Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kompasiana Award 2024: Ucapan Terima Kasih Saat Pelantikan Nakhoda Baru Indonesia

20 Oktober 2024   15:04 Diperbarui: 20 Oktober 2024   15:33 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar proses  periode awarding Kompasiana Award 2024 (Source Kompasiana.com)

Saya membuat tulisan ini bertepatan dengan Prabowo Subianto dan Gibran Raka Bumingraka dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan; tulisan yang dimuat bersamaan dengan momentum pelantikan presiden kedelapan Indonesia tentu akan mudah diingat di kolom pencarian profil.

Saya sebenarnya ada utang tulisan membahas secara ringkas mengenai beberapa poin yang saya soroti dari Asta Cita Prabowo sebagai Presiden; sejujurnya saya sudah menyadari topik ini akan membuat pikiran saya lelah. Untungnya, deadline-nya tidak terlalu buru-buru.

Minggu pagi, 20 Oktober 2024—what a day, huh?—setelah beberes rumah sedikit, saya menulis menyoal Asta Cita Prabowo tersebut (saya dan tim, tidak ada job foto Minggu ini. Thank God).

Setelah diiringi dengan lagu-lagu Jepang kesukaan saya sebagai backsound, saya menyelesaikannya saja terlebih dulu; 20% tidak terlalu buruk untuk sesuatu yang bisa saja berpotensi merusak mood saya seharian.

Percayalah mengumpulkan data untuk sebuah tulisan yang berat lagi serius bukan perkara mudah.

—

Selumbari yang lalu, siang menjelang sore ada notifikasi Kompasiana mengenai keterpilihan kandidat Kompasiana Award 2024, seperti kita tahu Kompasiana Award adalah sebuah ajang tahunan bergengsi untuk para Kompasianer. Oh, sudah ada nominatornya ya, pikir saya.

Saya pun coba baca dan saya lumayan kaget saya masuk nominasi kategori Best In Opinion tahun ini.

And again...

Apa-apaan ini, tanya saya. Siapa orang yang menyodorkan nama saya untuk masuk jajaran para nominator?

Tangkapan layar proses  periode awarding Kompasiana Award 2024 (Source Kompasiana.com)
Tangkapan layar proses  periode awarding Kompasiana Award 2024 (Source Kompasiana.com)

Meski saya tidak tahu apa alasan yang melatarbelakangi sesama Kompasianer atau tim redaksi mencalonkan saya, sejujurnya saya masih agak aneh alih-alih dikatakan berat hati menerima pencalonan ini. 

Bukan apa-apa, perjalanan saya menulis di Kompasiana tahun ini tidak bisa dikatakan bagus rekam jejaknya—saya memulainya tepat di momentum Hari Anak Nasional 2024, 23 Juli yang lalu;

satu semester tanpa jejak tulisan apapun—dan memulainya justru nyaris di ujung bulan Juli dan nyaris sebulan setelah satu semester absen. Bahkan tulisan ini menjadi tulisan pertama saya di bulan Oktober karena saya ada deadline lain pula yang mesti saya kerjakan (yang menyebabkan saya terlihat tidak "setor" tulisan di Kompasiana).

Malu? Tentu saja.

Saya rasa banyak Kompasianer lain yang jauh lebih layak—atau mungkin ada beberapa Kompasianer yang kadung nyinyir terhadap saya karena ini.
Sumimasen...

—

Saya penasaran. Jika parameter penilaiannya adalah kuantitas dan kualitas tulisan, saya tidak memegang kuantitas meski kualitas bisa dikatakan tergantung para pembaca dan tim redaksi Kompasiana yang membaca tulisan saya.

Sepanjang tahun ini saya baru membukukan 30 tulisan (sudah termasuk dengan tulisan ini) dengan 25 headline dengan 4 artikel sisanya masuk kategori highlight.

Sementara Kompasianer yang lain mungkin lebih dari itu jumlah tulisannya. Bukankah rekam jejak tulisan adalah bukti konkret?

Bobot dan topik tulisan kah yang jadi acuan?

Secara personal, saya memang tipikal orang yang serius, tapi serumit-rumitnya jalan pikiran saya, saya tidak ingin saya dan para pembaca tulisan saya berjarak meski terkadang pemilihan diksi cukup membuat saya kerepotan.

Hanya saja, saya tidak akan membantah bahwa isu-isu sosial budaya yang ada di masyarakat terutama yang menyoal keseteraan gender adalah konsentrasi saya. Itu juga berangkat dari melihat dan merasakan pengalaman-pengalaman yang tentu saja lebih banyak tidak enaknya dibandingkan happy-nya.

Tangkapan layar vote saya setelah mengalami perubahan dengan gambar yang lebih proper. (Foto oleh Kazena Krista) 
Tangkapan layar vote saya setelah mengalami perubahan dengan gambar yang lebih proper. (Foto oleh Kazena Krista) 

Mungkin tidak semua orang menyukai isu yang saya—atau kita sebagai penulis dengan konsentrasi kita masing-masing—soroti, tapi jika tidak saya ringkas menjadi tulisan justru akan membuat keresahan saya semakin rumit.

Apa yang saya tawarkan sebagai tulisan mungkin hanya dibaca sebagian orang dan itu tidak jadi masalah. Namun, akan menjadi masalah jika saya memilih ruwet dengan pikiran saya tanpa pernah membaginya.

—

Katanya pula, pencalonan ini dinilai dari keaktifan interaksi?

Duh, ini lebih parah lagi?

Saya tidak terlalu aktif menyapa sesama Kompasianer, sangat dikatakan jarang walau sekadar leave comment meskipun saya membaca secara tuntas artikel yang saya kehendaki untuk saya baca.

Saya siap jika ingin dikatakan sombong, biarpun saya tidak ada niat demikian; dalam keseharian pun saya tidak pandai berbasa-basi. Seorang teman pernah bilang saya adalah orang yang hanya bicara pada apa yang saya anggap penting, tapi suka mengamati pada hal-hal yang mungkin luput dari perhatian orang.

Batas di antara menjadi diri sendiri dan tuntutan untuk ramah dalam berkomunikasi terkadang menjadi ganjalan bagi sebagian orang, saya contohnya.

Tapi, sekali saya dimintai pendapat atau memberikan apresiasi, saya bisa menjamin itu sebuah kejujuran dari hati. Saya katakan bagus karena bagus adanya. Saya katakan jelek demikian juga adanya. Hitam-putihnya jelas.

Karena saya demikian, vice versa pun tidak masalah.

Saya beranggapan jika saya punya opini, orang lain pun bebas berpendapat.

—

Selama proses voting, saya sudah memberikan vote 3 dari 5 kategori yang tersedia. Untuk kategori Best in Opinion, saya ada pilihan sendiri. Tentu saja BUKAN saya yang saya pilih.

Menjadi jujur terhadap diri sendiri adalah bentuk menyayangi diri sendiri.

Tulisan ini mungkin agak panjang, sekalipun tidak dibaca oleh orang lain, ini akan menjadi pengingat bagi diri sendiri bahwa saya ada di garis yang sama tiga tahun lalu sebagai nominator untuk kategori yang sama pula.

Terima kasih untuk sesama Kompasianer yang mencalonkan saya (entah karena khilaf atau ada alasan personal lain yang mengiringinya), terima kasih juga tim redaksi Kompasiana atas kepercayaannya.

Siapapun yang menang adalah yang terbaik, pencapaian yang dinilai bukankah—sekali lagi—rekam jejak proses menulis?

Nama besar dan pamor untuk dikenal orang memang tampak hebat tapi tanggung jawab di balik itu ada harga yang harus dibayar.

Setelah insiden salah penulisan nama sebelumnya pada kolom vote (dan telah saya konfirmasi pada pihak redaksi), here i am and choose yours well. 

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun