Kepentingan/Interest ini sebagaimana diawal telah disinggung penulis telah terjadi sejak awal wacana Pilkades ini digulirkan mulai dari pembuatan aturan dan kebijakan hingga implementasinya di lapangan.Â
Perda dan Perbup yang dihasilkan tentu melalui proses yang panjang. Tidak hanya saat pembuatannya saja tapi juga saat pembahasannya di Ruang Sidang bersama Legislatif.Â
Setiap Legislator yang ada di Legislatif prinsipnya hadir untuk menyuarakan kepentingan rakyatnya atau seperti kata Prof Miriam Budiardjo, keputusan-keputusan yang diambil badan ini (Legislatif) merupakan suara dari authentic dari general will itu (2007:315). Dengan keterwakilan yang demikian, suka atau tidak suka, kepentingan selalu menyertainya.Â
Terlebih lagi jika suara mereka adalah suara rakyatnya yang sebentar lagi siap mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Semua pembicaraan akan bermuara pada kepentingan tersebut walaupun di satu sisi harus berbenturan dengan kepentingan legislator lainnya. Perbedaan semacam ini dirasa wajar dan mutlak terjadi di Negara demokrasi.Â
Itu belum termasuk benturan dengan kepentingan Eksekutif sendiri maupun kepentingan mereka yang telah menjadikan pilkades sebagai test case untuk Pilkada tahun 2024 mendatang.Â
Tidak mengherankan jika dalam setiap proses pilkades hingga pada penetapan calon oleh panitia selalu disertai intrik kecil. Kepentingan kecil setiap elemen menjadikan pilkades ini cukup seksi untuk dibahas dan ditelaah lebih jauh sebagai tolok ukur kedewasaan masyarakat dalam berpolitik.
Perbedaan Penafsiran Aturan Jadi Sumber
Benturan akan kepentingan ini lebih lanjut tidak bisa dilepaskan dari peran persepsi masing-masing elemen dalam menafsirkan aturan yang dibuat. Hal ini dirasa wajar karena aturan yang dibuat baik itu Perbup maupun tatib sebagai instrument pelaksanan Pilkades cenderung multi tafsir.Â
Beberapa point multi tafsir itu termasuk indicator pencalonan yang memakai perangkingan berdasarkan pengalaman kerja, usia dan pendidikan yang hemat penulis menjadi sumber persoalan dalam proses pilkades kali ini.Â
Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pertanyaan dan laporan yang diajukan Panitia Tingkat Desa, bakal calon maupun massa pendukung kepada panitia tingkat Kabupaten selama kurun waktu 3 hari belakangan.Â
Kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang sebelumnya sepi, belakangan menjadi ramai karena didatangi warga. Tidak hanya itu, kecenderungan panitia yang tidak menjaga netralitasnya selama proses pendaftaran hingga verifikasi berkas sebelum penetapan pun jadi sorotan publik.Â