Untuk menutupinya, saya sibuk membaca buku Sitta Karina (meskipun saya sadar pencahayaannya tidak bisa dikatakan bagus) sembari mendengarkan musik yang nyaring berbunyi melalui headset di telinga—sementara beberapa rekan saya sudah ada beberapa yang tertidur dan sebagian yang lain mulai terkantuk-kantuk.
Kami harus saling menjaga, begitu aturan mainnya. Kami saling terkoneksi begitu rupa meski tanpa banyak bicara karena sudah kelelahan sepanjang hari. Kami tidak ingin ada barang-barang kami yang hilang. Â
Salah satu dari kami sempat bertanya pada petugas sebelum kereta berangkat, menurut petugas kereta, tidak ada stasiun utama di Martapura, hanya ada stasiun kecil tempat pemberhentian ala kadarnya.
Oleh karena itulah kami tidak boleh kelewatan; kami bukan menuju Lampung.
Sepanjang perjalanan duduk di kursi dengan model yang tidak bisa diatur ketegakannya—yang membuat punggung saya tidak bisa bersandar barang sebentar—saya bertanya-tanya kapan sampainya kereta ini.
Oh, Tuhan, badan saya sudah meronta ingin istirahat.
—
KAI sendiri katanya memang sudah banyak berbenah, bahkan beberapa berita yang berseliweran jauh berubah sejak di bawah Ignasius Jonan sebagai menteri perhubungan. Info ini saya dapat dari X saat peristiwa empat orang yang tertabrak kereta yang menuai viral beberapa waktu lalu.Â
Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak mengenai pengalaman menaiki kereta dengan pengalaman saya menggunakan kereta yang hanya sekali itu. Belum lagi itu dilakukan saat malam hari sehingga tidak banyak pemandangan sepanjang perjalanan yang bisa saya ceritakan.
Di bawah kepemimpinan Direktur Utama KAI, Didiek Hartantyo, harapan saya tidak muluk-muluk, semoga KAI tetap menjadi transportasi publik yang terus berinovasi dan terus bertransformasi untuk lebih baik ke depannya, terutama bagi pengguna setianya.