—
Di negaranya, Korea Selatan, Han Kang menjadi orang kedua yang menerima penghargaan nobel setelah mantan presiden Kim Dae Jung menerima penghargaan yang sama untuk kategori perdamaian pada tahun 2000.
Sepanjang penganugerahan nobel sastra hingga tahun 2024 ini, Prancis masih tercatat sebagai negara yang paling banyak meraihnya dengan 16 peraih.Â
Pencapaian Han Kang ini pula (pun juga Annie Ernaux) sekaligus menjadi bukti konkret tak terbantahkan bahwa penghargaan nobel sudah seharusnya mengubah 'cara pandang' penilaian dengan memberikan porsi lebih terhadap sastrawan perempuan;Â
sastra dalam penghargaan nobel masih terlalu maskulin—ia tak ada ubahnya dengan sastra di panggung dunia.
Namun—sekali lagi—Han Kang menjadi istimewa karena ia adalah penulis yang mematahkan dominasi penerima nobel sastra yang sejak dulu berpusat dari Eropa dan Amerika.Â
Baca juga:
Kompasiana Award 2024: Ucapan Terima Kasih Saat Pelantikan Nakhoda Baru Indonesia
Disari dari berbagai sumber, dalam rentang waktu sejak 1901, Yayasan Nobel telah menganugerahkan ratusan nobel sastra, namun—seperti yang disinggung di awal—baru 18 perempuan yang meraihnya.
Han Kang dan karya-karyanya yang menyoroti isu ketimpangan gender
Melalui karya-karya yang dituliskannya—siapapun yang sudah pernah membacanya akan sepakat—Han Kang kerap kali menyoroti berbagai norma-norma masyarakat yang ada di negaranya, Korea Selatan—
tentang bagaimana perempuan ditempatkan pada relasi kuasa yang tumpang tindih, yang lebih banyak dipaksa 'tunduk' hanya karena dia perempuan, yang tidak memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri—yang hidupnya (perempuan) seolah digariskan di tangan laki-laki dalam sistem kerangka budaya patriarki.Â
Salah satunya tergambar jelas dalam bukunya yang berjudul The Vegetarian (2007 terbit dalam bahasa Korea) yang oleh penerbit Baca, dialihbahasakan ke bahasa Indonesia pada tahun 2017.
Melalui karyanya ini, Han Kang—yang tanpa ditutup-tutupi—piawai menerjemahkan kritik melalui trauma sang protagonis yang dinarasikan begitu rupa, bahwa penggambaran rasa 'sakit' sebagai perempuan itu nyata.Â