Meski UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD menegaskan kalau keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%Â dari total kursi di parlemen. Namun fakta di lapangannya, persentase itu agaknya masih gagal diterapkan; banyak yang masih di bawah 20%bahkan ada daerah yang hanya memiliki 1% keterwakilan perempuannya.
Tanpa adanya partai yang memiliki perspektif gender yang jelas, mustahil kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30% itu terpenuhi.
Bagaimana bisa kuota itu terpenuhi jika perempuan yang didorong pada arena kontestasi tidak benar-benar paham medan perangnya?
Di sinilah perlunya partai politik membuka ruang seluas-luasnya buat perempuan untuk bergabung dan atau memberikan pendidikan politik bagi perempuan agar perempuan kian cakap (untuk) membantu menyelesaikan ragam ketimpangan di masyarakat termasuk ketimpangan sosial yang mendapat porsi lebih banyak seperti kemiskinan, akses kesehatan dan pendidikan yang tidak merata, isu-isu kesetaraan gender di ruang-ruang publik dan lain sebagainya; alih-alih hanya mengedepankan kepentingan partai atau koalisi partai tempatnya bernaung.Â
Perlu diingat kepala daerah adalah pejabat publik yang diserahi mandat oleh rakyat; ia bertanggung jawab langsung terhadap rakyat dengan melayani apa-apa saja yang menjadi kebutuhan rakyat untuk mempermudah hajat hidupnya.Â
Baca juga:
X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial
Bagi partai-partai tertentu memang benar ada wadah pengkaderan bagi perempuan. Tapi, efektifitasnya juga masih jadi pertanyaan jika tidak terlihat wujud konkretnya dalam struktur keorganisasian secara keseluruhan atau saat pemilu dihelat.
Tampaknya memang benar, partai politik masih setengah hati dalam mengakomodir peran perempuan di ranah politik.Â
Belum lagi perempuan yang masuk gaya politik praktis yang tanpa pengkaderan yang lama tapi ujug-ujug "nyalon";Â
sehingga rasa-rasanya tak heran jika duga-duga atau nada sumbang di masyarakat mengaitkan keterwakilan perempuan di panggung politik masih karena mengandalkan uang atau kedekatan dengan para petinggi partai—bukan benar-benar telah melewati serangkaian pengabdian bertahun-tahun di masyarakat untuk dikenal lebih luas.
Jika saya boleh jujur, perempuan oleh partai politik masih tak ubahnya seperti lipstik yang dijadikan alat untuk mempersolek.Â
Perempuan "lipstik"Â politik?
Mengapa saya menganalogikannya dengan lipstik?Â
Karena lipstik hampir semua perempuan dewasa memilikinya dan digunakan untuk mempercantik penampilan;Â