Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pilkada Serentak 2024: Keterwakilan Perempuan Masih Sebatas Lipstik Politik?

8 September 2024   13:28 Diperbarui: 9 September 2024   00:19 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kursi jabatan kepala daerah. (Sumber: Kompas.com/Handining) 

Meski UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD menegaskan kalau keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari total kursi di parlemen. Namun fakta di lapangannya, persentase itu agaknya masih gagal diterapkan; banyak yang masih di bawah 20%bahkan ada daerah yang hanya memiliki 1% keterwakilan perempuannya.

Tanpa adanya partai yang memiliki perspektif gender yang jelas, mustahil kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30% itu terpenuhi.

Bagaimana bisa kuota itu terpenuhi jika perempuan yang didorong pada arena kontestasi tidak benar-benar paham medan perangnya?

Di sinilah perlunya partai politik membuka ruang seluas-luasnya buat perempuan untuk bergabung dan atau memberikan pendidikan politik bagi perempuan agar perempuan kian cakap (untuk) membantu menyelesaikan ragam ketimpangan di masyarakat termasuk ketimpangan sosial yang mendapat porsi lebih banyak seperti kemiskinan, akses kesehatan dan pendidikan yang tidak merata, isu-isu kesetaraan gender di ruang-ruang publik dan lain sebagainya; alih-alih hanya mengedepankan kepentingan partai atau koalisi partai tempatnya bernaung. 

Perlu diingat kepala daerah adalah pejabat publik yang diserahi mandat oleh rakyat; ia bertanggung jawab langsung terhadap rakyat dengan melayani apa-apa saja yang menjadi kebutuhan rakyat untuk mempermudah hajat hidupnya. 

Baca juga:

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

Bagi partai-partai tertentu memang benar ada wadah pengkaderan bagi perempuan. Tapi, efektifitasnya juga masih jadi pertanyaan jika tidak terlihat wujud konkretnya dalam struktur keorganisasian secara keseluruhan atau saat pemilu dihelat.

Tampaknya memang benar, partai politik masih setengah hati dalam mengakomodir peran perempuan di ranah politik. 

Belum lagi perempuan yang masuk gaya politik praktis yang tanpa pengkaderan yang lama tapi ujug-ujug "nyalon"; 

sehingga rasa-rasanya tak heran jika duga-duga atau nada sumbang di masyarakat mengaitkan keterwakilan perempuan di panggung politik masih karena mengandalkan uang atau kedekatan dengan para petinggi partai—bukan benar-benar telah melewati serangkaian pengabdian bertahun-tahun di masyarakat untuk dikenal lebih luas.

Jika saya boleh jujur, perempuan oleh partai politik masih tak ubahnya seperti lipstik yang dijadikan alat untuk mempersolek. 

Perempuan "lipstik" politik?

Mengapa saya menganalogikannya dengan lipstik? 

Karena lipstik hampir semua perempuan dewasa memilikinya dan digunakan untuk mempercantik penampilan; 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun