Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Zoning Out, Antara Kebiasaan dan Skala Prioritas

5 November 2024   14:59 Diperbarui: 5 November 2024   16:35 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang membaca buku. (Source: Freepik from Pinterest)

Menulis dan membaca adalah kausalitas. 

Siapa saja yang berani dengan lantang menyebut dirinya pegiat aksara lengkap dengan segala penyebutan "label" yang menyertainya seperti sebagai seorang penulis, blogger, copywriter, scriptwriter, dlsbnya, mustahil bukan seorang pembaca yang tekun.

Bagi mereka, membaca adalah KEHARUSAN—jika tidak ingin dikatakan sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditawar.

Setali tiga uang dengan teman pegiat aksara yang lain, pun saya demikian.

Di antara terjangan rutinitas sehari-hari, bagi saya, membaca adalah bentuk lain dari cara saya melarikan diri; 

meski tidak ada jaminan pikiran saya akan "happy ending" setelah menyelesaikan aktivitas membaca (jujur saya acapkali tak sadar misuh-misuh setelah membaca berita di kanal-kanal berita hanya karena membaca judulnya; atau sekadar membaca sesuatu yang menjadi viral di media sosial yang sengaja saya intip), tapi saya secara sadar paham itu bagian dari konsekuensi yang kadangkala tak mungkin bisa dielakkan.

Membaca dan identitas bangsa.

Kita tidak perlu membantah bahwa membaca MEMANG belum menjadi bagian dari keseharian sebagian besar orang Indonesia; bukan—belum menjadi—identitas kita. Tak heran tingkat literasi masyarakat Indonesia masih dikatakan rendah. 

Jadi rasa-rasanya tak perlu marah seandainya kita disebut negara dengan sumbu pendek dan mudah diadu domba karena keterbatasan wawasan pengetahuan yang kita miliki.

Orang-orang Indonesia—kita—masih kental dengan identitas yang hanya pandai bicara. Tengoklah kalau sudah bertemu kerabat atau teman, kita akan betah berlama-lama ngobrol ngalur ngidul—atau sekadar bergosip?!

Sementara membaca?

Sila tanya pada diri sendiri.

Saya berkeyakinan, semakin banyak seseorang membaca maka semakin pula ia memilih kalimat yang keluar dari mulutnya; ia hanya akan bicara pada sesuatu yang ia anggap perlu dan penting. Ini tak semata-mata ia seorang introvert. 

Apa kita boleh berharap ada orang Indonesia bisa menembus Nobel Sastra? 

Hm...mungkin saja bisa, itu bisa dimulai dari kebiasaan membaca rakyatnya?!

Baca juga:

Han Kang yang Istimewa Peraih Nobel Sastra, Mendobrak Dunia dan Patriarki Korea

—

Kita masih berkutat pada narasi bagaimana kita masih tertatih-tatih membangun kebiasaan membaca—kita belum pada seberapa banyak buku yang sanggup dibaca. Padahal di antara gempuran arus informasi yang tampaknya kian tidak sehat, membaca buku—selalu—bisa menawarkan alternatif lain.

Ilustrasi lembaran pada sebuah buku. (Foto oleh Caio | Source Pexels.com) 
Ilustrasi lembaran pada sebuah buku. (Foto oleh Caio | Source Pexels.com) 

Hingga sekarang berdasarkan berbagai riset, negara Amerika Serikat masih memuncaki rekor membaca buku tertinggi di dunia dengan rata-rata durasi membaca buku tiap masyarakatnya sebanyak 257 jam dalam setahun dengan rata-rata 17 buku dalam kurun waktu yang sama. 

Secara statistik—jika dihitung dengan kalkulasi yang sama—mungkin saya boleh melampaui Amerika, tapi tidak dengan jumlah buku yang dibaca; untuk yang ini, saya masih bisa dikatakan payah. 

Saya sendiri menyoal membaca buku, tidak ada aturan baku perihal tebal-tipisnya sebuah buku, genrenya seperti apa, fiksi atau bukan apalagi sampai merepotkan diri hanya karena mempermasalahkan itu buku lawas atau keluaran terbaru; 

selama buku itu menggoda saya, maka pada buku itu pula hati saya tertambat.

Baca juga:

Beberapa Diskursus di Antara Para Pembaca Buku

Zoning out itu biasa. 

Adalah sebuah kebohongan besar jika saya tidak pernah mengalami zoning out saat membaca.

Zoning out—secara ringkas saja—dapat diartikan sebagai hilangnya fokus dari sesuatu yang dibaca, contohnya buku; dan saya kerap juga mengalaminya.

Tapi, saya tidak menganggapnya sebagai kejadian luar biasa.

Di antara sederetan faktor penyebabnya dari a-z, saya berpendapat, zoning out boleh jadi memang bagian dari cara kerja otak manusia, setidaknya bagi saya secara pribadi—dan tiap orang tentu saja punya rentang fokus yang berbeda, termasuk dalam membaca buku.

Saya tipikal orang yang fokus saat membaca buku. Saat membaca buku, otak saya bekerja: membuat mind mapping, membangun deskripsi di kepala, atau mempertanyakan sebab-akibat.

Alur ini alamiah dengan sendirinya terjadi pada saya dan sudah menjadi kebiasaan—bahkan jauh sebelum saya menjadi seorang scriptwriter atau produser radio dulu. 

Teknik pointer tak lepas dari diri saya.

Zoning out dan skala prioritas. 

Zoning out dan tenggelam pada buku yang dibaca tentu tidak masalah—zoning out akan menjadi masalah jika fokus saya tercuri untuk hal-hal yang di luar dari itu.

Mengurutkan skala prioritas menjadi penting untuk mengantisipasi zoning out saat membaca. (Foto oleh Breakingpic | Source Pexels.com) 
Mengurutkan skala prioritas menjadi penting untuk mengantisipasi zoning out saat membaca. (Foto oleh Breakingpic | Source Pexels.com) 

Sebenarnya saya tidak punya resep jitu bagaimana mempertahankan fokus yang panjang saat membaca buku, namun ini akan menjadi penting bagi saya jika saya ingin mengambil manfaat dari buku yang saya baca.

Satu satuan waktu mutlak.

Mungkin terdengar asing bagi orang lain, tapi tidak bagi aturan yang sudah saya buat.

Satu jam adalah waktu yang saya tentukan untuk membaca buku dalam sehari. Pembagian waktunya sendiri tidak saya buat kaku. Tapi, setiap pagi saya melahap isi buku dalam kurun waktu kurang dari setengah jam; seringnya 15-20 menit. Sisanya tentative.

Berapa pun halaman yang didapat dari durasi yang telah saya tetapkan itu, tidak akan saya permasalahkan. Lagipula tiap buku memiliki tingkat kesulitannya masing-masing untuk dicerna.

Namun, karena sadar saya tidak ingin terdistraksi saat membaca, ada satu aturan main yang tidak boleh saya langgar sebelum memulai membaca yakni saya harus memastikan bahwa saya telah memprioritaskan segala sesuatu yang berpotensi menganggu rentang fokus saya;

dengan kata lain, jika ada satu pekerjaan yang memang butuh untuk diselesaikan maka saya akan memilih untuk menuntaskan itu terlebih dahulu.

Hanya saja, di atas segalanya, sebelum membaca saya harus secara sadar penuh menyadari bahwa saya akan melakoni kata kerja "membaca" dalam waktu yang saya tetapkan tadi. 

Pikiran saya harus disiplin—segala hal lain tidak diperkenankan lagi.

Make it fun

Saya tidak akan membahas seberapa penting membaca buku atau manfaat apa yang bisa diperoleh setelah melakukannya, semua orang akan dengan mudah mencarinya di mesin pencarian internet. 

Tapi, sewaktu membaca buku, saya akan berusaha menjaga mood saya terjaga. Maka saya akan membuatnya menyenangkan. 

Salah satunya dengan menyediakan sticky notes transparan untuk saya rekatkan di atas kalimat pada buku untuk menandai bagian-bagian yang menarik perhatian saya, yang memerlukan pemahaman lebih, atau yang memang artinya tidak saya mengerti sama sekali. 

Jika sticky notes kebetulan habis, saya cukup menggunakan notes kecil dan menuliskannya. 

Namun, saya tidak boleh keluar dari waktu yang saya tetapkan. Ini penting agar fokus saya terjaga—dan menghindari pikiran saya kemana-mana. 

—

Zoning out sejatinya bukan masalah bagi saya selama saya paham bagaimana mengantisipasinya; 

membaca adalah bentuk tanggung jawab saya atas kebiasaan—dan mengurutkan skala prioritas salah satu caranya. 

Tabik. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun