Suatu ketika saya pernah mendengar percakapan antara adik bungsu perempuan saya dan Bapak saat keduanya menonton tv.Â
Pemantiknya tidak terlalu jelas apa, yang jelas keduanya membahas seandainya saja saat Ibu kami melahirkan adik saya itu dengan kepayahan dan di antara hidup dan mati—dan jika harus dengan berat hati memilih, Bapak akan memilih siapa di antara keduanya?Â
Bapak menjawab Bapak akan memilih Ibu ketimbang dirinya. Karena Bapak beralasan anak-anak pada akhirnya akan meninggalkan orang tuanya sedangkan Ibu adalah temannya menua sampai akhir hayat.
Alasan logis yang mungkin saja hanya akan keluar dari setiap otak pria bukan?Â
Berkebalikan dengan hati para Ibu, sejak purbakala jika berada pada momen yang sama, para Ibu pasti akan merelakan nyawanya demi anaknya; ia lebih memilih anaknya yang hidup.
Serupa tapi tak sama, mungkin perasaan kasihnya sebagai Ibu jualah yang membuat Meirizka Widjaja nekat mengatur strategi untuk melepaskan Ronald Tannur, anaknya, dari jerat dakwaan.Â
Kasih sayang Ibu adalah MADU namun juga bisa berubah menjadi RACUN.
Kasih sayang yang salah kaprah justru akan merusak anak; dengan dalih sayang anak, Meirizka lupa jika anaknya telah menghilangkan nyawa Dini Sera.
Dengan dalih kasih ibu, Meirizka lupa kalau nyawa perempuan yang hilang di tangan anaknya adalah juga seorang ibu.
Meirizka tampaknya juga lupa, jika anaknya adalah manusia dewasa yang memiliki akal sehat sebelum memukulkan botol ke kepala Dini, yang memiliki akal sehat sebelum melindas tubuh Dini dengan mobil—dan punya nurani untuk segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan alih-alih membawanya ke apartemennya terlebih dahulu sehingga membuat terlambat mendapatkan pertolongan medis.Â
Tapi, ke mana perginya akal sehat dan nurani Ronald Tannur saat itu?Â