Jika buku-buku non fiksi bisa melatih critical thinking atau sebagai sumber pengetahuan (baca: dari satu disiplin ilmu), buku fiksi menghadirkannya dalam bentuk yang "berbeda".
Seorang Psikolog bernama Raymond Mar mengatakan bahwa seseorang yang membayangkan cerita dalam novel fiksi akan mengaktifkan satu wilayah di otak untuk memahami orang lain;Â
begitulah, sastra (baik klasik atau masa kini) dapat melatih kepekaan; melatih sisi kemanusiaan manusia.
#2 Slow reader dan fast reader
Saya pribadi pernah membukukan rekor membaca sebuah buku fiksi setebal tak kurang dari 800 halaman. Buku yang saya beli seharga 95 ribu di akhir Maret 2009 itu, saya baca hanya dalam dua hari.
Saya ingat saat itu sedang peralihan management radio lama ke radio baru tempat saya bekerja, sembari menunggu studio direnovasi dan kegiatan radio hanya sebatas airing time berupa lagu-lagu, jadilah saya memiliki agak lebih banyak waktu senggang.Â
Entah apa yang merasuki saya ketika itu—saya hanya ketagihan.
Apakah hanya karena satu peristiwa dalam hidup menjadikan saya sebagai orang yang masuk kategori cepat dalam membaca buku?Â
Jawabannya tentu tidak; saya bukan tipikal orang yang "ngebut" membaca buku.
Lantas apa gunanya memperdebatkan proses seberapa cepat dalam membacanya?
Kalau memang bisa cepat dalam membaca, lalu cepat pula mengambil "daging" bacaannya, itu bagus—atau dengan kata lain tiap bulan ada satu atau beberapa buku yang berhasil dibaca, itu lebih baik.Â
Baca juga:
Catatan Ringan Perjalanan Proses Menulis: Seni Memahami Kehidupan yang Dinamis
Tapi, bukan berarti orang yang berusaha membagi waktunya hanya 15 menit di pagi-siang-sore-malam setiap hari untuk membaca sebagai orang yang payah kan?
#3 Sedikit dan banyak
Diskursus di antara pembaca buku yang sering pula jadi perdebatan adalah soal kuantitas (jumlah buku) yang dibaca.