Lepas waktu azan isya (baca: karena berniat hendak memasukkan motor saya ke teras) ternyata mobil tetangga saya itu sudah kembali ke depan rumahnya.Â
Keesokan harinya juga begitu.Â
Oke, saya masih berusaha tetap tenang. Tapi, tak pelak di kepala saya, saya sudah memikirkan bentuk protes lain lanjutan—dan seperti sehari sebelumnya, saya letakkan lagi motor saya tapi kali ini berganti posisi, motor saya letakkan persis di belakang mobil si tetangga. Saya pun masuk rumah.
Di hari ketiga, dengan rasa kesal yang sudah di ubun-ubun, akhirnya saya sengaja mencetak tulisan: JANGAN PARKIR MOBIL DI DEPAN PAGAR; huruf kapital semua dengan ukuran font yang cukup dikatakan besar pula—
karena apa? Karena masih ada mobil si tetangga di depan rumah pada hari ketiga.
Rencananya (baca: meski akhirnya saya urungkan) saya akan menempelkannya di dinding pagar rumah jika mobil si tetangga berlalu dari situ (setelah lebih dulu akan saya vinil keras di tempat fotokopi agar tidak mudah basah).
Saya tidak peduli si tetangga yang punya mobil membacanya. Saya akan menyanggah pembenarannya jika mereka tetap ngotot. Saya punya alasan kuat untuk menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak bertanggung jawab; mereka yang punya aset, kok saya yang disuruh 'ngalah'.
Jangan kira orang yang sangat irit bicara seperti saya, ngga bisa 'nyelekit'.
Pikirkan dulu di mana tempat parkirnya, baru beli mobilnya.
Sudah jadi pemandangan yang lumrah jika melihat mobil parkir sembarangan, apalagi di komplek-komplek perumahan.
Entah karena memang digunakan untuk mobilitas, atau sekadar sebagai bentuk status, mobil-mobil ini dibeli yang sayangnya acapkali tanpa sepaket dengan memikirkan di mana mobil itu akan diparkir, terutama saat malam.
Padahal dengan memastikan adanya garasi atau tempat untuk memarkirkan kendaraan pribadi, kita secara langsung ikut pula memastikan jika kita tidak merampas fasilitas di ruang-ruang publik;
membuat kita menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas aset yang kita punya.