Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Vasektomi: di Antara Keberpihakan terhadap Perempuan dan Ego Laki-Laki

23 September 2024   06:30 Diperbarui: 23 September 2024   14:29 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kondom sebagai salah alat kontrasepsi bagi laki-laki. (Foto oleh Nataliya Vaitkevich | Sumber Pexels.com) 

Mengapa jantan atau tidaknya seorang laki-laki masih dominan diukur dari keberhasilannya membuahi seorang perempuan?

Jika ingin berpikir secara akal sehat, hook di atas—meski sulit untuk dibantah—justru merendahkan perempuan.

Saya pribadi, entah sudah tak berbilang lagi sering sebal jika ada narasi-narasi sumbang perihal perempuan yang direndahkan lewat kata-kata—baik secara terang-terangan atau bersembunyi dibalik narasi terpelajar—ataupun melalui tindakan. 

Harus diakui bahwa konstruksi budaya secara kolektif mengambil peranan penting (meski tanpa disadari) dan ia digdaya membentuk pola pikir individu di masyarakat sehingga anggapan perempuan mutlak harus "tunduk" di bawah kuasa laki-laki menjadi sebuah kewajaran yang sengaja dibiarkan; 

untuk itulah feminisme hadir.

Baca juga:

Praktik Eufemisme yang Tak Lekang Oleh Masa dan Kita Memakluminya

Feminisme—sejauh yang bisa saya pahami—adalah gerakan yang berangkat dari berbagai pengalaman perempuan; ia ada sebagai pendobrak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan untuk setara dari hal-hal yang merugikan di banyak aspek kehidupan. 

Pernikahan dengan relasi setara.

Hubungan ideal antar laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami-istri seharusnya adalah berbicara tentang relasi yang sejajar (tidak timpang); praktiknya diisi dengan dialog (komunikasi) sehat secara sadar demi konsen bersama (kesepakatan) tanpa embel-embel manipulatif.

Di atas adalah relasi setara pasangan suami-istri versi saya.

Makanya saya merasa tidak muluk-muluk—alih-alih disebut vokal—mengatakan kalau acuan keputusan seseorang menikah itu haruslah dilandasi tiga hal yakni secara seksual, mental, finansial;

dan sehat secara mental adalah yang paling sulit, bahkan terkadang tidak peduli sudah seberapa banyak seseorang itu terliterasi. 

Baca juga:

Beberapa Diskursus di Antara Para Pembaca Buku

Karena ia berbicara tentang bagaimana seseorang belajar mengelola ego (keakuan) terhadap pasangan yang juga kelak berimbas pula terhadap keluarganya.

Namun, kenyataannya tentu jauh panggang dari api; tidak perlu harus menjadi seorang feminis seperti saya untuk sepakat akan hal ini.

Kontrasepsi dan laki-laki.

Dari serangkaian hal yang merugikan perempuan tersebut salah satunya adalah penggunaan alat kontrasepsi demi mencegah kehamilan (yang tidak direncanakan?) dalam sebuah hubungan pernikahan.

Faktanya penggunaan alat kontrasepsi justru dominan menyasar perempuan dibandingkan laki-laki. Ia layaknya public image bagi perempuan

bahkan konsultasi pra-nikah—"bab" menyoal memiliki anak dan berapa jumlahnya lebih banyak ditekankan pada perempuan! 

Memang alat kontrasepsi yang ditujukan terhadap laki laki jumlahnya tidak banyak. Kontrasepsi laki-laki hanya dua yakni penggunaan kondom dan vasektomi;

namun jika sepakat pernikahan adalah relasi yang setara maka memiliki anak adalah konsen bersama. 

Itu artinya pengaturan jarak kelahiran atau pencegahan kehamilan tidak hanya dibebankan pada perempuan, laki-laki pun harus ikut bertanggung jawab.

Jika hanya siap punya sedikit anak maka penggunaan kondom bisa jadi opsi utama selain pasangan yang pula ikut menggunakan kontrasepsi (saya rasa, perempuan akan jauh merasa lebih bahagia dan juga aman kalau pasangannya memakai kondom dengan tujuan mencegah kehamilan yang belum atau tidak direncanakan); 

atau jika memang tidak ingin memiliki anak (lagi?) maka vasektomi bisa jadi opsi lain. 

Vasektomi dan ego laki-laki.

Mari berkenalan dengan vasektomi.

Vasektomi adalah tindakan medis terhadap laki-laki dengan cara memotong atau menyumbat saluran sperma dari vas deferens (testis) ke penis sehingga air mani yang keluar saat laki-laki ejakulasi tidak mengandung sel sperma lagi.

Ilustrasi kondom sebagai salah alat kontrasepsi bagi laki-laki. (Foto oleh Nataliya Vaitkevich | Sumber Pexels.com) 
Ilustrasi kondom sebagai salah alat kontrasepsi bagi laki-laki. (Foto oleh Nataliya Vaitkevich | Sumber Pexels.com) 

Prosedur medis ini menurut kajian ilmiah sangat efektif mencegah kehamilan 99% dibandingkan penggunaan kondom.

Data World Contraceptive User vasektomi di Indonesia tak lebih 1% dari kurun waktu 1973-2018 sedangkan menurut data terbaru Survei Kesehatan Indonesia hanya 0,2 % pasangan di Indonesia yang bersedia menjalani prosedur vasektomi.

Mindset di masyarakat bisa dikatakan yang menjadi penyebab mengapa vasektomi tidak populer seperti bisa terkena kanker prostat, disfungsi ereksi dan ejakulasi dini. Padahal semuanya tidak benar. 

Disari dari website BKKBN, vasektomi justru tidak menganggu hormon laki-laki sehingga tidak akan menurunkan gairah seks dan kemampuan orgasme (ereksi) pada laki-laki. 

Ini (baca: penggunaan kontrasepsi) justru bertolak belakang dengan perempuan (gangguan hormon atau malah mengganggu siklus haid). 

Namun, meskipun demikian, ada satu hal yang agak tidak mengenakkan, vasektomi bukan sembarang kontrasepsi, vasektomi yang diperkenalkan sejak tahun 1970 tersebut bersifat permanen; 

sekali melakukannya maka mengembalikannya ke keadaan semula sangat kecil (baca: ingin memiliki anak lagi). 

Oleh karenanya sebelum memutuskan melakukan vasektomi haruslah dipikirkan secara matang.

***

Vasektomi—selalu—menimbulkan kontroversi.

Ini juga yang memantik ribut-ribut di linimasa X (Twitter) beberapa hari yang lalu (hook di awal tulisan berangkat dari kontroversi di X). 

Ada satu komentar dari seorang warganet di X (dari nama akunnya ia seorang laki-laki) yang cukup membuat saya prihatin, yang kurang lebih isinya ia tidak setuju dengan penggunaan kontrasepsi apalagi sengaja memandulkan diri demi ego istri karena ia beranggapan laki-laki sejati tidak takut punya anak.

Luar biasa sekali pikir saya, terlepas ia mengetik itu dengan menggebu-gebu atau sengaja pansos demi engagement, yang jelas statement jeleknya bisa saja menggiring opini bagi siapapun orang yang membacanya.

Saya beranggapan, sedikit rasanya perempuan—yang sehat secara seksual dan matang secara psikologis—di dunia ini yang tidak mau punya anak selama pasangannya bisa DIANDALKAN; 

diandalkan di sini tidak hanya finansial tetapi juga membersamai kerja-kerja pengasuhan.

Tetapi, kenyataannya tidak seindah harapan. Bisa kita lihat, tampaknya masih saja dominan perempuan yang "kepayahan" dengan proses ini. 

Lantas mengapa ketika disodorkan vasektomi sebagai cara pencegahan kehamilan malah dianggap mempertanyakan kejantanan? 

Bagi saya, laki-laki yang dipertanyakan kejantanannya itu ketika dia tidak peduli dengan keadaan fisik dan psikologis pasangannya; 

laki-laki yang dipertanyakan kejantanannya itu ketika ia tidak hadir untuk anaknya dengan figurnya sebagai seorang ayah—tak heran Indonesia masuk daftar fatherless dengan kategori tertinggi di dunia; seharusnya persoalan yang masuk ranah sosial-budaya seperti ini masuk dalam janji-janji politik setiap pemilu); 

Baca juga:

Coblos Semua dan Anomali Politik

Baca juga:

Pilkada Serentak 2024: Keterwakilan Perempuan Masih Sebatas Lipstik Politik?

laki-laki yang dipertanyakan kejantanannya itu adalah ketika seorang laki-laki bertindak dan memutuskan segala sesuatu semaunya dibalik labelnya sebagai kepala keluarga. 

Laki-laki yang tidak jantan itu adalah laki-laki yang tidak mampu mengendalikan egonya.

Dan menyoal kontrasepsi, mungkin hanya segelintir laki-laki yang ikut andil—atau sebagian malah tidak pernah bertanya bagaimana pengalaman pasangannya selama menggunakan alat kontrasepsi (alat KB) hanya karena (konstruksi budaya) merasa penggunaan KB itu memang tugas perempuan! 

Ilustrasi hubungan yang ideal dalam sebuah pernikahan adalah hubungan yang setara. (Foto oleh Vanessa Garcia | Sumber Pexels.com) 
Ilustrasi hubungan yang ideal dalam sebuah pernikahan adalah hubungan yang setara. (Foto oleh Vanessa Garcia | Sumber Pexels.com) 

Boro-boro vasektomi, memakai kondom saja ogah hanya karena anggapan tidak "enak"; semua semata-mata demi kesenangan diri sendiri. 

Paradoks bagi perempuan. 

Belum selesai dengan pertentangannya di antara kaum manusia yang katanya mengedepankan logika, keraguan lain muncul dari perempuan itu sendiri. 

Perempuan tidak ingin pasangannya vasektomi karena takut pasangannya selingkuh tanpa ketahuan sehingga pada akhirnya penggunaan kontrasepsi "ditelan sendiri". 

Bagaimana jika dilihat dari sisi yang lain: vasektomi bisa jadi parameter untuk menguji kesetiaan seorang laki-laki hanya pada satu pasangan saja—meski tidak sampai ke situ cara berpikirnya. 

Vasektomi mungkin bisa mencegah kehamilan tapi tidak membuat laki-laki KEBAL terhadap risiko penyakit seksual berbahaya.

***

Pada akhirnya, vasektomi adalah prosedur yang bisa diambil oleh pasangan jika ingin mencegah kehamilan; 

dan jika memang belum yakin untuk melakukan vasektomi, pertanyaannya adalah: bisakah benar-benar memastikan ikut andil sebagai pasangan yang setara (tidak timpang) dalam pengasuhan bersama kalau kelak terjadi kehamilan—sekalipun kedua belah pihak telah sama-sama menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya? 

Sila pikir baik-baik. 

Tabik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun