Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paskah di Tengah Badai Corona, Ujian Berat bagi Perantau

13 April 2020   09:17 Diperbarui: 13 April 2020   09:20 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paskah telah tiba. Kristus Telah Bangkit mengalahkan kematiannya setelah melalui proses panjang pembebasan umat manusia dari dosa. Tidak heran perayaan paskah pun menjadi sebuah perayaan keagamaan terbesar selain Natal yang selalu dinantikan umat Kristiani bukan saja di Indonesia tapi juga dunia. 

Saking besarnya paskah yang sebentar lagi dirayakan itu menjadi moment bagi umat untuk bersukacita dengan beragam cara termasuk dengan mengunjungi sanak keluarganya di kampung halamannya. 

Hal ini dirasa wajar mengingat moment paskah sebagai moment mengenang kematian Yesus Kristus hanya terjadi setahun sekali dan tidak terulang lagi di bulan-bulan selanjutnya. 

Jabat tangan, cium tangan ataupun cium hidung (budaya timur indonesia) kerap bermunculan dalam moment seperti ini. Semua seolah lepas kendali. Tidak ada jarak diantara mereka. 

Kebisuaan karena perbedaan pendapat dalam keluarga, ketegangan karena salah bahasa antar teman seolah lenyap seketika saat moment itu hadir dan yang terpenting adalah bisa bercengkrama dan saling melepas rindu setelah sekian tahun tidak berjumpa. 

Iya..Moment paskah bagi kebanyakan orang lebih khusus para perantau dijadikan wahana paling efektif untuk kembali mengumpulkan energi baru setelah sebelumnya hilang digerogoti waktu dan kesibukkannya. 

Para Perantau percaya dengan kembali ke kampung halamannya dirinya akan kembali lebih kuat dari sebelumnya. Dan tulisan ini adalah sebuah refleksi singkat untuk mengingatkan pembaca sekalian betapa para perantau saat ini tidak sedang bahagia dengan kondisi yang melilitnya. 

Ada perasaan kalut yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata atau dengan kalimat yang selesai dibicarakan. Iya serangan corona yang membabi buta di Negeri ini membuat mereka harus rela keinginan mereka pulang kampung harus ditunda sementara waktu. 

Penjagaan yang ketat dan instruksi untuk tidak mudik yang didengungkan pemerintah baik Pusat maupun Daerah menjadikan mereka manusia pesakitan di Negerinya sendiri.

Paskah Moment Pembebasan Dengan Syarat

Perantau merasakan betul konsekuensi dari wabah corona yang hadir begitu cepat tanpa bisa dibendung. Dikutip dari Tirto.id hingga Minggu 12 April 2020 yang bertepatan dengan Paskah Umat Kristiani, sudah ada 4.241 warga Indonesia yang positif virus dari total kasus 1.786.769 kasus di seluruh Dunia. Dari total 4.241 tercatat 3.509 orang dalam perawatan, 359 orang dinyatakan sembuh dari infeksi dan 373 orang lainnya meninggal (sumber).

Hal ini menunjukkan bahwa jelas Indonesia yang semula percaya bahwa covid hanyalah virus biasa yang dampaknya tidak seperti flu burung kini mulai menyadari pentingnya mawas diri. 

Segala kebijakan telah ditelurkan walaupun belum ada tanda-tanda lockdown seperti yang sudah dilakukan beberapa negara di dunia. Ketakutan akan stabilitas negara terganggu menjadi alasan utamanya. 

Apalagi pemberlakuann lockdown akan membawa Negara ini pada titik nadir perjalanannya. Ekonomi akan mandeg, kestabilan politik dan sosial budaya akan terganggu, imbasnya masyarakat tidak bisa lagi melanjutkan hidupnya sebagaimana yang diharapkan. 

Sehingga pilihan memangkas rencana belanja yang bukan belanja prioritas dalam APBN maupun APBD, menjamin ketersediaan bahan pokok sekaligus memastikan terjaganya daya beli masyarakat, program padat karya tunai diperbanyak dan dilipatgandakan, dan termasuk menjaga pintu masuk dan keluar bagi para pelancong ataupun masyarakat yang bepergian menjadi logis di titik ini. 

Lalu bagaimana dengan para perantau? hingga saat ini menjadi perdebatan tersendiri pasalnya Pemerintah Pusat masih mengijinkan masyarakatnya mudik namun di sisi lain ada pemerintah di daerah juga yang melarangnya. 

Tidak heran jika muncul banyak penolakan dari warga saat sanak saudaranya kembali ke kampungnya. Keambiguan kebijakan di titik ini sekali lagi menjadikan para perantau sebagai korbannya. 

Bagaimana tidak, di saat umat kristiani merayakan paskah bersama keluarga mereka harus diperhadapkan pada situasi dilematis dimana mereka harus mengikuti instruksi pemerintah untuk tetap stay di wilayahnya dengan konsekuensi tanpa pekerjaan (akibat kebijakan work at home) sedangkan di lain sisi mereka juga butuh makan untuk keluarganya. 

Tidak hanya itu, ketakutan untuk menyebarkan virus kepada orang lain di kampung menjadi alasan mereka untuk tetap tinggal walaupun keinginan untuk kembali itu ada. Kondisi ini membuat moment Paskah sebagai moment pembebasan menjadi hambar, tidak menarik dan mungkin juga chaos. 

Iya pembebasan paskah Tuhan di hari paskah ini seolah memiliki syarat dan syaratnya ditentukan oleh manusia. Bahwa pandemi corona adalah sebuah hal yang perlu diwaspadai tapi tidak kemudian menembus keinginan para perantau untuk kembali. 

Sisi kemanusian perlu juga dilihat dan menjadi pertimbangan tersendiri karena bagaimanapun nilai kemanusian menjadi paling utama di titik ini. Iya seperti Yesus yang mengajarkan kepada kita untuk selalu menjaga tradisi dan hukum cinta kasih maka kita pun harus bersikap demikian walaupun di titik ini kita pasti masih sulit menerimanya. 

Kehadiran Pandemi covid 19 menjadi momok dan membuat kita lupa bahwa diatasnya masih ada Yang Esa Yang Kekuatannya Tidak Bisa Dideskripsikan. 

Kita tidak perlu tenggelam lalu menyalahkan para perantau yang pulang ataupun mereka yang lain yang sudah lebih dahulu terjangkit karena mereka pun tidak mau dirinya terjangkit. Kerelaamn hati dan kerendahan hati untuk melawan pandemi ini secara bersama adalah kuncinya. 

Tidak perlu melarang para perantau untuk pulang karena mereka punya hak untuk merasakan kebahagian sama seperti kita yang lainnya. Sekali lagi jangan biarkan pembebasan paskah itu berlalu dan hanya bersifat sementara karena proses penyelamatan Yesus Kristus yang kita yakini itu menembus segala aspek kehidupan.

Akhirnya Saya mengerti untuk percaya dan saya percaya untuk mengerti lebih baik bahwa perantau adalah mereka yang saat ini merasakan paskah sebagai moment pembebasan dengan syarat yang ditentukan manusia sendiri. Selamat Paskah 2020 buat kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun