Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pilkada Serentak 2024: Keterwakilan Perempuan Masih Sebatas Lipstik Politik?

8 September 2024   13:28 Diperbarui: 8 September 2024   17:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kursi jabatan kepala daerah. (Sumber: Kompas.com) 

Selain bukan hanya menjadi arena pertandingan ide dan gagasan dari kandidat yang berkontestasi, pemilu juga berbicara tentang bagaimana rakyat diharapkan menjadi pemilih cerdas dengan benar-benar selektif memanfaatkan hak suaranya (menggunakan hak politik) dengan sebaik-baiknya.

Baca juga:

Menyelami Makna Adagium "Vox Populi Vox Dei" 

Tak heran setiap perhelatannya, pemilu —akan—selalu menghadirkan banyak cerita.

***

Pilkada 2024 dan Dinamikanya

Pemilu 2024 belum usai. Masih ada pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dilangsungkan pada November mendatang.

Kontestasi untuk mencari orang nomor satu di level Provinsi dan Kota/Kabupaten ini pun sempat diwarnai peristiwa diubahnya dua UU Pilkada yang ditetapkan oleh MK (melalui putusan UU Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah (threshold) yang semula 25% perolehan suara yang sah dari partai politik/gabungan partai politik pada hasil pemilihan legislatif di DPRD menjadi hanya 20%;

Baca juga:

Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit

dan putusan Nomor 70/PUI-XXII/2024 tentang syarat calon kepala daerah harus berusia 30 tahun dan itu dihitung sejak yang bersangkutan diajukan sebagai calon kepala daerah bukan saat penetapannya sebagai kepala daerah (dilantik karena terpilih melalui mekanisme pemilu)) yang memantik gelombang protes besar-besaran elemen masyarakat Indonesia melalui label Peringatan Darurat pada Kamis, 22 Agustus 2024 yang lalu (yang pada praktiknya di lapangan digerakkan oleh para mahasiswa) ketika DPR hendak menganulir dua putusan MK tersebut.

Baca juga:

Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat

Pada akhirnya, gelombang protes itu pun membuat DPR mengurungkan niat mengesahkan RUU Pilkada yang mereka rapatkan malam sebelumnya dan memilih mematuhi putusan MK; 

hasil putusan MK tersebut ternyata memberi dampak yang tak biasa terhadap konstelasi politik Indonesia.

Pilkada dan Keterlibatan Perempuan

Pesta rakyat lima tahunan tak hanya berbicara tentang bagaimana para partai politik bersiasat menggaet suara rakyat tetapi juga bagi para perempuan untuk unjuk gigi.

Itu bisa dilihat makin banyak bermunculannya gambar para perempuan Indonesia pada surat suara pada pemilihan DPR RI, DPRD dan DPD yang lalu—meski tidak sebanyak calon kandidat laki-laki. Begitu juga terhadap calon kepala daerah.

Jika di Jawa Timur punya tiga srikandi (Khofifah, Tri Risma, Luluk) yang memperebutkan kursi nomor satu sebagai gubernur atau Airin Rachmi yang tampak bersinar saat proses pencalonannya sebagai calon gubernur Banten yang menuai perhatian, di provinsi saya, Sumatera Selatan, pun demikian.

Saya ambil contoh Rizky Aprilia yang menjadi calon wakil gubernur mendampingi Edy Santana Putra (mantan walikota dua periode dari 2003-2013) atau  Anita Noeringhati yang mendampingi petahana Mawardi Yahya (mantan wakil gubernur Sumatera Selatan periode 2018-2013)—

atau di Palembang tempat saya tinggal, ada duet pasangan Fitrianti Agustinda-Nandriani Oktarina sebagai calon walikota dan calon wakil walikota Palembang.

Fitrianti-Nandriani, keduanya didukung oleh Nasdem, PAN, PKB, Perindo dengan gabungan suara sebesar 312.294; KPU Palembang menetapkan syarat minimal suara 60.397 untuk pemilihan walikota/wakil walikota atau 6,5% dari jumlah 929.176 suara sah. 

Perempuan di panggung Politik

Akan menjadi menarik jika membicarakan perempuan di panggung politik. Terutama saya secara pribadi. 

Politik bagi perempuan tak ubahnya medan perang dan tanpa dukungan, politik bagi perempuan adalah omong kosong.

Perempuan yang memilih untuk terjun dan berada di panggung politik dianggap sudah "SELESAI" dengan urusan domestiknya. 

Fitrianti Agustinda (Kiri) calon walikota Palembang dan Nandriani Oktarina (Kanan) calon wakil walikota Palembang (Sumber Sripo.com/Tribunnews) 
Fitrianti Agustinda (Kiri) calon walikota Palembang dan Nandriani Oktarina (Kanan) calon wakil walikota Palembang (Sumber Sripo.com/Tribunnews) 

Kita tak perlu menutup mata bagaimana perempuan selalu diposisikan untuk harus bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga (termasuk pengasuhan anak). 

Budaya patriaki yang mengakar kuat menjadi alasan yang tak terbantahkan mengapa peran perempuan masih jauh tertinggal dari laki-laki di ranah politik—atau dengan kata lain, politik dianggap bukan tempatnya perempuan. 

Baca juga:

Memutus Rantai KDRT pada Perempuan, Mungkinkah?

Keluarga adalah pintu pertama bagaimana perempuan mendapat dukungan. Dengan membiarkan perempuan terlibat di ranah publik seperti panggung politik membuat perempuan mampu mengaktualisasikan serta merepresentasikan ide dan gagasan sebagai bentuk pengabdiannya di masyarakat—terlepas bagaimana proses dan hasilnya kelak. 

Partai dengan Perspektif Gender

Meski UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD menegaskan kalau keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% namun fakta di lapangannya, persentase itu agaknya masih gagal diterapkan; banyak yang masih di bawah 20% bahkan ada daerah yang hanya memiliki 1% keterwakilan perempuannya.

Tanpa adanya partai yang memiliki perspektif gender yang jelas, mustahil kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30% itu terpenuhi.

Bagaimana bisa kuota itu terpenuhi jika perempuan yang disorong pada arena kontestasi tidak benar-benar paham medan perangnya?

Di sinilah perlunya partai politik membuka ruang seluas-luasnya buat perempuan untuk bergabung dan atau memberikan pendidikan politik bagi perempuan agar perempuan kian cakap (untuk) membantu menyelesaikan ragam ketimpangan di masyarakat termasuk ketimpangan sosial yang mendapat porsi lebih banyak seperti kemiskinan, akses kesehatan dan pendidikan yang tidak merata, isu-isu kesetaraan gender di ruang-ruang publik dan lain sebagainya; alih-alih hanya mengedepankan kepentingan partai atau koalisi partai tempatnya bernaung. 

Perlu diingat kepala daerah adalah pejabat publik yang diserahi mandat oleh rakyat; ia bertanggung jawab langsung terhadap rakyat dengan melayani apa-apa saja yang menjadi kebutuhan rakyat untuk mempermudah hajat hidupnya. 

Baca juga:

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

Bagi partai-partai tertentu memang benar ada wadah pengkaderan bagi perempuan. Tapi, efektifitasnya juga masih jadi pertanyaan jika tidak terlihat wujud konkretnya dalam struktur keorganisasian secara keseluruhan atau saat pemilu dihelat.

Tampaknya memang benar partai politik masih setengah hati dalam mengakomodir peran perempuan di ranah politik. 

Belum lagi perempuan yang masuk gaya politik praktis yang tanpa pengkaderan lama tapi ujug-ujug "nyalon"; 

rasa-rasanya tak heran jika duga-duga atau nada sumbang keterwakilan perempuan di panggung politik masih karena mengandalkan uang dan kedekatan dengan para petinggi partai—bukan benar-benar telah melewati serangkaian pengabdian bertahun tahun di masyarakat untuk dikenal lebih luas.

Jika saya boleh jujur, perempuan oleh partai politik masih tak ubahnya seperti lipstik yang dijadikan alat untuk mempersolek. 

Perempuan "lipstik" politik?

Mengapa saya katakan lipstik? 

Karena lipstik hampir semua perempuan dewasa memilikinya dan digunakan untuk mempercantik penampilan; 

dan lipstik politik oleh partai adalah menempatkan perempuan hanya sebatas untuk mengisi kuota, tidak benar-benar peduli pada peran perempuan itu sendiri. 

Memang ada berapa partai yang menempatkan banyak perempuan atau seberapa besar kans perempuan menduduki jabatan-jabatan yang benar-benar strategis di kepartaian? 

Pilkada serentak 2024 dan Keterwakilan Perempuan

Menyoal pilkada serentak 2024, memang membawa ceritanya sendiri terutama bagi keterlibatan perempuan dalam arena kontestasi sebagai kontestannya langsung.

Tapi, tentu TETAP tidak mampu menyeimbangi laki-laki—alih-alih melampaui.

Dari sini yang bisa dipelajari:

uang, pendidikan, kapasitas cara pendekatan yang baik, cakap dalam menerjemahkan ide dan gagasan, mampu menangkap aspirasi, dan lain sebagainya ternyata tak cukup membuat perempuan mendapatkan kepercayaan lebih;

ternyata sistem kepartaian memang masih terlalu MASKULIN dalam praktiknya.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun