Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Benarkah Gubernur NTT Menyudutkan Pendidikan Timor dan Sumba?

17 Agustus 2020   15:44 Diperbarui: 18 Agustus 2020   12:05 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat NTT khususnya para pengguna media sosial belakangan ini dihebohkan dengan pernyataan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat yang menyebut bahwa Pulau Sumba dan Timor adalah penyumbang terbesar kemiskinan dan kebodohan. Hal itu ia sampaikan di acara Syukuran HUT ke-9 SMP Negeri 6 Nekamese, Kecamatan Nekamese-Kabupaten Kupang, Sabtu (15/8).

Sebagaimana yang dilansir dari kupang.tribunnews.com dan kabarntt.com. 

Sontak berbagai reaksi pun timbul dari pernyataan orang nomor satu di provinsi kepulauan ini. Rata-rata netizen mengecam keras pernyataan pemimpinnya itu, bahkan di antaranya secara gamblang menyebut, "karena kami bodoh dan miskin makanya bapak menang di wilayah kami." 

Tidak hanya mengecam, reaksi penyesalan atas ucapan pemimpin pun dilontarkan warganet di kolom komentar sosial media baik itu Facebook maupun Instagram yang intinya meminta pemimpinnya lebih mawas dalam berkata-kata.

Lalu benarkah Gubernur NTT menyudutkan masyarakat Timor dan Sumba?

Tulisan kecil ini hanya sedikit dari pandangan saya untuk kita sebagai pembaca melihat kejadian ini secara komprensif dan bukan parsial. Apalagi menghadirkan polemik lain soal ini. Bagi saya polemik tidak akan menyelesaikan masalah apapun selama kita masih terkotak-kotak pada pandangan masing-masing.

Kemiskinan VS Pendidikan, Mana yang Unggul?

Letak polemik atas pernyataan yang dilontarkan oleh Gubernur tentunya bukan tanpa sebab apalagi disampaikan di forum resmi semacam itu. Sebagai pemimpin dan juga politisi berskala Nasional, Viktor Bungtilu Laiskodat sadar bahwa untuk membangun NTT untuk keluar dari kemiskinan tidak hanya mimpi namun juga dibarengi dengan kerja keras masyarakat sendiri. 

Masyarakat dituntut untuk bisa pintar dan cerdas mengelola potensi untuk kesejahteraannya. Menjadi cerdas dan pintar tentu tidak seperti membalikkan telapak tangan apalagi ditengah realitas pelik pendidikan NTT yang masih karut marut tidak karuan seperti saat ini.

Penulis mencatat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, tercatat 1,385,000 jiwa -- atau 25.2% dari 5.5 juta total penduduk NTT -- bersekolah di tingkat PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang tersebar di 7,657 satuan pendidikan formal se-NTT.

Meski demikan, pada jenjang pendidikan menengah, masih terdapat 22.19% penduduk usia sekolah yang belum bersekolah serta masih terdapat 7.49% penduduk NTT usia 10 tahun ke atas yang buta huruf (BPS, 2019). Sedang di satu sisi seperti mutu pembelajaran di kelas mayoritas masih tergolong rendah.

Pada tahun 2014, hasil penilaian siswa kelas 2 SD di NTT menunjukkan hanya 22.3% siswa yang membaca lancar dan paham artinya. Sementara 27% belum mengerti konsep kata, 28% lainnya belum mengerti konsep suku kata, dan 22% sisanya belum mengenal konsep huruf meski mereka sudah bersekolah selama dua tahun (RTI/USAID).

Data BPS tahun 2017, angka stunting di NTT juga tinggi yaitu 40.3%. Stunting dapat mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar sehingga berkontribusi pada mutu pembelajaran siswa.

Semua permasalahan ini berkontribusi pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT. Secara konsisten, NTT berada di posisi 31 atau 32 dari 34 provinsi se-Indonesia sejak tahun 2010.

Berbagai studi menunjukkan bahwa perkembangan suatu negara ditentukan oleh kualitas pendidikan bangsanya karena melalui pendidikanlah, Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu dapat dipersiapkan.

Dengan kondisi yang demikian tentu sulit bagi kita mengakui bahwa masyarakat kita sudah pintar apalagi cerdas. Iya data ini mungkin tidak lengkap seperti harapan kita, tapi di satu sisi, kita sudah punya bayangan seperti apa wajah pendidikan kita sejauh ini.

Lalu bagaimana dengan kemiskinan di NTT? Argh sudahlah, tidak perlu ditanya. Jawabannya akan sama dengan pendidikan. Toh harus diakui sekali lagi bahwa indikator kemiskinan salah satunya lahir dari tingkat pendidikan yang dimiliki warga yang mendiami sebuah wilayah tertentu. 

Dan dari data BPS Provinsi NTT tahun 2019 jelas terlihat bahwa kemiskinan di tiap Kabupaten di NTT paling tinggi ada di TTS dengan jumlah penduduk mencapai 130.63 ribu diikuti Sumba Barat Daya dengan 97.28 dan disusul Kupang dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 88.67 ribu.

Angka ini memang tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di NTT. Selisihnya pun boleh dibilang kecil seperti di Kabupaten Manggarai Timur yang mewakili Kabupaten di Pulau Flores yang berada di posisi 5 besar dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 74.88 dibawah Sumba Timur 76.8 ribu penduduk miskin.

sumbabaratdayakab.bps.go.id
sumbabaratdayakab.bps.go.id
Di titik ini penulis menyadari bahwa pernyataan sang Gubernur NTT tidaklah keliru jika berkaca pada data di atas. Apalagi ditunjang dengan lokus dan waktu saat pernyataan itu disampaikan yakni di ruang pendidikan seperti HUT sekolah yang menurut pandangan penulis hanya sebuah upaya untuk membangkitkan kesadaran warganya untuk keluar dari himpitan kemiskinan dengan mulai berupaya meningkatkan pendidikannya masing-masing.

Iya baginya NTT bisa sejahtera kalau diurus dengan baik toh dalam dua berita itu sangat jelas terlihat niatan baik sang gubernur untuk mau membenahi yang masih kurang, mengurus yang belum beres.

"Kalau Sumba ini diurus maka pasti berubah," ujar Viktor Laiskodat kala itu sebagaimana yang dilansir dari Media Pos Kupang.

Niatan hati dengan tekad yang kuat itu harus diakui memang sedikit ternoda dengan tidak adanya data penunjang yang mengiringi pernyataannya di forum resmi tersebut. Gubernur lupa bahwa dari sekian banyak orang miskin yang bodoh ada orang miskin yang juga pintar. 

Mereka miskin karena tidak punya sumber daya materi yang baik untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi tapi mereka tidak serta merta lupa untuk bersekolah dari pengalaman harian mereka. 

Mereka bisa sekritis seperti mereka yang bersekolah ataupun mereka yang bergelar S. Mereka akan sepaham dengan Gubernur sekalipun jika Gubernur saat itu menyertakan data sebagai pendukung pembicaraannya.

Penulis memang belum memastikan apakah saat itu apakah Sang Gubernur menyertakan data ataukah tidak soal kondisi pendidikan di dua pulau besar itu? Kalaupun ada kenapa media tidak menulisnya?

Efek Pesan Tidak Bisa Ditarik Kembali

Efek pesan tidak bisa ditarik kembali atau bersifat Irreversible adalah salah satu prinsip komunikasi yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengantar yang intinya menyebut bahwa suatu peristiwa yang berlangsung dalam suatu waktu, peristiwa tersebut akan berlangsung sekali dan tidak dapat "diambil kembali". 

Sebagai suatu contoh seseorang tidak sengaja memukul wajah seseorang hingga hidungnya retak. Anda akan meminta maaf dan dia akan memaafkannya. Namun tak akan mengubah realitas bahwa hidungnya tetap retak.

Hal ini mirip dengan pesan yang hari disampaikan Gubernur NTT, VBL dia akan terekam terus dalam ingatan publik NTT secara umum bahkan dititik tertentu akan menjadi luka khususnya bagi masyarakat Timor dan Sumba.

Namun itu semua bisa diperbaiki jika di titik ini VBL sebagai pemimpin NTT bisa memperbaiki gaya komunikasinya. 

Bahwa di satu sisi banyak di antaranya menyebut gaya komunikasi publik ala VBL adalah sebuah keharusan untuk diterapkan di NTT namun di satu sisi jangan melupakan bahwa tidak semua warga NTT nyaman dengan gaya komunikasi yang demikian. 

Dengan karakteristik budaya yang berbeda-beda, Gubernur VBL seharusnya bisa lebih mawas diri dalam mengeluarkan statement sehingga tidak kemudian menimbulkan ketersinggungan secara berlebihan seperti saat ini. 

Terlebih lagi bicara soal kekurangan etnis tertentu karena hal itu masih jadi hal yang sangat sensitif di wilayah seperti NTT. Iya pengkotakkan semacam itu akan memframming pemikiran khalayak akan keistimewaan sebuah wilayah.

Ini yang harus dihindari sebagai upaya menjaga NTT ini tetap kondusif dalam upaya mencapai NTT Sejahtera seperti visi misi kepemimpinan beliau saat ini. 

Sudah saatnya NTT bertransformasi menjadi Provinsi Maju dengan memulainya membereskan pendidikan terlebih dahulu sebelum berpikir besar. 

Berikan porsi pembangunan terbesar pada dunia pendidikan dan jangan lupa kalau anak NTT ini juga butuh sebuah model pembelajaran yang pakem dimulai dari jenjang SD sebagai modal utama mengentaskan kebodohan dan kemiskinan. Tidak perlu harus menunggu gebrakan pusat jika di daerahpun bisa. Tidak boleh menunggu besok kalau hari ini juga bisa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun