Beberapa ada pula yang berteori jika para saudagar Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb sudah sampai di Nusantara, untuk kulakan kapur Barus dan rempah-rempah, pada era Rasulullah SAW masih hidup. Itu artinya pada abad keenam.
Dalam salah satu versi legenda Ratu Sima memotong tangan puteranya, karena sang pangeran mengambil kantung emas yang tergeletak di jalan, disebutkan jika kantung emas itu milik seorang saudagar Arab yang tengah singgah di Kalingga (Kedatangan Islam Pertama dan Pengembara Arab di Nusantara |Republika Online).
Okelah, yang terakhir tadi masih bisa diperdebatkan apakah berdasarkan kenyataan, murni legenda turun temurun, atau malah sudah dibengkokkan agar dekat dengan pengaruh tertentu. Misalnya, untuk membangun kesan jika Islam hadir di Nusantara jauh lebih lama dari yang diajarkan selama ini.
Yang jelas, dari kajian yang dilakukan para peminat sejarah partikelir tersebut, muncul dugaan jika dalam satu era dengan Prabu Airlangga mendirikan kerajaan sudah banyak sekali orang-orang Arab-Muslim yang tinggal di pesisir utara Jawa, khususnya Gerawasi (Gresik).
Kalau kita membuka peta, maka Gerawasi itu terhitung dekat sekali dengan Kahuripan (Sidoarjo). Ketika para pendatang ini membentuk komunitas yang kian membesar pengaruhnya, lalu orang-orang pribumi turut bergabung pula, tidak heran jika Prabu Airlangga lantas menjadi khawatir.
Mengapa Prabu Airlangga tidak menyerang Gresik saja? Â Mungkin saja pernah, tetapi bisa jadi beliau punya pertimbangan lain sehingga lebih memilih menyingkir dari kawasan pesisir dan menetap di tengah-tengah Jawa.
Butuh Pembuktian
Memang narasi tentang pengaruh Islam dalam kepindahan pusat kerajaan Kahuripan ini masih berupa teori. Masih butuh pembuktian, itu jelas. Namun, bukankah sampai sekarang saja masih banyak hal dalam sejarah yang masih berupa teori dan dugaan? Pun sampai saat ini masih banyak ahli sejarah yang saling berbeda pendapat mengenai banyak hal, bukan?
Para pegiat sejarah di Lamongan, misalnya, semakin giat mengutarakan pendapat jika pusat pemerintahan kerajaan Prabu Airlangga bukanlah di kaki Gunung Penanggungan. Mereka yakin letak sebenarnya adalah tempat yang sekarang bernama Desa Slahar Wotan di Kecamatan Ngimbang, Lamongan.
Malah ada pula yang mengajukan pendapat jika kotaraja Dahanapura bukanlah di sisi Bengawan Sigarada alias Kali Brantas di Kediri, melainkan di Pamotan. Dusun Pamotan sendiri merupakan tempat ditemukannya Prasasati Pamwatan yang pada bagian atasnya memuat nama DAHANAPURA (Baca: Lamongan Diduga Ibu Kota Kerajaan Kahuripan).
Dan yang begini ini, perbedaan-perbedaan penafsiran dan pendapat mengenai satu iven sejarah seperti ini, ya lumrah-lumrah saja dalam bidang kesejarahan. Mengajukan teori dan pendapat saja kok, masa tidak boleh?
Sampai kemudian ada petunjuk kuat yang tidak terbantahkan lagi, misalnya temuan prasasti, berbeda pendapat dan simpulan mengenai suatu kejadian dan atau lokasi dalam sejarah bukanlah sesuatu yang gawat.