Han Kang menjadi perempuan peraih Nobel Sastra ke-18 setelah Annie Ernaux—sastrawan perempuan asal Prancis—yang memenangkannya dua tahun lalu.
Namun, Han Kang enggan menikmati euforia kemenangannya itu—karena sisi humanisnya sebagai manusia—ia justru 'tenggelam' dengan menunjukkan empatinya terhadap korban perang (genosida) di Palestina.
—
Nobel sendiri adalah penghargaan bergengsi. Nobel diumumkan dibulan Oktober setiap tahunnya yang penyerahannya akan dilakukan pada bulan Desember, untuk mengenang wafatnya sosok Alfred Nobel, seorang ilmuan, pebisnis sekaligus pengusaha; ia penemu dinamit yang mahir pula menulis puisi dan drama.Â
Dilansir dari situs Nobel Prize, penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Nobel (yang berpusat di Swedia) karena ini merupakan penghargaan tertinggi dan dapat diraih oleh individu (perorangan, dua orang atau tiga orang untuk satu penghargaan nobel pada tiap kategori).Â
Merujuk pada wasiat terakhirnya, Alfred Nobel akan memberikan seluruh hartanya pada mereka yang telah berkontribusi besar dengan memberikan kebermanfaatan bagi dunia;Â
penghargaan nobel dibagi menjadi lima kategori: fisika, kimia, fisiologi dan kedokteran, sastra dan perdamaian.Â
Melalui laman Goodstats tertanggal 11 Juli 2024, menurut Wisevoter, Amerika masih menjadi negara dengan individu yang paling banyak membukukan nobel sepanjang sejarah yakni sebanyak 400 orang, disusul Inggris sebanyak 137 orang dan Jerman di posisi ketiga dengan sebanyak 111 orang—salah satu di antaranya adalah The Most Important People of Century, Albert Einstein.Â
Han Kang yang istimewa
Baik Han Kang atau Annie Ernaux, keduanya memilih menjadi penulis sebagai 'cara' untuk mengungkap secara jujur berbagai isu dan pengalaman perempuan dalam melalui pahit getirnya kehidupan di tengah-tengah masyarakat.Â
Namun, Han Kang menjadi istimewa karena ia adalah perempuan Asia pertama yang menerima Nobel.
Apa yang ditorehkan Han Kang pun menjadi terlihat sangat prestius.
—
Di negaranya, Korea Selatan, Han Kang menjadi orang kedua yang menerima penghargaan nobel setelah mantan presiden Kim Dae Jung menerima penghargaan yang sama untuk kategori perdamaian pada tahun 2000.
Sepanjang penganugerahan nobel sastra hingga tahun 2024 ini, Prancis masih tercatat sebagai negara yang paling banyak meraihnya dengan 16 peraih.Â
Pencapaian Han Kang ini pula (pun juga Annie Ernaux) sekaligus menjadi bukti konkret tak terbantahkan bahwa penghargaan nobel sudah seharusnya mengubah 'cara pandang' penilaian dengan memberikan porsi lebih terhadap sastrawan perempuan;Â
sastra dalam penghargaan nobel masih terlalu maskulin—ia tak ada ubahnya dengan sastra di panggung dunia.
Namun—sekali lagi—Han Kang menjadi istimewa karena ia adalah penulis yang mematahkan dominasi penerima nobel sastra yang sejak dulu berpusat dari Eropa dan Amerika.Â
Baca juga:
Kompasiana Award 2024: Ucapan Terima Kasih Saat Pelantikan Nakhoda Baru Indonesia
Disari dari berbagai sumber, dalam rentang waktu sejak 1901, Yayasan Nobel telah menganugerahkan ratusan nobel sastra, namun—seperti yang disinggung di awal—baru 18 perempuan yang meraihnya.
Han Kang dan karya-karyanya yang menyoroti isu ketimpangan gender
Melalui karya-karya yang dituliskannya—siapapun yang sudah pernah membacanya akan sepakat—Han Kang kerap kali menyoroti berbagai norma-norma masyarakat yang ada di negaranya, Korea Selatan—
tentang bagaimana perempuan ditempatkan pada relasi kuasa yang tumpang tindih, yang lebih banyak dipaksa 'tunduk' hanya karena dia perempuan, yang tidak memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri—yang hidupnya (perempuan) seolah digariskan di tangan laki-laki dalam sistem kerangka budaya patriarki.Â
Salah satunya tergambar jelas dalam bukunya yang berjudul The Vegetarian (2007 terbit dalam bahasa Korea) yang oleh penerbit Baca, dialihbahasakan ke bahasa Indonesia pada tahun 2017.
Melalui karyanya ini, Han Kang—yang tanpa ditutup-tutupi—piawai menerjemahkan kritik melalui trauma sang protagonis yang dinarasikan begitu rupa, bahwa penggambaran rasa 'sakit' sebagai perempuan itu nyata.Â
Dari sini saya bisa mengambil simpulan bahwa seseorang tak perlu ujug-ujug mendeklarasikan diri sebagai seorang Feminis untuk menyuarakan ketimpangan gender pada sistem yang terjadi di masyarakat.
—
Karya-karya sastra yang menyoroti ketimpangan gender terutama yang menyoal isu-isu feminisme sudah banyak lahir dari penulis-penulis kenamaan.Â
Saya sendiri menuntaskan buku Perempuan di Titik Nol yang ditulis Nawal El Sadawi—yang pada akhirnya berhasil menggali sisi emosional terdalam diri saya sebagai perempuan; Nawal berhasil membuat saya benar-benar marah dan frustrasi setelahnya.Â
Saya juga menyukai novel-novel dari penulis Jepang—bukan karena memang saya adalah seseorang yang menyukai beberapa hal berbau Jepang, meski enggan disebut wibu.
Baca juga:
Naik Kereta untuk Kali Pertama dan Belum Pernah Lagi Setelahnya
Satu di antaranya, saya memiliki buku kumpulan cerpen Matsuda Aoko dalam Where The Wild  Ladies Are —yang tak ubahnya seperti Han Kang—yang secara garis besar memperlihatkan bagaimana patriarki juga mengakar kuat dalam budaya Jepang. Di dalam negeri, kita punya Okky Madasari, penulis yang juga saya ikuti akun X-nya, dan lain sebagainya.Â
Han Kang dan Antifeminisme di negaranya
Korea Selatan memiliki catatan jelek yang mendunia menyoal kesetaraan gender dan kian mendunia setelah kian maraknya berbagai aksi penolakan terhadap feminisme.
Antifeminisme memang bukan barang baru di Korea Selatan. Feminisme dipandang sebagai sesuatu yang membawa pengaruh buruk terutama bagi kalangan laki-laki;Â
para laki-laki Korea Selatan menilai feminisme sudah tidak berada dalam kerangka memperjuangkan kesetaraan gender lagi.Â
Mereka menilai feminisme telah mengambil porsi lebih dari yang seharusnya, gerakan para feminis dianggap terlalu menuntut lebih dan lebih di banyak aspek yang justru dinilai merugikan peran mereka di masyarakat.Â
Seperti yang baru-baru ini terjadi sebagai bentuk 'kampanye'Â nyata antifeminisme, sekelompok laki-laki menduduki kursi ibu hamil di ruang publik dan transportasi umum dan membagikan gambarnya ke jagat media sosial.
Tindakan ini pun viral dan menuai berbagai reaksi beberapa kalangan. Ada yang mendukung tindakan mereka, tapi tentu saja tak sedikit yang mengecam karena dinilai tidak sensitif terhadap permasalahan yang sebenarnya yakni isu lintas gender yang timpang—alih-alih malah mengorbankan ibu hamil dengan mengatasnamakan alasan bahwa laki-laki pun perlu didengar suaranya—yang oleh mereka dinarasikan dengan perubahan dan perbaikan kehidupan yang diperoleh perempuan sangat merugikan laki-laki, cenderung membuat mereka (para laki-laki Korea Selatan) frustrasi dan bahkan bunuh diri.
Menyoal bunuh diri pada laki-laki, negara Korea Selatan memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yang oleh anggota Dewan Kota Seoul, Kim Ki-duck, dikatakan hal itu terjadi karena peran perempuan di Korea sudah terlalu mendominasi.
Meskipun Kim Ki-duck telah memberikan klarifikasi bahwa apa yang diucapkannya adalah murni pendapatnya sebagai individu tapi tetap saja apa yang diucapkannya tidak mampu mengaburkan kenyataan bahwa pemerintah Korea Selatan pun masih jauh panggang dari api untuk menyelesaikan berbagai ketimpangan gender yang menimpa banyak perempuan di sana.Â
Klimaks dari tekanan itu membuat para perempuan di Korea Selatan memilih 'melawan'—memilih untuk mengedukasi diri agar menambah kualitas diri mereka. Edukasi-edukasi itu salah satunya membaca buku termasuk buku-buku yang mengangkat isu-isu gender, terutama yang memposisikan ketidakadilan yang menimpa perempuan.Â
Betapa dahsyatnya kekuatan sebuah buku bacaan yang mampu menimbulkan gelombang protes besar-besaran.
—
Dengan perilaku para laki-laki Korea Selatan yang cenderung misogini, tak heran para perempuan di Korea Selatan bertindak demikian;Â
alih-alih mengoreksi sistem di masyarakat yang "mengeksploitasi" perempuan, alangkah lebih baik jika melihat perempuan sebagai manusia utuh yang SAMA kedudukannya dengan laki-laki di berbagai aspek kehidupan seperti memperoleh pendidikan yang setara, kesempatan kerja (dengan upah kerja yang layak tanpa memandang status gender atau jenis kelamin, mengerjakan kerja-kerja domestik rumah tangga bersamaan, menerapkan kerja sama dalam pengasuhan, tidak manipulatif, dan lain sebagainya.
—
Han Kang hanyalah satu di antara mereka yang secara sadar menyuarakan ketidakadilan dari perspektif perempuan;
mewakili mereka yang suaranya nyaris lindap tertindas kenyataan yang dianggap pembenaran di masyarakat.Â
Purna juga utang tulisan singkat saya menyoal nobel sastra ini. Saya merasa perlu untuk menuliskannya sebagai bentuk apresiasi tertinggi saya bagi siapapun yang berdiri membela hak-hak perempuan.Â
Selamat Han Kang.
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H