Seharusnya sebelum seseorang atau sebuah keluarga memutuskan membeli mobil pribadi, menimbang di mana kendaraan roda empat itu akan diletakkan juga wajib menjadi PRIORITAS.
Baca juga:
Zoning Out, Antara Kebiasaan dan Skala Prioritas
Menjadi menarik buat saya isu topik pilihan kali ini—saya sebenarnya bisa menduga muasal isu ini diangkat berasal dari mana—dan menyoal parkir sembarang ini, saya punya pengalaman yang cukup menjengkelkan.
—
Saya pribadi bukan tipikal orang yang mau merecoki urusan orang; prinsip saya jelas: selama tidak ada urusannya dengan saya atau masih bisa saya tolerir, saya mah bodo amat—
termasuk 'ngurusin' siapa-siapa saja dari tetangga komplek rumah saya yang punya mobil (baca: sekalipun tidak semua dari mereka punya garasi atau sekadar carport dan memilih parkir sembarangan di bahu jalan, saya sih oke-oke saja).
Tapi, pernah satu ketika, saat sore hari pulang kerja, saya mendapati mobil tetangga parkir, tepat di depan pintu pagar rumah—dan itu tanpa permisi!
Kenapa saya tahu tanpa permisi? Karena saya menanyakan langsung pada kedua adik saya yang sudah lebih dulu pulang , apakah si empunya mobil meminta izin dulu sebelum parkir? Keduanya kompak menjawab TIDAK!
Oke, saya tidak mau buru-buru emosi. Saya berusaha berpikir positif, mungkin insiden parkir sembarang tadi karena ada ihwal darurat, kedatangan sanak famili mereka, misalnya.
Karena motor saya tidak bisa masuk, lantas saya pun masuk rumah. Tapi, sebagai bentuk 'protes', sengaja saya parkir motor saya tepat di depan moncong mobil itu.
Baca juga:
Angka Pernikahan Turun: Fenomena "Waithood" dan Melatih Empati terhadap Perempuan
Lepas waktu azan isya (baca: karena berniat hendak memasukkan motor saya ke teras) ternyata mobil tetangga saya itu sudah kembali ke depan rumahnya.Â
Keesokan harinya juga begitu.Â
Oke, saya masih berusaha tetap tenang. Tapi, tak pelak di kepala saya, saya sudah memikirkan bentuk protes lain lanjutan—dan seperti sehari sebelumnya, saya letakkan lagi motor saya tapi kali ini berganti posisi, motor saya letakkan persis di belakang mobil si tetangga. Saya pun masuk rumah.
Di hari ketiga, dengan rasa kesal yang sudah di ubun-ubun, akhirnya saya sengaja mencetak tulisan: JANGAN PARKIR MOBIL DI DEPAN PAGAR; huruf kapital semua dengan ukuran font yang cukup dikatakan besar pula—
karena apa? Karena masih ada mobil si tetangga di depan rumah pada hari ketiga.
Rencananya (baca: meski akhirnya saya urungkan) saya akan menempelkannya di dinding pagar rumah jika mobil si tetangga berlalu dari situ (setelah lebih dulu akan saya vinil keras di tempat fotokopi agar tidak mudah basah).
Saya tidak peduli si tetangga yang punya mobil membacanya. Saya akan menyanggah pembenarannya jika mereka tetap ngotot. Saya punya alasan kuat untuk menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak bertanggung jawab; mereka yang punya aset, kok saya yang disuruh 'ngalah'.
Jangan kira orang yang sangat irit bicara seperti saya, ngga bisa 'nyelekit'.
Pikirkan dulu di mana tempat parkirnya, baru beli mobilnya.
Sudah jadi pemandangan yang lumrah jika melihat mobil parkir sembarangan, apalagi di komplek-komplek perumahan.
Entah karena memang digunakan untuk mobilitas, atau sekadar sebagai bentuk status, mobil-mobil ini dibeli yang sayangnya acapkali tanpa sepaket dengan memikirkan di mana mobil itu akan diparkir, terutama saat malam.
Padahal dengan memastikan adanya garasi atau tempat untuk memarkirkan kendaraan pribadi, kita secara langsung ikut pula memastikan jika kita tidak merampas fasilitas di ruang-ruang publik;
membuat kita menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas aset yang kita punya.
Tapi, apakah itu terpikirkan oleh keseluruhan orang yang akan atau telah memiliki mobil?
OH, TENTU TIDAK!
Indonesia BUKAN Jepang.
Ada seribu alasan mengapa saya menyukai Jepang; bertahun-tahun saya dibuat kagum. Biarpun banyak orang nyinyir terhadap Jepang salah satunya dengan menyebut Jepang sebagai negara 'robot' yang cenderung statis (baca: karena terlalu manut terhadap aturan yang dibuat) tak menyurutkan minat saya mempelajari budaya dan masyarakat dari negara itu—meski bagi sebagian orang masih dianggap (tergolong) biasa-biasa saja.
Baca juga:
Digdaya Bahasa Jepang Bagi Pekerja Asing
Tetapi saya tak bisa menampik bahwa oleh karena pola keteraturan dan atau juga patuhnya mereka (baca: masyarakat Jepang) menaati aturan lah, saya menyukai Jepang;
ini tentang bagaimana keteraturan dan menaati aturan yang dikerjakan secara kolektif oleh masyarakatnya yang membuat Jepang memiliki value di mata dunia.
Jepang dan aturan Shako-shoumei.
Masyarakat Jepang bisa dikatakan sebagai yang ahlinya dalam menaati aturan yang telah dibuat, baik oleh society atau pemerintah, termasuk pula menyoal keinginan memiliki mobil pribadi.
Masyarakat Jepang DILARANG membeli mobil pribadi jika tidak memiliki sertifikat Shako-shoumei atau sertifikat kepemilikan garasi.
Sertifikat ini hanya bisa diperoleh di kantor kepolisian dan sesuai peruntukkannya ia hanya bisa keluar dengan catatan si pemohon Shako-shoumei HARUS sudah memiliki garasi terlebih dahulu.
Tetapi, ada sedikit keringanan bagi yang tidak memilikinya yakni dengan menyewa tempat untuk dijadikan garasi (baca: di Jepang tempat-tempat penyewaan garasi berbayar seperti ini sudah lazim); shako-shoumei memiliki masa kedaluwarsa, umumnya berlaku selama satu bulan.
Baca juga:
Kasih Ibu dalam Kasus Femisida Dini Sera
Penerapan Shako-shoumei yang ketat tidak berhenti sampai di situ, nantinya si pemohon shako-shoumei juga WAJIB menyertakan (mendaftarkan) peta lokasi parkirnya yang nantinya diarahkan melalui Google Maps untuk kemudian petugas dari kepolisian datang untuk mengeceknya secara langsung. Ini dilakukan untuk memastikan kesesuaian lokasi hingga persyaratan ukuran tempat parkir sebagaimana sesuai yang tercantum.
Tujuan utama shako-shoumei diberlakukan secara serius sejak tahun 1962 ini untuk MELARANG keras parkir sepanjang malam termasuk di jalan-jalan komplek perumahan.
Seperti diketahui bersama, banyaknya parkir liar di fasilitas umum seperti bahu jalan jelas akan mengganggu lalu lintas kendaraan lain dan untuk mengantisipasinya diperlukan sanksi;Â
ini sesuai dengan kultur budaya Jepang yang menginginkan keteraturan hampir di segala bidang.
Jepang dan aturan parkirnya yang mahal.
Jarang ditemui jalan-jalan di Jepang semrawut, karena selain moda transportasinya yang diperhatikan secara serius oleh pemerintahnya (baca: sebagai angkutan sehari-hari masyarakatnya), ternyata 'ongkos' yang mahal untuk kepemilikan kendaraan pribadi juga menjadi penyebabnya, salah satunya untuk urusan parkir.
Sekadar info, tarif parkir kendaraan di Jepang memang bisa saja berbeda-beda tergantung jenis tempatnya, baik itu lahan terbuka, basement, hingga parkir gedung. Tarif per menitnya saja mahal apalagi jika tarif tersebut berlaku 24 jam. Tak heran sewa bulanan parkir (baca: sewa garasi) jadi pilihan. Â
Seperti di kota Tokyo, misalnya, kisaran harga sewa parkir bulanan untuk kendaraan roda empat seperti mobil pribadi pada tahun 2022 antara 70 ribu-100 ribu yen per bulan—yang jika dirupiahkan berkisar 8-11 juta rupiah. Biaya sewa ini bisa jauh lebih mahal di bangunan-bangunan mewah, yakni mencapai 170 ribu yen atau sekitar 19,7 juta rupiah untuk sewa per bulan.
Secara umum, tempat parkir di Jepang buka 24 jam dan bersifat self-service dan kendaraan yang diparkirkan akan didukung dengan sistem pengunci serta kamera pengawas selama 24 jam.
Dengan diberlakukannya Shako-shoumei di Jepang, banyak dampak positif yang terjadi seperti telah banyaknya permintaan untuk parkir sewaan di dekat rumah, hingga kian berkembangnya fasilitas transportasi umum dari tahun ke tahun—yang tentu saja juga membantu mendorong rendahnya kepemilikan mobil di Jepang, terutama di daerah perkotaan.
Diterapkan di Indonesia, mungkinkah?
Aturan semacam Shako-shoumei seperti di Jepang sebenarnya sudah diterapkan di beberapa kota di Indonesia seperti Depok dan Jakarta—meski serupa tapi tak sama.
Di Jakarta, misalnya, aturan kepemilikan garasi tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi pada Pasal 140 ayat 1 hingga 4.
Pertanyaannya, apakah aturan semacam Shako-shoumei ini bisa diterapkan di Indonesia secara keseluruhan?
Jawaban saya tentu saja BISA—asalkan ada NIAT.
Langkah ini dirasa sangat perlu untuk mengembalikan fungsi dari fasilitas di ruang-ruang publik pada tempatnya.
Tak hanya itu, jika penerapan Shako-shoumei ala Jepang ini diberlakukan di Indonesia, selain Indonesia bisa menekan laju pembelian mobil pribadi masyarakatnya, ini juga bisa bersifat MEMAKSA pemerintah untuk membenahi moda-moda transportasi umum untuk angkutan massal rakyatnya.
—
Pada akhirnya, parkir sembarang tak lain lahir dari sikap permisif dari orang Indonesia itu sendiri (baca: yang apa-apa membolehkan segala sesuatu dan terkesan lumrah saja)Â yang bahkan terkadang tanpa peduli sudah mengabaikan hak orang lain.
Semoga para tetangga (termasuk para tetangga komplek rumah saya) yang punya mobil pribadi tapi masih parkir sembarang tidak memakai gas tiga kilogram di dapurnya untuk memasak, kalau masih pakai itu, apa kata dunia?!
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H