Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Beberapa Diskursus di Antara Para Pembaca Buku

15 September 2024   06:25 Diperbarui: 16 September 2024   07:52 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang user X tersurat sedang mengeluh di akunnya, yang kurang lebih bisa diartikan membaca buku tidak hanya persoalan individu melainkan juga persoalan sosial.

Ia mengambil contoh para pekerja, yang hidupnya sudah lelah dengan bekerja apalagi overwork, mana punya waktu untuk membaca buku. Belum lagi pendapatan yang pas-pasan mana bisa sering-sering beli buku—dan saling sahut komentar pun terjadi.

Baca juga:

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

Perdebatan ini lewat di timeline X saya bertepatan dengan hari kunjung perpustakaan 14 September; sengaja saya memang mengikuti topik "buku" di akun X sehingga segala pembahasan menyoal buku akan muncul.

Buku dan pengaruh

Hari kunjung perpustakaan tentu ada bukan tanpa alasan. Hari ini ada untuk mendorong minat baca. Ia berkorelasi erat dengan peningkatan sumber daya manusia. 

Indonesia punya Bung Hatta sebagai orang yang tak perlu diragukan lagi kecintaannya terhadap buku dan membaca—atau Bung Karno, sang singa podium itu. Ia pula seorang pelahap buku. 

Ya, orang-orang hebat yang vokal dan memiliki pengaruh, mereka dikenal boleh jadi karena kebiasaannya membaca buku kemudian mempraktikkannya—bahkan dari membaca lahir pula banyak penulis berbakat. 

Membaca dan menulis adalah sebuah kausalitas.

Baca juga:

Praktik Eufimisme yang Tak Lekang Oleh Masa dan Kita Memakluminya

Seorang teman saya berkata, keadaan Indonesia hari-hari ini juga karena literasi masyarakat Indonesia yang masih terbilang payah. Termasuk pula di dalamnya budaya membaca yang masih rendah. 

Mustahil bisa berpikir kritis kalau membaca adalah akar masalah—atau mungkin minat sudah ada namun akses terhadap bahan bacaan seperti buku yang masih menemui kendala.

Sungguh ironi. 

***

Sebagai anak yang dibesarkan di era 90an, saya merasakan kenikmatan tersendiri sebagai seorang pembaca, terutama membaca buku.

Saya yang berangkat dari keluarga yang orang tuanya tidak bisa memberikan uang jajan yang banyak, tempat penyewaan buku menjadi salah satu solusi saya memperoleh bacaan selain berkunjung ke toko buku tentunya (baca: untuk membaca buku secara gratis melalui buku yang sampulnya sengaja dilepas). Dulu tak sulit menjumpai tempat penyewaan buku.

Tetapi, tahun berganti, teknologi pun kian canggih dan cara seseorang memperoleh bahan bacaan juga semakin beragam. Hanya, buku tetap tak tergantikan.

Namun, meskipun demikian—meski budaya membaca buku tetap terus diupayakan di antara gempuran kenikmatan instan berjejaring media sosial, kegiatan membaca buku tak urung masih saja menimbulkan masalah di antara pelakunya; 

Ini bisa disebut sebagai diskursus di antara pembaca buku.

Baca juga:

Simalakama Budaya Jalan Kaki di Indonesia

Diskursus pembaca buku

Ada beberapa penerjemahan bahasa dari kata terkait diskursus ini, namun secara sederhana diskursus ini dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi secara lisan atau tulisan yang berangkat dari asumsi-asumsi umum yang menjadi topik pembahasan yang tak jarang menimbulkan perdebatan karena diindividualisasi—yang justru menjauhkannya dari realitas yang ada. 

Dan bagi para pembaca buku itu sendiri, setidaknya ada beberapa diskursus, di antaranya:

#1 Fiksi dan non fiksi

Di antara pembaca buku, ribut-ribut lebih baik membaca buku fiksi atau non fiksi ini sudah jadi "lagu" lama,

yang bersikukuh bacaan non fiksi lebih baik akan menganggap pembaca fiksi sebagai warga kelas dua—bahkan malah ada yang mengira membaca fiksi tidak ada gunanya.

Baca juga:

Novel Fantasi untuk Siapa?

Padahal membaca cerita fiksi sama bermanfaatnya dengan membaca non fiksi. 

Jika buku-buku non fiksi bisa melatih critical thinking atau sebagai sumber pengetahuan (baca: dari satu disiplin ilmu), buku fiksi menghadirkannya dalam bentuk yang "berbeda".

Seorang Psikolog bernama Raymond Mar mengatakan bahwa seseorang yang membayangkan cerita dalam novel fiksi akan mengaktifkan satu wilayah di otak untuk memahami orang lain; 

begitulah, sastra (baik klasik atau masa kini) dapat melatih kepekaan; melatih sisi kemanusiaan manusia.

Kumpulan beberapa buku sastra. (Foto oleh Susy Hazelwood) 
Kumpulan beberapa buku sastra. (Foto oleh Susy Hazelwood) 

#2 Slow reader dan fast reader

Saya pribadi pernah membukukan rekor membaca sebuah buku fiksi setebal tak kurang dari 800 halaman. Buku yang saya beli seharga 95 ribu di akhir Maret 2009 itu, saya baca hanya dalam dua hari.

Saya ingat saat itu sedang peralihan management radio lama ke radio baru tempat saya bekerja, sembari menunggu studio direnovasi dan kegiatan radio hanya sebatas airing time berupa lagu-lagu, jadilah saya memiliki agak lebih banyak waktu senggang. 

Entah apa yang merasuki saya ketika itu—saya hanya ketagihan.

Apakah hanya karena satu peristiwa dalam hidup menjadikan saya sebagai orang yang masuk kategori cepat dalam membaca buku? 

Jawabannya tentu tidak; saya bukan tipikal orang yang "ngebut" membaca buku.

Lantas apa gunanya memperdebatkan proses seberapa cepat dalam membacanya?

Kalau memang bisa cepat dalam membaca, lalu cepat pula mengambil "daging" bacaannya, itu bagus—atau dengan kata lain tiap bulan ada satu atau beberapa buku yang berhasil dibaca, itu lebih baik. 

Baca juga:

Catatan Ringan Perjalanan Proses Menulis: Seni Memahami Kehidupan yang Dinamis

Tapi, bukan berarti orang yang berusaha membagi waktunya hanya 15 menit di pagi-siang-sore-malam setiap hari untuk membaca sebagai orang yang payah kan?

#3 Sedikit dan banyak

Diskursus di antara pembaca buku yang sering pula jadi perdebatan adalah soal kuantitas (jumlah buku) yang dibaca.

Padahal jumlah buku yang dibaca berbanding lurus dengan waktu yang sengaja diluangkan untuk membaca; semakin luang waktu seseorang maka semakin banyak pula kesempatannya untuk membaca.

Sementara realitasnya tidak selalu demikian; tiap orang melakoni kehidupannya masing-masing.

Ia yang sebagai pembaca, ia pula sebagai seorang tenaga pengajar; 

ia yang sebagai pembaca, ia pula sebagai seorang tenaga kesehatan; 

ia yang sebagai pembaca, ia pula yang berjuang agar hukum bagi semua orang sama haknya—dan lain sebagainya.

Jika orang sudah bisa berdamai dengan ini, rasa-rasanya tidak mungkin ada pertanyaan menggelitik sudah berapa buku yang kamu baca bulan ini (atau dalam tahun ini) sekalipun itu dibuat untuk memotivasi?!

Tapi, meskipun demikian, pertanyaan semacam itu tetap diperlukan agar budaya baca buku tidak hilang apalagi dilupakan.

#4 Digital dan fisik

Dan satu lagi yang tak kalah melelahkan: mempertentangkan buku digital dan fisik.

Bagi yang menyukai membaca buku dalam bentuk fisik dengan dalih bisa dipegang atau karena dapat membaui aroma kertasnya, akan selalu punya alasan untuk memperjuangkan pendapatnya bahwa membaca buku fisik jauh lebih keren dibandingkan membaca buku digital melalui gawai.

Ilustrasi buku fisik yang dibentuk dengan cantik. (Foto oleh PixaBay | Sumber Pexels.com) 
Ilustrasi buku fisik yang dibentuk dengan cantik. (Foto oleh PixaBay | Sumber Pexels.com) 

Membaca buku digital mungkin hanya bisa dilakukan sebagian orang, kata mereka. Karena tak semua memiliki gawai yang bagus sebagai penunjang atau akses internet yang baik untuk melakukannya.

Pun sebaliknya, pembaca buku digital akan berusaha mencari cara pula demi mengatakan buku digital jauh lebih ringkas, tidak berat dibawa, tidak pula butuh banyak tempat atau sekadar rak penyimpanan untuk meletakkannya.

Platform yang menjual buku digital sudah juga kian marak. Belum lagi sudah banyak pula perpustakaan digital yang menarik perhatian.

Saling membandingkan dua cara membaca buku ini tak terelakkan sering terjadi. Padahal ini hanya masalah selera dari pelakunya, tak ubahnya memakai tangan atau sendok dalam hal perkara makan.

***

Pada akhirnya, untuk apa saling mendebat mana yang lebih baik dalam membaca buku selama ketika sudah melakukannya sudah banyak yang ditambah: pengetahuan, mengolah empati, memperkaya kosakata serta diksi dan lain sebagainya.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun