivity slowdown daripada faktor decreasing returndari akumulasi kapital. Persentase pengaruh productivity slowdown –atautotal factor productivity –terhadap perlambatan pertumbuhan bahkan mencapai 85 persen, dan hanya 15 persen yang berasal dari akumulasi kapital (Eichengreen, et.al, 2012). 

Oleh sebab itu, berdasarkan temuan di atas, diketahui bahwa human capital, perubahan struktural, dan inovasi adalah faktor utama yang mendorong pertumbuhan total factor productivity (TFP). Dan karenanya, sekaligus menjadi solusi atas permasalahan middle income trap. Selain itu, kesepakatan sosial dan politik juga penting untuk menghindari kondisi stagnansi. Kapasitas dari pemimpin politik dalam membangun konsensus selama pelaksanaan manajemen krisis dan reformasi struktural dibutuhkan pada tahapan post crises,dan ini sangat mempengaruhi hasil yang akan diperoleh. Karena tak dapat dipungkiri bahwa krisis merupakan siklus dalam ekonomi – sering diistilahkan dengan konjungtur. Sehingga, aspek stabilitas sosial – politik diperlukan dalam proses pemulihan, dan sekaligus pembagunan ekonomi (Foxley, et.al, 2011). 

Salah satu alasan kenapa negara-negara kawasan Sub Sahara Afrika tetap tidak mampu membangun ekonominya, bahkan terus tergolong sebagai negara berpendapatan rendah dari tahun 1950 sampai saat ini – dimana 31 dari 37 negara di dunia selalu berada di level low income countries berasal dari Sub Sahara Afrika – adalah kondisi sosial – politiknya yang terus bergejolak.         

Dalam konteks Indonesia, PDB per kapita Indonesia didapati terus bertumbuh, dari US$ 570 pada tahun 2000, menjadi US$ 3.420 pada tahun 2012. Selama periode yang relatif singkat, tingkat kesejahteraan penduduk mengalami perbaikan. Dengan besaran pendapatan ini, Indonesia – berdasarkan ukuran klasifikasi Bank Dunia – merupakan negara berpendapatan menengah-bawah atau lower middle income.

Berdasarkan ukuran waktu Felipe (2012) – seperti telah diuraikan di atas – sejatinya Indonesia belum termasuk negara di dunia yang menghadapi masalah middle income trap. Hal ini karena Indonesia baru selama 25 tahun menyandang status sebagai negara middle income –lebih tepatnya, lower middle income. Indonesia masih punya batas waktu 3 tahun dari yang ditentukan untuk menuju tahap lanjutan, yaitu menjadi kelompok negara upper middle income. 

Apabila ingin lolos dari perangkap lower middle income trap, pendapatan per kapita Indonesia harus tumbuh rata-rata 15 persen dalam waktu yang tersisa (LPEM, 2015). Hanya, bila melihat konfigurasi saat ini, proyeksi yang paling realistis menunjukkan bahwa Indonesia cuma mampu bertumbuh maksimal 4-6 persen per tahunnya. Ini berarti bahwa potensi Indonesia untuk mengalami situasi middle income trap sangatlah besar.     

Untuk dapat terus menaikkan pendapatan per kapitanya, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan cara mendorong productivity,inovasi dan perubahan struktur. Pada dasarnya, productivity,inovasi dan transformasi struktural dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia – secara khusus, kualitas tenaga kerjanya. 

Peningkatan produktivitas tenaga kerja, dalam jangka menengah dan panjang, akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Meski didapati kecendrungan yang positif, yakni terus meningkatnya proporsi alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan relatif terhadap PDB, dari 2.46 persen pada 2001 menjadi 3.56 persen pada 2012 untuk bidang pendidikan, dan 2.23 persen pada 2001 menjadi 3.03 persen pada 2012 untuk bidang kesehatan, kualitas SDM Indonesia masih jauh dari kata optimal. Ini tercermin dari komposisi angkatan kerja Indonesia yang masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun