Pada tahun 2014, hasil penilaian siswa kelas 2 SD di NTT menunjukkan hanya 22.3% siswa yang membaca lancar dan paham artinya. Sementara 27% belum mengerti konsep kata, 28% lainnya belum mengerti konsep suku kata, dan 22% sisanya belum mengenal konsep huruf meski mereka sudah bersekolah selama dua tahun (RTI/USAID).
Data BPS tahun 2017, angka stunting di NTT juga tinggi yaitu 40.3%. Stunting dapat mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar sehingga berkontribusi pada mutu pembelajaran siswa.
Semua permasalahan ini berkontribusi pada rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT. Secara konsisten, NTT berada di posisi 31 atau 32 dari 34 provinsi se-Indonesia sejak tahun 2010.
Berbagai studi menunjukkan bahwa perkembangan suatu negara ditentukan oleh kualitas pendidikan bangsanya karena melalui pendidikanlah, Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu dapat dipersiapkan.
Dengan kondisi yang demikian tentu sulit bagi kita mengakui bahwa masyarakat kita sudah pintar apalagi cerdas. Iya data ini mungkin tidak lengkap seperti harapan kita, tapi di satu sisi, kita sudah punya bayangan seperti apa wajah pendidikan kita sejauh ini.
Lalu bagaimana dengan kemiskinan di NTT? Argh sudahlah, tidak perlu ditanya. Jawabannya akan sama dengan pendidikan. Toh harus diakui sekali lagi bahwa indikator kemiskinan salah satunya lahir dari tingkat pendidikan yang dimiliki warga yang mendiami sebuah wilayah tertentu.Â
Dan dari data BPS Provinsi NTT tahun 2019 jelas terlihat bahwa kemiskinan di tiap Kabupaten di NTT paling tinggi ada di TTS dengan jumlah penduduk mencapai 130.63 ribu diikuti Sumba Barat Daya dengan 97.28 dan disusul Kupang dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 88.67 ribu.
Angka ini memang tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di NTT. Selisihnya pun boleh dibilang kecil seperti di Kabupaten Manggarai Timur yang mewakili Kabupaten di Pulau Flores yang berada di posisi 5 besar dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 74.88 dibawah Sumba Timur 76.8 ribu penduduk miskin.
Iya baginya NTT bisa sejahtera kalau diurus dengan baik toh dalam dua berita itu sangat jelas terlihat niatan baik sang gubernur untuk mau membenahi yang masih kurang, mengurus yang belum beres.
"Kalau Sumba ini diurus maka pasti berubah," ujar Viktor Laiskodat kala itu sebagaimana yang dilansir dari Media Pos Kupang.
Niatan hati dengan tekad yang kuat itu harus diakui memang sedikit ternoda dengan tidak adanya data penunjang yang mengiringi pernyataannya di forum resmi tersebut. Gubernur lupa bahwa dari sekian banyak orang miskin yang bodoh ada orang miskin yang juga pintar.Â