Padahal jumlah buku yang dibaca berbanding lurus dengan waktu yang sengaja diluangkan untuk membaca;Â semakin luang waktu seseorang maka semakin banyak pula kesempatannya untuk membaca.
Sementara realitasnya tidak selalu demikian; tiap orang melakoni kehidupannya masing-masing.
Ia yang sebagai pembaca, ia pula sebagai seorang tenaga pengajar;Â
ia yang sebagai pembaca, ia pula sebagai seorang tenaga kesehatan;Â
ia yang sebagai pembaca, ia pula yang berjuang agar hukum bagi semua orang sama haknya—dan lain sebagainya.
Jika orang sudah bisa berdamai dengan ini, rasa-rasanya tidak mungkin ada pertanyaan menggelitik sudah berapa buku yang kamu baca bulan ini (atau dalam tahun ini) sekalipun itu dibuat untuk memotivasi?!
Tapi, meskipun demikian, pertanyaan semacam itu tetap diperlukan agar budaya baca buku tidak hilang apalagi dilupakan.
#4 Digital dan fisik
Dan satu lagi yang tak kalah melelahkan: mempertentangkan buku digital dan fisik.
Bagi yang menyukai membaca buku dalam bentuk fisik dengan dalih bisa dipegang atau karena dapat membaui aroma kertasnya, akan selalu punya alasan untuk memperjuangkan pendapatnya bahwa membaca buku fisik jauh lebih keren dibandingkan membaca buku digital melalui gawai.
Membaca buku digital mungkin hanya bisa dilakukan sebagian orang, kata mereka. Karena tak semua memiliki gawai yang bagus sebagai penunjang atau akses internet yang baik untuk melakukannya.
Pun sebaliknya, pembaca buku digital akan berusaha mencari cara pula demi mengatakan buku digital jauh lebih ringkas, tidak berat dibawa, tidak pula butuh banyak tempat atau sekadar rak penyimpanan untuk meletakkannya.
Platform yang menjual buku digital sudah juga kian marak. Belum lagi sudah banyak pula perpustakaan digital yang menarik perhatian.
Saling membandingkan dua cara membaca buku ini tak terelakkan sering terjadi. Padahal ini hanya masalah selera dari pelakunya, tak ubahnya memakai tangan atau sendok dalam hal perkara makan.